‘Peristiwa-Kristus’ dan Tantangan Convertio

Dalam liturgi Kristen, prapaskah yang menghantar pada paskah, berkaitan erat dengan pertobatan (convertio) yang terungkap melalui puasa-pantang, berbagi dan doa. Sebagai masa persiapan, bacaan-bacaan liturgi prapaskah ditata sedemikian demi menghantar orang Kristen ke dalam hakekat pertobatan/pembalikan dan misteri peristiwa paskah.

Misalnya, dalam liturgi sabda Senin Prapaskah III, bacaan tentang Naaman dan konfrontasi Yesus dengan orang-orang sekampungnya, bertujuan menghantar umat untuk mendalami kesombongan sebagai dosa yang menghalangi seseorang untuk sampai pada pengetahuan yang benar tentang Allah. Dalam bacaan pertama, diceritakan bahwa Naaman hendak pulang ke negerinya dengan panas hati, hanya karena Elisa menyuruhnya mandi tujuh kali di sungai Yordan untuk penyembuhannya. Bagi Naaman, sungai-sungai di daerahnya lebih baik sebagai tempat pemandian ketimbang Yordan. Superioritas dirinya hampir membatalkan kesembuhannya. 

Adapun dalam injil, Yesus memakai kisah Naaman ini untuk mengkritik orang-orang sekampungnya. Karena kritikan ini, ditambah dengan alasan latar belakang keluarganya, Yesus ditolak. Selain kedua kisah di atas, dapat ditambahkan kisah lain, yang akan membantu memerlihatkan kepada kita tantangan sekaligus halangan pertobatan dan pengenalan akan Allah.

Kisah yang dimaksud adalah tentang kontestasi Musa melawan Firaun dalam peristiwa eksodus Israel dari Mesir, yang beberapa teksnya dibaca pada Hari Minggu Prapaskah III. Salah satu alasan penolakan Firaun atas apa yang disampaikan oleh Musa, adalah karena ia melihat bahwa para ahli sihir dan ilmuwannya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Musa: mengubah tongkat menjadi tannin (buaya), lambang Dewa Sobek, simbol kesuburan dan kekuatan militer serta patron Firaun.

Pertarungan Alam Pikir

Dari kisah injil, kita tahu bahwa orang-orang Nazareth memiliki gambaran tersendiri tentang apa dan siapa itu Mesias, daripada yang disampaikan oleh Yesus yang dikenal. Hal yang sebanding bisa ditemui dalam kisah Musa vs Firaun. Kita membaca bahwa konfrontasi itu akan membuat orang-orang Mesir “mengetahui, bahwa Akulah Tuhan”. Artinya, pembalikan dan pembebasan orang Israel, mensyaratkan suatu kontak dan pemisahan dengan Mesir sebagai pusat dan simbol kemajuan peradaban dunia.

Dengan kata lain, pembebasan Israel membutuhkan konfrontasi, yakni kontestasi melawan Mesir, yang diwakili oleh Musa “sebagai Allah” (Kel 7:1) dan Firaun, penguasa Mesir sebagai “Yang-Satu,” yakni dewa bagi rakyatnya, dan simbol kesempuraan identitas dan tubuh sosial bangsa Mesir.

Konfrontasi dan kontestasi ini menunjukkan bahwa iman itu ditegaskan secara paling radikal, justru pada momen perjumpaan yang saling menegasi dengan pihak lain. Konfrontasi semacam itu menegaskan alasan mendasar dari apa yang ditandaskan oleh René Girard bahwa “la violence qui constitue le coeur véritable et l’âme secrete du sacré – kekerasan adalah jantung yang sebenarnya dan jiwa rahasia Yang Kudus” (1972: 52).

Sehubungan dengan itu, konfrontasi dengan Mesir tidak sekadar konfrontasi politis. Secara mendasar, ini adalah konfrontasi epistemo-teologik, antara Yahweh dan Firaun. Ini merupakan pertarungan dua Allah yang menjadi sumber alam pikir dan kehidupan manusia.

Persis di sini, tulah-tulah yang terjadi, yang ‘hanya’ terjadi karena kekerasan hati Firaun, berfungsi edukatif bagi kedua pihak: di satu sisi, untuk mengoreksi pretensi teologis Firaun, ketidaktahuan teologis Mesir sebagai simbolisme kebutaan dunia dengan segala kemegahan kemajuannya, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang Israel tentang Allah nenek moyang mereka, di sisi lain.

Seturut alasan di atas, merupakan suatu kekeliruan yang mendasar, kalau kita membaca tulah-tulah Mesir sebatas persoalan moral tentang pertarungan antara kebaikan versus kejahatan, atau tentang Allah yang jahat, pembunuh orang tak bersalah. Memang konfrontasi itu akan berhubungan juga dengan soal moralitas. Namun, konfrontasi moral itu hanya bisa terjadi kalau basis epistemiknya disingkapkan. Singkatnya, konfrontasi Mesir versus Israel adalah konfrontasi tentang pengetahuan dan kebenaran.

Poin yang sebanding kita temukan juga pada peristiwa penyembuhan Naaman. Kompleks superioritas diri, perasaan besar kepala, kesombongan karena identitasnya sebagai orang Siria membuat Naaman merasa bahwa perintah supaya mandi di Sungai Yordan merupakan penghinaan kepadanya sebagai seorang Siria, yang juga seorang jenderal. Kita bisa berimajinasi bahwa rupanya, dalam perjalanan menuju Elisa, Ia membayangkan bahwa Elisa akan melakukan sesuatu yang hebat atas dirinya, paling kurang untuk menegaskan dua hal berikut. Pertama, dari pihak Elisa, untuk menegaskan bahwa dirinya benar-benar seorang nabi. Dan yang lebih penting, untuk menegaskan bahwa karena dirinya seorang Siria, makanya hal-hal hebat seperti itu layak untuk terjadi. Hal-hal hebat itu terjadi karena dirinya seorang Siria. Ke-Siria-annya merupakan alasan ada (ratio essendi) bagi hal-hal hebat itu.

Oleh sebab itu, jauh lebih dalam, kisah ini menampilkan kontestasi pengetahuan yang benar tentang Allah yang sejati. Kata-kata Elisa bahwa “supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel” merupakan pernyataan yang ditujukan kepada Naaman sebagai orang Siria sekaligus kepada orang-orang Israel yang berpaling dari Allah perjanjian dan pergi menyembah Baal, sesembahan orang-orang Siria.

Dengan demikian, credo Naaman bahwa “sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel” (II Raj 5:15c), merupakan kritik atas pretensi teologis orang Siria dan kebutaan pengetahuan iman orang-orang Israel. Maka, saat merujuk kisah ini, Yesus hendak menunjukkan bahwa kebutaan iman orang-orang Nazareth adalah warisan yang menyejarah.   

Peristiwa-Kristus

Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa dalam pandangan biblis, manusia secara spontan memerlakukan banyak hal sebagai ‘allah,’ seperti lembu emas, Mammon, gambaran diri, konsepsi tentang kenyataan, bahkan ‘perut mereka sendiri’ kalau menurut Paulus. Selain ketiga kisah tersebut, banyak kisah dalam kitab suci bertujuan menunjukkan bahwa manusia memiliki tendensi untuk memerlakukan secara absolut hal-hal yang tidak absolut. Dengan menunjukkan hal tersebut, kitab Suci hendak menegaskan dan mengakui bahwa hanya ada satu hal absolut, Allah Abraham, Ishak dan Yakub.

