MENERIMA JANJI – MENULIS KENANGAN: Untuk Pastor Martin van Ooij, SCJ

MENERIMA JANJI – MENULIS KENANGAN: Untuk Pastor Martin van Ooij, SCJ

Saya ingin menulis mengapa saya menulis tentang dirinya. Jadi, saya harus jujur sejak awal bahwa saya tidak memiliki banyak pengalaman duduk bersama Romo Martin untuk waktu yang lama sekedar berbagi cerita atau bersenda gurau.

Tetapi saya mengalami suatu kedekatan spiritual, yang pasti tidak diketahui oleh dirinya, sejak saya diminta oleh Mas Herdi (saya meminta maaf kepada Mas Herdi [Robertus Herdiyanto] karena telah menggunakan sebagian bahan itu sebagai tulisan, sebelum waktunya) untuk mengetik ulang bahan-bahan homili Romo Martin, yang ia bagikan kepada umat, selama tahun liturgi 2014 (saya dan kita tentu berharap suatu hari homili-homilinya menjadi suatu buku, di mana kita bisa tetap menatapnya dengan mata yang lain dan mendengarnya dengan telinga yang lain: mata dan telinga iman).

Maka memiliki seorang imam: mengambil bagian dalam ekaristi bersamanya. Mengikuti misanya dengan mata dan telinga, dengan seluruh keberadaanmu. Suatu hari mungkin ada rindu ingin melihat dia merayakan misa meski ia sudah tidak ada di sana dan mencoba untuk mengetahui, mendengar homilinya, atau membaca darinya ketika anda tahu bahwa anda tidak akan pernah melihat dia lagi … ah ini membuatmu menangis, dalam kenangan.

Memiliki seorang teman, berarti ingin melihat dia, melihat dia dengan matamu, memuji dia dalam persahabatan, dalam cinta dan memanggil dia dengan namanya. Dan untuk mengetahui lebih dalam, berarti siap terluka, dan terluka dan lebih dan lebih tak terlupakan, bahwa satu di antara kita tak ada lagi.

Tapi sebelum semua itu terjadi, kita tahu bahwa suatu hari salah satu di antara kita tidak akan mengetahui dirinya sedang diperhatikan oleh yang satunya lagi, dan akan menerima yang lain dalam dirinya untuk waktu yang lama, dengan mata iman yang mengikuti tanpa tatapan mata fisik. Itulah yang tersirat dalam homilinya, Minggu 6 April 2014. Romo Martin bilang:

‘Kita beruntung bahwa kita berpegang pada janji Yesus, bahwa hidup kita hanya berubah dan tidak berakhir, walau pun begitu hati kita amat tersiksa, bahkan berluka kalau orang tercinta kita meninggal dunia. Maka kita boleh menangis, dan jangan memakai kata-kata suci untuk menghibur, tapi untuk ikut menangis dengan mereka yang sedih. (…)Ayahku mengalami dua kali kehilangan. Yang pertama, pada tanggal 10 September 1944, ibu dan adik nomor 9 menjadi korban akibat perang dunia ke-2. Dan setelah dua tahun, ayah nikah lagi dengan adiknya ibu, dan diberi 3 anak lagi. Tapi betapa mendalam kesedihan sewaktu ibu mendapat serangan jantung dan meninggal dunia 4 Maret 1985. Dan bapak memberi kesaksian iman yang menyatukan ke-11 anaknya (kami masih hidup ber-10). Buat saya, mereka masih hidup dan keluarga besar yang ditinggalkan meneruskan kesatuan yang membahagiakan. Yesus menangis karena kehilangan teman. Kami banyak menangis ketika kehilangan dua ibu dan ayah. Tapi iman dan cinta tetap menguatkan kita.’

Antoniuus Martinus van Ooij, SCJ. Akrab dengan sebutan Romo Martin. Saya kira tidak ada testimoni lebih dalam tentang hidupnya, dari pada hidupnya sendiri. Jalan panggilan keimamatannya menjadi bukti bagi dirinya bahwa ia menghidupi spirit santu pelindungnya: Martin dari Tours, seorang prajurit yang berperang di jalan Allah.

Pada misa Novena Pentekosta di Pasar Minggu, pada Kamis, 5 Juni 2014, ia bilang begini:

‘Siapa dapat mimpi, bahwa saya bisa bertemu dengan umat dari Paroki Pasar Minggu. Kita belum saling kenal, maka izinkanlah saya (memerkenalkan diri): saya Pastor Martinus van Ooij, SCJ, asal Belanda. Sejak bulan Mei 1964 sampai Agustus 1994 berkarya di Lampung, di antara orang-orang transmigrant. Kemudian, sampai Februari 2011 di India, diutus oleh Kongregasi untuk mendirikan rumah SCJ di sana, dengan bekal Roh Kudus, dan setelah 1 tahun di Filipina, sejak Agustus 2012 berkarya sebagai pastor rekan di Paroki St. Stefanus – Cilandak.’