Dalam ungkapan fungsionalisme berarti, segala sesuatu berpotensi menjadi “idol” yang menjadi “agamanya”, tidak dalam pengertian ‘siapa’ yang diimani, tetapi dalam pengertian ‘bagaimana’ mereka memercayai sesuatu. Konsekuensinya, menurut James V. Schall sebagaimana ditulis dalam bukunya, The Universe We Think In (2018), dalam milieu masyarakat global-teknologis, kebenaran-kebenaran mendasar Kristen tidak diketahui secara baik, bahkan oleh orang-orang Kristen sendiri. Hal ini melahirkan banyak penolakan terhadap kebenaran-kebenaran perennial terkait iman atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Schall, penolakan terhadap iman dan kebenaran-kebenarannya, tidak selalu disebabkan oleh kekurangan inteligensi. Penolakan itu lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menerima kebenaran yang ada, karena penerimaan atas kebenaran itu menuntut pembalikan bahkan keberanian untuk melepaskan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan isi iman. Kondisi ini sebenarnya menghalangi orang Kristen untuk sampai pada pengetahuan yang benar tentang Allah yang diimani, serta mengikis kesetiaan pada peristiwa-Kristus.

Bisa jadi, banyak orang Katolik menganggap ruang konsultasi psikiater lebih membantu ketimbang ruang Sakramen Pengakuan, atau ritual-ritual adat lebih ampuh daripada sakramen-sakramen. Dengan kata lain, dalam kaitan dengan iman akan Allah, pengandaian-pengandaian pribadi maupun postulat-postulat budaya, seperti diperlihatkan oleh Firaun, Naaman maupun orang-orang Nazareth dapat menghalangi seseorang untuk sampai pada pengetahuan yang benar dan lalu menghantar pada pembalikan.

Halangan-halangan tersebut mempunyai akibat-akibat konkret. Benediktus XVI dalam posthumousnya, What is Christianity (2023), berefleksi bahwa dengan mengabaikan pentingnya Sakramen Pengakuan, maka aspek fungsional Ekaristi dalam ruang relasi-relasi sosial lebih diperhatikan oleh orang Katolik, ketimbang aspek adorasinya. Ekaristi sebagai perayaan sakramental kurban Kristus direduksi pada perspektif yang murni historis sebagai perjamuan, karena elemen konstitutifnya yakni “perjumpaan dengan Yesus Kristus yang bangkit” dihapus dari wawasan tentangnya. Maka, dapat terjadi bahwa orang tidak merayakan Paskah sebagai momen penegasan kesetiaan pada peristiwa-Kristus seperti ditegaskan dalam Prefasi I Sengsara: “dengan kekuatan salib yang tak terperikan, (…) tampaklah kekuasaan Dia yang disalibkan”.

Ketidaksetiaan pada peristiwa-Kristus merupakan halangan terbesar pembalikan selama masa persiapan menyambut Paskah. Halangan ini berakar pada keengganan untuk mencari dan menyelami khazanah iman secara lebih dalam lagi. Orang tetap tinggal di permukaan, lebih posesif pada hal-hal superfisial dan dangkal dari hidup iman, karena menganggap bahwa keberimanan itu identik dengan ritualisme yang ditentukan. Halangan epistemik dalam pertobatan adalah kekerasan hati untuk tidak menerima kebenaran yang disingkapkan kepada yang bersangkutan.

Media Sosial, Moralitas, dan Subjek Libidinal

“Dalam soal makanan (ἐδωδὴν) dan kesenangan seksual (ἀϕροδίσια), manusia lebih buruk dan lebih rendah dari binatang, jika ia tidak memiliki keutamaan atau kebajikan,” demikian tulis Aristoteles (384 – 323 Seb.M), seorang filsuf Yunani Antik dan guru dari Raja Alexander Agung (Juli 356 – Juni 323 Seb.M). Pernyataan ini, terungkap dalam bukunya yang terkenal, Politics, I:2 1253a31-36 (1998). Yang menarik adalah bahwa, pernyataan yang secara tandas ditulis oleh sang filsuf, hampir dua puluh empat abad yang lalu, masih sangat relevan dalam situasi sosial masyarakat abad ke-21 ini.

Untuk soal makanan, cobalah anda memerhatikan saat orang berebutan ingin mendapatkan makanan, sembako murah atau bantuan sosial. Orang bisa saling menginjak, tidak peduli apakah orang lain juga memiliki kesempatan yang sama seperti dirinya atau tidak, yang penting adalah dirinya bisa mendapatkan sebanyak-banyaknya. Kalau tidak diminta untuk mengantri, yang terjadi adalah orang akan saling berdesak-desakan karena berebutan.

Hal yang sama juga menyangkut seksualitas. Anda bisa mengetahuinya dalam banyak kasus kekerasan seksual, perkosaan maupun perselingkuhan yang dipengaruhi mentalitas zaman ini, yang disebut oleh para filsuf sebagai era “ekonomi nafsu” (l’économie du désir): suatu masa di mana tatanan relasi-relasi individual, sosial, politik, ekonomi, atau pun keagamaan kita dikendalikan atau diarahkan oleh nafsu (desire), baik itu nafsu akan kekuasaan, nafsu akan uang/kekayaan (tamak), maupun nafsu terhadap tubuh. Jean-François Lyotard dalam bukunya Économie Libidinale (1974:133) menulis bahwa “ada dorongan libidinal dalam pertukaran modal seperti halnya dalam pertukaran simbolik.” Entah seseorang itu pejabat atau warga biasa, dalam soal nafsu, ia bisa melakukan apa saja, yang penting nafsunya bisa terpenuhi.

Dalam konteks kita semasa ini, kedua isu di atas semakin diperkuat melalui perkembangan media sosial. Dengan fitur pemutaran video yang bisa dimainkan pada semua platform media sosial yang ada, hasrat akan konsumsi, baik itu konsumsi akan makanan maupun konsumsi pornografi meningkat dengan hebat. Dalam rancang algoritmanya, teknologi media sosial tidak memerhitungkan perkembangan mental-emosional yang sehat dari pengguna. Misalnya, untuk anak-anak, rancang algoritma banyak platform media sosial tidak memerhitungkan aspek pendidikan moral yang sehat bagi anak-anak, karena yang diperhitungkan adalah keuntungan. Algoritmanya dirancang hanya untuk tahu merekomendasikan video atau menyediakan efek yang menarik bagi foto diri yang akan diunggah atau video diri yang dipertontonkan.

Pada tahun 2019, dalam The Spanish Journal of Psychology, dimuat satu penelitian tentang penggunaan erotik dalam media sosial dengan tujuan memuaskan hasrat hubungan romantik, dengan maksud menopang keuntungan ekonomis. Penelitian tersebut bertujuan menyelidiki apakah terdapat kepuasan pada orang-orang dalam hubungan romantis (pacaran) mereka sebagai hasil dari konsumsi konten-konten pornografi melalui media sosial.

Hasil penelitian menemukan bahwa efek dari konsumsi konten-konten pornografi dalam hubungan romantik atau hubungan pacaran anak-anak remaja, diperantarai oleh kepercayaan seksual dan dorongan seksual yang berlebihan. Saling mengirimkan foto-foto (dalam istilah sekarang disebut dengan singkatan PAP = post a picture. Biasanya berupa foto telanjang) atau pun panggilan video seks menjadi sarana orang-orang melampiaskan hasrat seksual mereka. Tentu saja gejala seperti ini tidak hanya terjadi pada anak-anak remaja dan kaum muda. Orang-orang dewasa pun dapat melakukan hal-hal yang sama demi mencari kepuasan seksual.

Jadi, dengan model pengembangan algoritma seperti itu, media sosial dimaksudkan untuk memenjarakan perhatian seorang pengguna, baik itu orang dewasa maupun anak-anak. Misalnya, seperti dijelaskan oleh Tristan Harris dalam film dokumenter, The Social Dilemma (2020) bahwa, ketika seorang anak bermain Facebook, Instagram, atau TikTok misalnya, sisi psikologisnya, yakni mental, emosi dan imajinasi anak itu diretas dengan masuk lebih jauh ke dalam batang otak mereka, mengambil alih harga diri dan identitas mereka dengan cara menghancurkan gambaran diri dan mental mereka secara tidak sadar.

Akibatnya, orang terus-menerus digoda untuk menunjukkan dirinya lewat ruang-ruang virtual. Pada platform media sosial Facebook misalnya, ada fitur sorotan dengan tujuan menarik semakin banyak follower atau penonton. Atau kita juga menemukan bahwa demi mendapatkan keuntungan yang besar berdasarkan jumlah “disukai”atau “dilihat sebanyak …,” seorang dapat menampilkan konten yang menarik secara fisik-sensual tanpa memerhitungkan aspek-aspek moralitas sosial.  

Hal-hal semacam itu tidak hanya terjadi pada orang muda, bahkan terjadi juga pada orang dewasa. Dengan alasan tambahan pendapatan, banyak perempuan menghabiskan banyak waktunya untuk membuat konten-konten yang menarik secara fisik-sensual demi menarik banyak follower. Konsekuensinya, kita bisa menemukan sekarang bahwa hal-hal yang dulunya dianggap tabu, sekarang malah menjadi konsumsi publik.

Misalnya, wilayah-wilayah privat seperti kamar tidur suami-istri bukan lagi ruang privat yang tidak bisa dimasuki orang lain. Secara virtual, seorang follower bisa mencapai ruang-ruang privat tersebut, karena pemiliknya dengan gembira membagikannya sebagai tontonan publik bagi banyak orang. Sebagai konsekuensi lanjutnya, yang bersangkutan akan didorong untuk mencari cara pemuasan secara langsung, sebab apa yang sudah terjadi secara imajinatif selalu akan mencari cara untuk menjadi konkret. Pemuasan hasrat atau nafsu secara virtual-imajinatif melalui layanan media sosial seperti foto atau video kemudian mendorong yang bersangkutan untuk mencari pemuasannya secara langsung.

Akibatnya, kalau kita memerhatikan dengan seksama, pada anak-anak dari generasi semasa ini yang disebut sebagai native digital, akan kita jumpai satu kenyataan  yang tidak bisa disangkal bahwa anak-anak saat ini adalah generasi yang paling banyak mengalami persoalan kecemasan, kerapuhan mental dan kehilangan jati diri yang otentik. Jangankan anak-anak, orang-orang muda pun bisa terkena pengaruh buruk tersebut, seperti terbukti dalam meningkatnya jumlah bunuh diri di kalangan orang muda. Sedangkan pada orang-orang dewasa, kita bisa melihat dalam kenyataan mengenai meningkatnya masalah dalam keluarga-keluarga, seperti perselingkuhan dan perceraian yang dipicu oleh efek buruk dari algoritma media sosial dalam lingkup ekonomi libidinal.

Berdasarkan situasi dan kondisi demikian, Alain Badiou, seorang filsuf Perancis, menyebut masa kita ini, yakni masa di mana hubungan sosial lebih banyak berlangsung dalam ruang-ruang virtual media sosial sebagai era pornografi. Perselingkuhan atau perceraian akibat perselingkuhan, anak-anak yang kehilangan kepercayaan diri, orang muda yang cepat putus asa dan sering kali berakhir dengan bunuh diri, adalah soal-soal yang lahir dari mentalitas pornografik yang ditopang oleh kemajuan teknologi digital. Teknologi media sosial misalnya membuat pengguna tidak lagi cukup kritis untuk membedakan antara bayang-bayang atau fantasi dengan kenyataan riil.

Dalam bukunya The Pornographic Age (2020:7), Badiou menulis bahwa persoalannya adalah kesulitan untuk menyadari kontradiksi atau pertentangan antara kenyataan riil dan gambaran-gambaran. Saat sesuatu itu bisa ditangkap lewat gambar-gambar, diringkus melalui nostalgia nafsu-nafsu fantasmatik, maka kenyataan yang sebenarnya dihancurkan atau dihapuskan. Bila dibaca dari perspektif metafora gua dari Platon, maka teknologi media sosial seperti penjara, dan para pengguna adalah para narapidana, yang tidak bisa membedakan antara bayang-bayang dengan kenyataan yang sesungguhnya. Orang menganggap, apa yang tampak atau yang ditangkap melalui foto atau video adalah kenyataan yang sesungguhnya. Padahal, foto atau video adalah media yang memenjarakan pengguna.

Beberapa contoh bisa ditunjukkan di sini. Seorang anak yang terpaku lebih banyak di depan layar game, tidak bisa membedakan mana kenyataan dan mana bukan kenyataan. Akibatnya, kekerasan yang dilihat dalam permainan video game bisa menghasilkan perilaku kekerasan dalam pergaulan harian dengan kawan-kawan sebayanya. Seorang anak muda yang membangun relasi melalui media sosial misalnya bisa kehilangan kepercayaan diri dan memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh keluarganya. Keluarga-keluarga terancam rusak, hancur dan tercerai-berai karena ilusi keindahan yang didapat melalui perselingkuhan.

Persis di sini, kita bisa melihat rusaknya kesadaran moral dalam diri masyarakat. Orang tidak mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, antara kebenaran dan kepalsuan, antara kejujuran dan kebohongan. Antara kenyataan diri dengan apa yang dibagikan melalui media sosial terdapat jurang yang sangat lebar. Platform-platform media sosial ibarat dinding dalam kisah Raja Belsyazar dalam Kitab Daniel (Dan 5). Kita bisa melihat tulisan apa saja, komentar apa saja ibarat tulisan tangan pada dinding istana Belsyazar, tetapi kita tidak melihat orangnya, karena ia bisa bersembunyi dibalik identitas-identitas palsu atau anonim.

Artinya, aktivitas bermedia sosial hanya memerkuat kecenderungan orang untuk memerindah penampilannya yang bertujuan membuat orang lain terkesan, tetapi tidak pernah memerkuat atau memerdalam persahabatan. Media sosial menjadi seperti Menara Babel: hanya penampakannya saja yang terlihat menyatukan, tetapi pada kenyataannya mengacau-balaukan orang-orang. Orang-orang tidak mampu untuk berbicara dalam satu bahasa yakni bahasa etis-moral. Orang-orang tidak mampu untuk mengakui mana kebenaran yang seharus dipegang bersama. Masing-masing dengan bahasa atau ungkapannya. Yang satu menggunakan bahasanya untuk menembak yang lain, sebaliknya yang lainnya juga membalas dengan bahasanya. Orang saling menghina, saling menjelekkan, saling membongkar melalui layanan media sosial.

Padahal, media sosial seperti Facebook misalnya, pada mulanya dimaksudkan untuk mendekatkan kembali semua yang renggang dan berjarak, menyatukan kembali orang-orang yang bertahun-tahun tak bersama, serta menghadirkan rasa menemukan bagi sekian banyak orang yang dulunya merasa kehilangan. Bahkan menumbuhkan cinta di antara orang-orang yang sebelumnya tak pernah bersua, ibarat korespondensi pada masa lalu. Akibatnya, banyak kali kita memindahkan obrolan dan omongan yang menyehari (yang disebut sebagai kelisanan), jumpa muka dengan muka, jabat tangan dengan tangan, ke dalam lingkungan virtual yang dimediasi oleh teknologi media sosial dengan algoritmanya yang anti-sosial, dan menghancurkan ruang-ruang perjumpaan konkret.