Tentang apa yang disebutnya sebagai ‘dengan bekal Roh Kudus’, begini Romo Martin bercerita dalam homilinya, Minggu 16 Maret 2014:

‘Izinkanlah saya mensharingkan sebuah pengalaman pribadi, tentang karya Roh Kudus. Sewaktu saya diminta oleh pimpinan generalat untuk pergi ke India dengan tujuan mendirikan rumah SCJ di sana. Hal tersebut membuat saya shock, tantangan tak terduga. Dan atas pertanyaanku, bagaimana caranya untuk menghadirkan kongregasi di sana. Pemimpin Umum menjawab: saya tidak tahu, tetapi Roh Kudus akan menyertai kamu di sana. Dan itulah bekal dan peganganku ke India. Dan ternyata terbukti menjadi pegangan untuk hidup saya sebagai misionaris di India. Tuhan setia dan Roh Kudus membantu menghadirkan kongregasi SCJ di India. Dalam kunjungan saya selama 30 hari, dengan menyaksikan tahbisan imam yang ke-34 dengan empat orang diakon, menjadi bukti bahwa Roh Kudus berkarya.’

Tentu keyakinan seperti ini hanya bisa dibangun di atas suatu dasar yang kokoh. Di situ keluarganya, sebagai gereja kecil menentukan dan membentuk dirinya.

‘Sewaktu SD, saya jadi putera altar dan setiap pagi jam 06.30 jalan kaki ke gereja. Pernah saya minta Tuhan memilih imam dari setiap kelas (ada 4 kelas), tapi kemudian berpikir bahwa mungkin terlalu banyak, maka berubah lalu bilang, terserahlah Tuhan, biar satu saja. Sewaktu saya sudah kelas 6, bilang sama ibu: saya mau ke seminari, dan ibu dorong agar bilang sama bapak. Tapi saya takut kalau bapak menolak. Setelah dua minggu waktu dapat giliran cuci piring bersama ibu, saya tanya sama ibu [lalu cerita peristiwa] (NB: sayangnya apa yang diceritakan tidak terinskripsi dalam bentuk tulisan). Inilah titik permulaan panggilan saya, di dalam keluarga, gereja kecil. Dan ternyata Tuhan memberkati hidup saya sebagai misionaris di Lampung (30 thn), di India (hampir 17 thn), di Filipina (1 thn), dan sekarang hampir 2 tahun di Stefanus. Yang dibutuhkan untuk menjadi misionaris/imam adalah keberanian dan kesetiaan’ (Homili Minggu Panggilan – Minggu Paska IV, 11 Mei 2014).

Persis di sini, sekurang-kurangnya anda dan saya yang mengenalnya akan mengakui bahwa Romo Martin telah menjalani kesetiaan itu seumur hidupnya sebagai imam. Dan karena imam selalu bertindak in persona Christi, maka kepada Romo Martin, layak kita lantunkan kekagumanan ini: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 5:6).

Banyak dari antara kita, tanpa ragu, bahkan merupakan kepastian bagi saya, bahwa kesetiaan absolut, suatu persahabatannya dengan Kristus, di dalam Kristus melalui spiritualitas Kongregasinya, dan persahabatan yang dialami antara dirinya dan umat sekalian adalah suatu rahmat, suatu pemberian.

Dalam ungkapan St. Thomas Aquinas, berarti dalam kesetiaannya yang tanpa akhir sampai pada akhir, merupakan ungkapan kebaikan Tuhan (imago divinae bonitatis), yang dianugerahkan melalui gereja (Kongregasi SCJ). Ia sebagai seorang imam, sepanjang hidupnya telah menunjukkan bahwa hakekat sabda dari Sang Sabda terlihat dalam persahabatan dan kesetiaan.

Sampai di sini, saya tidak tahan untuk tidak mengutip ungkapan filosof terkenal Emmanuel Levinas. Jika adieu atau adios berarti selamat tinggal, maka harus dikatakan di sini, bahwa sebagai orang yang percaya akan Kristus, à-Dieu bukanlah tanda tentang akhir. Ini bukan tentang finalitas.

Maka kematian sebagai à-Dieu berarti suatu undangan dari Allah bagi kita untuk berjalan melampaui keberadaan duniawi kita, di dalam apa yang dimaknai sebagai kepercayaan iman – percaya akan kebangkitan badan, melalui kata ‘kemuliaan’: paska. Secara liturgis, Romo Martin meninggal pada minggu Palma. Ini seperti menegaskan kata-kata dari antiphon ke-2 Ibadat Sore I, Hari Minggu Palma: ‘Tuhan Allah penolongku, aku tidak dikecewakan.’

Dengan demikian, kematian bukan sebuah proses yang berakhir, melainkan suatu panggilan, panggilan untuk memiliki Allah di dalam Allah.

Romo Martin, kami sedih atas kepergianmu, tetapi seperti kata-katamu, ‘iman dan cinta tetap menguatkan kita.

Adieu Romo Martin

One thought on “MENERIMA JANJI – MENULIS KENANGAN: Untuk Pastor Martin van Ooij, SCJ

Leave a comment