Namun, seperti telah disinggung di atas, seiring dengan berjalannya waktu, media sosial, seperti Facebook, Instagram, TikTok, MiChat, dan lain-lain, berubah menjadi ajang dan sumber penguatan kekacauan dan perpecahan. Dari perspektif “ekonomi nafsu”, media sosial hanya memerkuat emosi-emosi rendah orang-orang: kemarahan, kebencian, ketamakan, keinginan cabul dan seterusnya.

Sehubungan dengan itu, satu hal patut dicatat di sini. Manusia dalam konteks akses dan penggunaan teknologi disebut sebagai “pengguna” atau “pemakai” (user). Hanya ada dua hal yang menyebut manusia sebagai “pengguna” atau “pemakai,” yakni teknologi dan narkoba. Seperti halnya pengguna atau pemakai narkoba, di mana pemakaian yang berlangsung lama akan menghancurkan sang pemakai, demikian juga dengan pengguna media sosial. Dengan rancang algoritmanya yang meretas langsung ke batang otak, maka penggunaan untuk waktu yang lama tanpa sikap bijak, akan merusak cortex prefrontal otak, merusak daya pikir yang sehat, tetapi pada saat yang sama memerkuat emosi-emosi rendah sang pemakai.

Akhirnya, seperti telah disinggung di bagian awal tulisan ini. Kalau Aristoteles menyatakan bahwa ketika seseorang berurusan dengan soal makanan atau seksualitas tanpa kebajikan atau moralitas yang sehat, maka secara etis-moral, yang bersangkutan akan tampak lebih buruk dan lebih rendah dari binatang. Oleh karena itu, kita bisa menambahkan di sini, bahwa tanpa sikap etis dan moral yang sehat dalam bermedia sosial, seseorang akan menjadi lebih buruk dan lebih rendah dari binatang: dia hanya akan merusak dirinya dan orang lain.    

Kerajaan Kebisingan

Tidak disangkal bahwa kita hidup dalam apa, yang disebut oleh C. S. Lewis, dalam bukunya The Screwtape Letters (sebuah buku satire tentang kemanusiaan dari perspektif yang sangat tidak murah hati), sebagai “kerajaan kebisingan” (2001:171). Dalam kerajaan ini, terus-menerus kita diterpa kebisingan, entah itu di rumah, di jalan, di gereja, di kantor, dalam mobil, di sekolah, di mall, di pasar, dan di mana-mana.

Beberapa waktu yang lalu, saya memerhatikan, area kosong di belakang kompleks asrama Seminari Menengah St. Rafael menjadi tempat bermain meriam spirtus dari anak-anak sekitar situ. Bunyi yang dihasilkan dari mainan yang dijual bebas itu (bahkan gampang dibuat itu), sangat memekakkan telinga, juga mengganggu ketenangan.

Saya memerhatikan gejala berikut: masyarakat sekitar tampaknya tidak terlalu peduli? Orang tua-orang tua yang bekerja di sekitar situ, terlihat tidak peduli. Saya tidak tahu apakah mereka memang tidak peduli karena sibuk dengan sayuran mereka? Ataukah karena mereka ikut menikmati bunyi-bunyi yang tidak mengenakkan di telinga itu? Atau barangkali mereka memang tidak mendengar? Lain lagi dengan anak-anak Seminari. Kalau mereka lagi nonton film, maka mereka akan terganggu dengan mainan anak-anak itu. Sebaliknya, seperti yang sudah sering terjadi, mereka tidak terganggu sama sekali, saat mereka sedang duduk dan membaca pagi.

Dua gejala menyangkut reaksi yang berbeda itu membuat saya berkesimpulan (bisa jadi ini juga kesimpulan yang terburu-buru), bahwa masyarakat kita pekak. Pekak dalam arti bahwa sejauh suatu hal itu dirasa tidak mengganggu kesibukan saat itu, maka biarkanlah itu terjadi. Bukankah sudah bukan rahasia lagi, bahwa sekarang ini banyak orang tua membiarkan anak-anaknya melakukan apa saja, membiarkan mereka dipenjarakan oleh gawai android yang digenggamkan oleh orang tua mereka, asal saja anak-anak itu tidak mengganggu kegiatan atau kesibukan mereka.  

Oleh karena itu, jauh lebih dalam, masyarakat menjadi pekak dalam arti bahwa orang-orang tidak lagi mampu melihat dan mendengar dengan jernih, mana tindakan yang baik dan mana tindakan yang buruk. Singkatnya, masyarakat kita tidak hanya pekak secara fisik, tetapi secara moral juga pekak. Kepekakan ini lalu menghasilkan masyarakat yang permisif: semua hal boleh saya lakukan, tidak peduli apakah itu berguna bagi orang lain atau tidak, tidak peduli apakah mengganggu orang lain atau tidak. Sejauh tidak berhubungan dengan saya, maka biarkan saja.

Ideologi kebisingan ini didukung oleh pasar, yang menyediakan begitu banyak sarana penyaluran bunyi-bunyian. Bahkan kebisingan secara luas dipakai sebagai sarana penjualan. Bar, restoran, ruang publik secara umum, radio, televisi, film, internet, media sosial dipenuhi dengan kebisingan. Dan kebisingan ini dipakai sebagai jalan untuk merangsang konsumsi yang tak terbatas. Kalau dikatakan secara kasar, kebisingan itu diperjual-belikan, dan banyak perusahaan menyadari ini dan menaruh perhatian penuh pada aspek ini supaya bisa dieksploitasi (Stuart Sim, 2007:30). Akibatnya, kita mengalami tsunami kebisingan di mana-mana. Singkatnya kebisingan yang membuat kita babak-belur, dan menciptakan suatu masyarakat yang pekak, baik secara fisik maupun secara moral.

Dalam lingkup kehidupan sehari-hari, dalam rutinitas yang banal, kita tahu bahwa sejak pagi kita sudah diserbu dengan berbagai bunyi. Gawai sekurang-kurangnya menjadi benda pertama yang kita sentuh begitu bangun dari tidur, lalu kemudian menyalakan tivi dan membiarkannya menyala sampai aktivitas kita membawa kita meninggalkan rumah. Begitu masuk mobil, musik atau radio langsung dibunyikan. Kembali ke rumah, tivi dinyalakan lagi sampai waktunya pergi tidur atau bahkan tertidur dengan tivi yang masih menyala.

Lanskap media sosial juga misalnya, adalah lanskap kebisingan. Malah, kebisingan ini seringkali menciptakan lubang kosong: didesain supaya memenangkan permainan klik. Desain yang dihasilkan, ketika digunakan secara berkelanjutan, akhirnya menciptakan suatu masyarakat yang secara umum tidak mampu memilah secara moral berhadapan dengan kompleksitas tawaran, keindahan, yang asing atau aneh, dan pengalaman-pengalaman yang sulit. Media sosial membuat orang tidak mampu mengetahui secara jernih dan jelas, di mana dirinya dan apa posisi serta tugasnya saat berhadapan dengan suatu isu atau informasi tertentu.

Situasi kita ini berakar dalam suatu pandangan yang sangat dalam: kita hidup dalam suatu masa dengan suatu mantra, suatu doktrin yang terterima sebagai kebenaran bahwa kita hidup dalam dunia di mana setiap orang memiliki suaranya untuk setiap soal. Berhadapan dengan setiap soal, setiap orang punya suaranya yang berbeda, dan perlu didengarkan. Tetapi masalahnya adalah kalau semua orang bersuara, lalu siapa yang mau mengambil kesempatan untuk mendengarkan? Mengapa justru dengan bersuara, malah yang ditimbulkan adalah kebisingan?

St. Thomas Aquinas menyatakan bahwa suatu tindakan itu baik sejauh ia bersesuaian dengan kodrat kita dalam hubungan dengan kebaikan komunitas sosial kita, dan membantu seseorang dalam mengejar kebajikan. Ini berarti bahwa suara-suara itu justru menimbulkan kebisingan karena suara-suara itu ditujukan demi suara itu sendiri. Orang ingin bersuara karena ia mau bersuara tanpa alasan yang jelas dan terpilah. Atau orang menciptakan suara demi kepentingan dirinya sendiri, demi pemuasan dirinya sendiri, dan bukan demi kepentingan komunitas politis (the political) yang lebih luas.

Maka, dalam konteks yang lebih luas seperti politik misalnya, kebisingan itu justru diciptakan oleh para politisi. Kebisingan akibat kecurangan yang dilakukan oleh kekuasaan, kebisingan yang diciptakan oleh para penerima bantuan-bantuan sosial, yang disuap dan yang menyuap sama-sama menciptakan kebisingan, pembenci yang sebelumnya selalu bicara negatif terhadap penguasa (dan karena itu ikut menciptakan kebisingan), sekarang malah saling berciuman pipi dan bergandengan bersama, dan dengan demikian menimbulkan rangkaian kebisingan baru. Kebisingan akibat teriakan karena harga barang-barang yang mulai meningkat drastis, bergemuruh bersama para politisi yang menciptakan kebisingan sosial lainnya.

Persis di sini, kita melihat bahwa setiap orang bisa menciptakan bunyinya menurut kehendaknya. Setiap suara punya nilainya sendiri, setiap bunyi punya nilai. Orang seakan-akan dituntut untuk bersuara walaupun tidak ada alasan yang mendesak untuk bersuara. Bahkan, menyangkut isu penting tertentu, seseorang yang tidak memiliki wewenang dan hak untuk bersuara terkait isu tersebut, malah bersuara seolah-olah ia sedang melaksanakan tanggungjawab publik yang penting. Orang tidak lagi tahu diri, tugas dan perannya dalam masyarakat. Dalam konteks ini, berdiam, tidak bersuara atau hening adalah bentuk penyimpangan sosial. Konsekuensinya, kita hidup dalam suatu dunia penuh kebisingan, karena setiap orang ingin bersuara, setiap orang ingin menciptakan bunyinya, setiap orang ingin memerdengarkan bunyinya.  

Akibat yang jauh lebih dalam adalah kita tidak mampu lagi untuk membedakan antara suara atau bunyi yang berkualitas dan mana suara atau bunyi yang tidak berkualitas. Kita tidak mampu membedakan mana suara yang menyatakan kebenaran dan mana suara yang menyatakan kepalsuan. Kita tidak mampu untuk membedakan mana suara atau bunyi yang baik dan mana suara atau bunyi yang tidak baik. Benar bahwa hidup manusia bernilai, tetapi hal ini tidak berlaku pada soal suara atau bunyi. Ada suara atau bunyi yang memiliki kualitas atau derajat nilai yang rendah, bahkan ada suara atau bunyi yang hanya menghasilkan hal-hal yang negatif.

Dalam The Screwtape Letters, Lewis secara metaforik menunjukkan bagaimana Screwtape, si Iblis menulis kepada keponakan iblisnya, Wormwood bahwa “segala sesuatu akan diambil-alih oleh Kebisingan – Kebisingan, dinamisme yang besar, ekspresi yang dapat didengar dari semua kegirangan, yang paling bengis, kekerasan – Kebisingan itu sendiri yang mampu memertahankan kita dari kepandiran yang menggelikan, keputusasaan yang membebani, dan hasrat-hasrat yang tak mungkin. Hasilnya, kita akan membuat seluruh semesta bergemuruh. Kita sudah membuat langkah yang besar pada arah ini berhadapan dengan bumi. Melodi dan keheningan Surga akan dihentikan sepenuhnya” (Lewis, 2001:120). Sang Iblis tahu bahwa perhatian manusia sangat gampang dialihkan, dan karena itu gampang pula untuk digiring melalui kebisingan.

Apalagi, Sang Iblis tahu bahwa allah yang disembah oleh manusia zaman ini adalah allah yang “sangat hedonis”. Semua puasa dan perayaan-perayaan vigili dan tiang-tiang pancangan dan salib-salib yang terpasang hanyalah kulit luar. Atau hanya ibarat busa pada pinggir pantai. Di samudera, di samuderanya, hanyalah kenikmatan dan kenikmatan yang lebih besar (Lewis, 2001:118). G. K. Chesterton sudah pernah mengingatkan bahwa kalau Allah yang benar sudah tidak diimani atau ditolak, bukan berarti bahwa manusia tidak percaya lagi. Yang terjadi justru sebaliknya, manusia mulai percaya pada apa saja sebagai allahnya.

Sehubungan dengan itu, tidak mengherankan bahwa dalam mentalitas zaman ini, manusia dengan gampang percaya pada allah yang “penuh dengan kekerasan, punya mentalitas borjuis, dan seluruh dunianya penuh diisi dengan kenikmatan. Dan semua hal yang dilakukan oleh manusia sepanjang hari tak sedikit pun ia pedulikan – tidur, mandi, makan, bercinta, minum, bermain, berdoa, bekerja” (Lewis, 2001:118).   

Kembali kepada anak-anak tersebut. Pertanyaan yang langsung bisa diajukan adalah dari mana mereka mendapat uang untuk membeli mainan meributkan itu? Apakah diberi oleh orang tua? Ataukah mereka mengambil sendiri dari dompet orang tua? Jika uang itu pemberian orang tua, maka kita berhadapan dengan satu soal fundamental: anak-anak kehilangan orang tua secara moral. Mengapa? Karena orang tua hanya memberi uang tanpa mengetahui penggunaan uang itu. Dengan kata lain, orang tua hanya mendukung sisi kompulsif, bahwa yang penting anak senang dan tidak mengganggu kerjaan orang tua. Apakah penggunaan itu demi kebaikan atau demi hal buruk, hal tersebut berada di luar horizon perhatian orang tua terhadap anaknya. Hal yang sama berlaku juga pada pertanyaan kedua.

Anthony Esolen dalam bukunya, Ten Ways to Destroy the Imagination of Your Child (2010) menunjukkan secara jernih bahwa salah satu cara, yang dengan tidak sadar dipakai oleh orang tua untuk merusak imajinasi anak-anak mereka adalah memasukkan anak-anak mereka ke dalam kerajaan kebisingan. Caranya, pusatkan perhatian mereka pada hal-hal yang ilusif dan tidak nyata.

Suatu hari, di pelataran Gereja Katolik St. Stefanus Cilandak, sedang berlangsung kegiatan tujuh belasan. Saya sempat merekam dengan kamera hape saya, beberapa ibu secara spontan memberikan hape mereka kepada anak-anak mereka, dengan maksud supaya anak-anak itu tidak mengganggu kegiatan ibu-ibu itu yng sementara ngerumpi. Maksudnya, orang tua tidak bertindak secara tepat dalam soal pendidikan anaknya.

Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 Thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/3

3. Ritual Misa menangkal Ketamakan Spiritual

Pada bagian pertama dari spiritualitas liturgi, saya mengulas aspek kesadaran kita umat sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Lalu pada bagian lanjutannya, saya membahas mengenai aspek penyangkalan diri, kemampuan melepaskan diri yang terkandung dalam liturgi kita, yakni pada ritus yang kita rayakan. Maka, pada bagian ketiga ini, saya mencoba menampilkan aspek lain yang terkandung dalam liturgi kita. Ritus yang kita rayakan, ritus yang ditentukan oleh Allah melalui Tradisi Gereja Universal mampu menangkal ketamakan spiritual dalam diri kita.

Salah satu credo modernitas adalah bahwa manusia mampu memilih sendiri nilai yang diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya, manusia modern berhak memilih dirinya sendiri. Salah satu manifestasi dari hasrat untuk memilih bagi diri sendiri itu tampak dalam kerinduan posesif dan kompulsif akan sesuatu yang baru dan menarik. Kerinduan ini memberi kepada manusia modern satu ciri khasnya: menjadi modern berarti berbeda dengan apa yang sudah ada, berbeda dengan masa lalu, berbeda dengan apa yang sudah dianggap biasa. Mentalitas ini meresap masuk ke dalam liturgi dan pemahaman atasnya.

Seperti sudah sempat disinggung pada bagian sebelumnya, mentalitas modern yang kompulsif dan obsesif akan kebaruan membuat manusia modern tidak menyukai pengulangan. Barangkali kita pernah mendengar keluhan seperti: “ini lagu yang ulang-ulang saja,” “omong yang sama dari tahun ke tahun,” dan lain-lain lagi. Manusia modern membenci pengulangan. Di balik keluhan seperti ini, kita bisa mencium sebentuk pergeseran di dalam ekaristi: hal-hal yang benar, baik, dan indah yang menopang kontemplasi mengalami reduksifasi menjadi sekadar nilai yang didasarkan pada kegunaan. Hal ini kontras dengan liturgi gereja yang menggandeng semuanya ke dalam keindahan (seperti tampak dalam lukisan di Kapel Sistine) tanpa mereduksi kegunaan dari nilai-nilai formal yang ada.

Tendensi kebaruan ini mendapat topangannya yang kokoh dari pasar. Sebagai akibatnya, kita bisa melihat bahwa seringkali tindakan-tindakan liturgis yang spesifik seperti syukuran misalnya menjadi semacam ‘mimikri’ dari pertukarang di pasar. Maka, tidaklah mengherankan bahwa Vincent J. Miller menulis dalam Consuming Religion (2004), bahwa dorongan akan kebaruan menghasilkan suatu liturgi yang baru sama sekali seperti tampak dalam misa ritus baru. Kebaruan ini sedikit banyak dimaksudkan untuk memuaskan hasrat akan kebaruan, namun dalam budaya konsumtif seperti sekarang ini, misa ritus baru tetap dirasakan sebagai membosankan dan terlalu banyak pengulangannya.

Kebaruan menghasilkan ketamakan rohani. Yang dimaksud dengan ketamakan rohani adalah cacat rohani yang membuat seseorang bergembira dan memusatkan perhatiannya hanya pada hiburan jasmani dibalik hal-hal rohani yang diberikan oleh Tuhan, namun tidak menggunakan hiburan rohani itu sebagai sarana untuk lebih menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, yakni bertumbuh dalam kekudusan: hendaklah engkau sempurna seperti Bapa di surga adalah sempurna.

Ketamakan spiritual terjadi ketika orang melakukan hal-hal spiritual atau keagamaan karena adanya penghiburan atau kesenangan yang diperoleh dari tindakan-tindakan itu, orang merayakan hal-hal spiritual atau keagamaan demi mendapatkan kepuasan sosial, pengakuan sosial bahkan kedudukan sosialnya diafirmasi. Secara sosial misanya, banyak keluarga berjuang supaya anaknya bisa menjadi imam atau biarawan-biarawan karena hal itu bisa meningkatkan status sosial di tengah masyarakat. Berhasil dalam lingkup keagamaan adalah hal lain, sedangkan semakin beriman adalah soal lain. Setelah menerima tahbisan imam, kepada keluarga saya sendiri, saya mengatakan bahwa dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa keluarga kita juga akan baik-baik saja. Dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa secara rohani keluarga kita menjadi lebih baik dari orang lain. Tidak. Bisa terjadi, malah meningkatkan kesombongan spiritual, karena merasa bahwa salah satu orang dalam keluarganya telah menjadi imam.

Contoh lain misalnya, kita mendapati bahwa permintaan misa syukur atas keberhasilan tertentu lebih banyak dari jumlah orang yang datang meminta Sakramen Pengakuan. Umat berjubel dalam misa hari minggu tetapi sedikit sekali orang yang datang saat ada jadwal penerimaan Sakramen Pengakuan. Dalam hal ketamakan spiritual ini, Tuhan tidak menjadi tujuan akhir dari tindakan-tindakan keagamaan atau spiritual yang dilakukan. Ini juga menjelaskan mengapa misalnya, orang merayakan natal bahkan sebelum natal tiba atau masih tetap merayakan natal meskipun secara liturgis bukan saatnya lagi. Kita memakai hal-hal spiritual bukan demi kemajuan rohani kita, tetapi demi memuaskan hasrat atau selera-selera sosial kita.

Kebaruan melahirkan ketamakan spiritual karena umat cenderung untuk berpikir bahwa apa yang baru, atau hal baru selalu lebih baik, sehingga setiap hal baru yang didapat memberi kesenangan baru. Di sini tampak jelas bahwa hal-hal baru dapat dengan mudah berubah menjadi hiburan bagi orang. Namun bahayanya adalah hal-hal baru mendorong seseorang untuk hanya menaruh perhatian pada hal-hal baru dan berhenti memandang Tuhan. Orang terpaku pada hal-hal baru, dan lupa untuk menaruh perhatian pada pertumbuhan spiritual. Dalam hal ini, kita mengingat gugatan Tuhan berikut: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu” (Am 5:21).  Para santu dan santa penulis spiritual dalam tulisan-tulisan mereka telah mengingatkan betapa berbahayanya ketamakan spiritual bagi hidup rohani kita.

Liturgi kita, terlebih dalam misa ritus lama menghancurkan ketamakan spiritual pada tiga level berbeda. Pertama, melalui keheningan. Keheningan menangkal dan menghilangkan kecenderungan kita untuk berbicara dalam ekaristi. Dalam catatan mengenai persiapan seperti terdapat dalam TPE 2020, di sana tertulis: “menjelang perayaan Ekaristi seyogyanya diadakan persiapan dengan menciptakan suasana yang khidmat, baik oleh umat maupun oleh imam dan para pelayan.” Pernyataan mengenai “suasana yang khidmat” sebenarnya merujuk pada keheningan yang mendahului perayaan ekaristi. Tetapi, seperti yang sudah sering kita alami bersama, lebih banyak keriuhan yang ada ketimbang keheningan, baik itu di dalam gereja maupun di ruang sakristi menjelang ekaristi. Memang kita perlu menyadari hal ini secara pribadi dan mengupayakannya secara sadar.

Kedua, pengulangan dalam perayaan ekaristi. Pengulangan memastikan bahwa selera kita yang selalu menginginkan hal baru tidak pernah terpuaskan. Pengulangan dalam kebaikan spiritual merupakan sesuatu yang dihargai pada tingkat intelektual, dan bukan pada tingkat selera. Selera kita dapat menjadi bosan saat berhadapan dengan sesuatu yang sama berulang-ulang. Misalnya, ingin makan makanan yang enak sekali pun seperti daging, kita akan menjadi bosan pada saat kita berhadapan dengan daging setiap saat. Tetapi secara intelektual, kita mampu untuk  melihat nilai dari sesuatu setiap kali kita menjumpai atau berhadapan dengan hal tersebut. Pengulangan pada tingkat intelektual menghantar orang pada kedalaman. Itu sebabnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, St. Ignasius Loyola menulis buku spiritualnya dengan judul “Latihan Rohani.” Pengulangan pada level spiritual adalah suatu latihan yang berarti bahwa ia membutuhkan pengulangan berkali-kali.

Yang ketiga, kepuasan tertentu datang dari kontrol atau penguasaan kita atas sesuatu. Inilah alasannya mengapa ritus kita. Inilah alasan mengapa ritual kita perlu ditetapkan dan ditentukan oleh Gereja dan bukan oleh kita sendiri. Paus Pius IX saat diminta untuk menambahkan ke dalam Kanon Roma nama St. Joseph (ditambahkan kemudian oleh Paus Yohanes XXIII), ia menjawab bahwa “Ia tidak dapat melakukannya. Ia hanya seorang Paus.” Pendirian Pius IX hendak menunjukkan bahwa ritual yang berasal dari Tradisi pertama-tama bukan karya manusia, tetapi karya Allah. Sejauh ritual itu ditentukan oleh pilihan-pilihan kita dan bukan menurut hukum universal Gereja, kita mengambil kontrol atas liturgi. Dengan begitu kita menundukkan kebaikan-kebaikan spiritual kita pada selera kita. Kontrol atas kebaikan spiritual ini dapat melebar pada aspek lain lagi ketika imam atau umat merasa bahwa kebaikan spiritualnya ditentukan pula oleh penyesuaian kita dengan kemajuan teknologi.

Secara alamiah, setiap orang berbeda baik tingkat intelektualitas, sensitivitas maupun secara fisikal dan material. Maka, ketika ritual menjadi produk individu tertentu, atau segelintir orang, ritual itu kehilangan daya tarik spiritualnya di mata orang lain, yang berbeda tingkatan intelektual, sensitivitas maupun spiritualnya. Dengan ritus yang sudah ditentukan Gereja Universal, seseorang dilindungi dari kemungkinan pemaksaan spiritual oleh orang lain atau oleh imam sendiri. Hal yang sama berlaku pada musik liturgi juga. Musik Gregorian sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menarik bagi setiap orang pada level emosi dan seleranya.

Sebaliknya, keindahan nyanyian Gregorian memiliki daya tariknya pada tingkat kecerdasan dan kemauan. Maka hal ini, secara alami dapat mendorong kemauan doa, yang diartikan sebagai pengangkatan pikiran dan hati kepada Tuhan. Nyanyian Gregorian secara alamiah menarik orang ke dalam kontemplasi ilahi dan misteri dari ritual yang dirayakan. Ini jauh berbeda dengan musik-musik inkulturatif yang secara intelektual hanya menyentuh sebagian orang. Ini juga terjadi dengan nyanyian Mazmur Tanggapan edisi terbaru, di mana kita merasakan sejenis kedangkalan saat dinyanyikan dibandingkan dengan nyanyian Gregorian.

Hal lain di mana liturgi juga mengajar kita tentang penyangkalan diri, mematahkan ketamakan spiritual melalui bahasa. Dari pengalaman saya, Bahasa Latin membatasi kita untuk tidak terlalu banyak melakukan improvisasi bahasa, atau menambah-nambah kata-kata yang menarik dari segi selera. Dengan kata lain, bahasa Latin ketika digunakan menghalangi kecenderungan imam untuk melalukan tindakan-tindakan ad lib (tambahan doa berdasarkan ungkapan-ungkapan spontan imam demi menyenangkan selera pendengarnya), bahkan menghalangi imam memaksakan disposisi pribadinya terhadap mereka yang menghadiri misa, atau bahkan berusaha untuk menyenangkan peserta misa.

Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/2

2. Penyangkalan diri, melepaskan-diri/keteguhan

Pada bagian pertama dari spiritualitas liturgi, saya membahas tentang kesadaran sebagai orang yang berdosa. Maka, di sini, dengan tetap berkiblat pada ulasan Chad Ripperger, saya akan melanjutkan dengan aspek lain dari spiritualitas dalam liturgi Gereja yang memanifestasi melalui ritual, yakni penyangkalan diri dan mati raga. Salah satu manifestasi paling konkret dari penyangkalan diri yang terungkap melalui ritus misa adalah keheningan, diam di hadapan Tuhan, diam saat berada dalam gereja.

Secara manusiawi, saat kita berjumpa dengan seseorang yang punya kecenderungan untuk bicara banyak, ia akan cenderung untuk tidak bisa berdiam. Ia akan terlihat lebih banyak bicara. Hal ini sering kali disebabkan karena orang merasa penuh dalam dirinya sendiri. Inilah kondisi manusiawi bahwa setiap kali kita melakukan sesuatu yang sesuai, atau menurut kesukaan kita, baik kesukaan fisik maupun kesukaan estetik; kita mendapat kepuasan dari hal tersebut. Kita sering mendengar istilah ‘mood’ menyangkut hal-hal tertentu, tetapi tidak memiliki ‘mood’ untuk hal-hal lain. Ketika kita mengalami sesuatu yang sesuai dengan mood kita, di sana kita memeroleh kepuasan atau kenikmatan darinya. Dengan kata lain, dalam soal bicara, kita bisa sangat bergantung pada ‘keinginan’ untuk bicara, dan sedikit sekali memiliki dorongan untuk berdiam.

Ritus misa, terutama dalam misa ritus lama yang menekankan keheningan, sebenarnya mencegah kecenderungan itu. St. Yohanes dari Salib menyatakan bahwa sebelum ia masuk dalam keadaan kontemplasi mistikal, “rumahnya”, yakni dirinya menjadi sangat hening, dan ini berarti bahwa seluruh keinginannya juga didiamkan secara total. Apa yang dinyatakan oleh St. Yohanes ini sebenarnya menjadi tanda bagi kita bahwa kita perlu berdiam, perlu mengesampingkan diri kita sendiri, sehingga kita mampu untuk menanjak menuju puncak yang diinginkan oleh Tuhan bagi diri kita, dan misa menolong kita dalam hal ini.

Ini juga menegaskan bahwa kita tidak dapat menempatkan diri kita sebagai pusat perhatian dengan banyak bicara. Maksudnya adalah supaya kita mampu menangkap makna dan signifikansi terdalam dari liturgi kita. Kalau kita mau memerhatikan dengan seksama, kita akan menjumpai kenyataan bahwa keheningan adalah suatu hal yang hampir sepenuhnya hilang dalam liturgi semasa ini. Banyak orang tidak bisa, bahkan tidak mau hening saat berada dalam gereja, terutama keheningan yang mendahului ekaristi dan sepanjang ekaristi, terutama sesudah komuni.

Ritus misa juga sebenarnya mendorong suatu cita rasa penyangkalan diri di satu sisi, dan keteguhan di sisi lain, baik bagi imam maupun bagi umat, karena ritus misa kita sepenuhnya ditentukan oleh Bunda Gereja. Kita membaca dalam Perjanjian Lama tentang bagaimana Allah memberikan instruksi yang amat detail tentang bagaimana seharusnya kita menyembah-Nya. Apa yang ditunjukkan dalam Perjanjian Lama itu dapat menjadi kunci bagi kita untuk memahami liturgi kita secara tepat. Yang pertama, adalah bahwa liturgi itu bukan tindakan kita, tetapi tindakan Allah melalui imam. Secara hakiki, liturgi itu menyangkut apa yang dilakukan Allah bagi kita, misalnya konsekrasi tidak akan terjadi tanpa Allah yang menjadi sebab pertama pengorbanan itu.

Yang kedua, bahwa hanya Allah yang menentukan bagaimana kita harus menyembah-Nya, dan bukan kita. Hal ini sepenuhnya bertolak belakang dengan tendensi modern: suatu hasrat untuk menentukan atas dasar kemauan diri sendiri bagaimana sebaiknya kita menyembah Allah. Ini memerlihatkan suatu kekeliruan yang amat fatal, karena kita seolah-olah memaksa Allah untuk mengikuti kehendak kita mengenai seperti apa kita perlu menyembah-Nya.

Poin yang kedua di atas menegaskan salah satu aspek penting dari spiritualitas dalam liturgi: bahwa kalau kita ingin mencapai apa yang diinginkan oleh Tuhan yakni sebagai warga “imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat milik Allah sendiri”, maka tugas kita adalah menyesuaikan diri dengan liturgi, dan bukan sebaliknya membuat liturgi yang sesuai dengan keinginan kita, suatu liturgi yang sepenuhnya berdasarkan keinginan manusiawi kita. Gejala ini seringkali bersembunyi dibalik alasan inkulturasi yang seringkali melewati batas: kita ingin membuat suatu liturgi yang sesuai dengan cita rasa estetis kita.

Jauh lebih, dalam ritus misa dengan rubrik yang tersedia menyediakan dua keuntungan spiritual bagi imam dan umat. Pertama, bahwa bagi imam, ia belajar untuk menyesuaikan diri dengan kehendak Allah yang tampak melalui rumusan yang tersedia. Hal ini melindungi imam dari kemungkinan untuk berpikir atau terganggu dengan apa yang barangkali dipikirkan oleh umat yang hadir. Hal yang sama berlaku bagi umat yang hadir. Umat perlu belajar untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ada. Tak bisa disangkal bahwa pada masa ini seringkali kita mendengar keluhan bahkan saran agar liturgi dibuat lebih menarik. Alasannya, kalau dibuat menarik maka liturgi yang menarik itu ibarat magnet yang akan menarik semakin banyak orang untuk datang ke gereja. Tetapi, kecenderungan seperti itu berakar dalam mentalitas yang melihat bahwa liturgi adalah sepenuhnya tindakan manusia, dan bukan tindakan Allah.

Maka, yang kedua adalah bahwa liturgi yang demikian mengajar imam dan umat mengenai penyangkalan diri dan mati raga. Saat kita menyadari bahwa liturgi yang kita rayakan berada di luar kendali kita, maka kita belajar untuk menyesuaikan diri. Inilah makna terdalam dari apa yang disebut sebagai partisipasi aktif: bahwa kita berpartisipasi secara aktif dan sadar melalui apa yang telah ditentukan bagi kita. Di situ, dalam ekaristi, imam dan umat belajar untuk melupakan diri sendiri. Secara khusus, bagi imam, dengan bertindak in persona Christi, berarti personalitasnya diminimalisir dan ia belajar untuk menyediakan dirinya bagi Kristus: supaya Ia makin besar, dan aku makin kecil. Sedangkan bagi umat sendiri tidak tersedia kemungkinan untuk memanipulasi imam lewat liturgi demi memuaskan tujuan atau keinginan-keinginannya.

Liturgi dapat membantu imam dan umat meningkatkan kedalaman spiritual melalui tiga alasan penting. Pertama, bahwa liturgi membawa kita keluar dari diri kita, dan membawa kita kepada Allah. Kalau kita tetap tinggal dalam diri kita, dan kalau kita membuat liturgi sebagai sesuatu yang sepenuhnya menyangkut diri kita, kita akan ditakdirkan untuk jatuh ke dalam kedangkalan dan superfisialitas. Tetapi, kalau kita menyadari dan menerima bahwa liturgi itu berada di luar kendali kita, bahwa liturgi melampaui kita, karena berhubungan dengan misteri Allah, maka kita dibantu untuk lebih mengembangkan sikap kontemplatif kita saat sedang berada di dalam gereja.

Kedua, liturgi didasarkan pada tradisi yang panjang, terutama misa ritus lama. Tradisi menyediakan mekanisme di mana manusia dapat melepaskan dirinya, dan meninggalkan dirinya pada Allah yang membentuk tradisi tersebut, ketimbang mengontrol tradisi atau memutuskan diri dari tradisi. Artinya, tradisi menyediakan mekanisme melaluinya warisan spiritual dan liturgis dari para kudus dapat dibagikan kepada setiap generasi yang akan datang kemudian. Seperti seseorang yang tidak mengenal akar historisnya dan karena itu tidak mampu memahami dirinya sendiri, manusia modern memilih untuk menolak tradisi dan menggantikannya dengan dirinya, hanya untuk menghadapi kenyataan bahwa ia kehilangan dirinya sendiri. Gejala itu dapat ditangkap pada misa ritus baru, di mana seorang imam dapat melakukan improvisasi apa saja berdasarkan cita rasa pribadinya sambil menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu dapat memberi keuntungan spiritual yang memadai bagi dirinya dan umat yang dilayani.

Yang terakhir adalah pengulangan yang menjadi ciri khas misa ritus lama, tetapi menjadi sesuatu aneh bagi para ahli liturgi misa ritus baru. Misalnya, dalam misa ritus baru, kita diberitahu bahwa membuat tanda salib itu hanya dilakukan sebanyak dua kali, yakni di awal misa dan di akhir misa pada saat berkat penutup. Bandingkan dengan misa ritus lama, di mana tanda salib dilakukan sebanyak 48 kali. Alasan penolakannya karena kita tidak perlu melakukan pengulangan yang tidak perlu, dan pengulangan yang terus menerus sebenarnya tidak berguna. Contoh lain, adalah dalam doa Confiteor, dalam misa ritus baru permohonan kepada para malaikat dan orang kudus diringkas menjadi “…kepada para malaikat dan orang kudus…”. Tetapi kalau kita perhatikan dalam misa ritus lama, dalam Confiteor kita menjumpai pengulangan dua kali permohonan kepada Malaikat Agung St. Mikhael, St. Yohanes Pembaptis dan St. Petrus dan Paulus.

Penolakan dan kemudian penghilangan pengulangan di dalam ekaristi sebenarnya banyak dipengaruhi oleh semangat Protentantisme. Misalnya, orang-orang Protestan melihat pengulangan 50 kali Salam Maria dalam doa Rosario sebagai pengulangan yang sia-sia. Mentalitas modern menolak dan tidak menyukai pengulangan. Manusia modern memuja kebaruan (novelty) karena memberi kepada selera kita kesenangan yang dibutuhkan. Tetapi apakah kesenangan akan kebaruan memberikan kedalaman, tidak ada jawaban pasti. Padahal, untuk mencapai sesuatu di kedalaman, dibutuhkan pengulangan. Inilah alasannya, misalnya Ignasius Loyola menyebut bukunya sebagai “Latihan Rohani”, karena latihan membutuhkan pengulangan yang terus menerus.

Hal pengulangan dalam misa menyangkut kebaikan spiritual adalah sesuatu yang dihargai pada tingkat intelektual, bukan pada tingkat hasrat dan selera. Hasrat dan selera kita dapat menjadi bosan ketika mengalami hal yang sama berulang kali. Tidak mengherankan bahwa ada kecenderungan dalam diri sebagian orang muda untuk memikirkan misa sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kebutuhan seperti itu, seringkali mendorong Gereja untuk mengentertain liturgi, dengan maksud menarik bagi orang muda. Tetapi cara demikian hanyalah akan memberi kepuasan sesaat, dan setelah itu orang akan kembali kepada kebiasaan lama mereka: menjauh dari gereja karena gereja dianggap tidak memberi kepuasan, juga tidak menyediakan jalan bagi keberhasilan di dunia karier.

Pada sisi lain, intelek dapat menemukan nilai setiap kali sesuatu ditemukan. Maka kita mengenal ungkapan “repetitio est mater studiorum” (pengulangan adalah ibu dari pembelajaran). Hal ini berlaku juga dalam hal kerohanian. Dengan mengulang-ulang suatu doa, maka maknya menjadi lebih kita ketahui sehingga kita mampu memasukinya dengan lebih sempurna dan dalam. Karena ritus misa tidak memberi peluang kepada hal-hal baru, melainkan kepada pengulangan, maka ritus sebenarnya menyediakan cara agar seseorang dapat lebih fokus pada misteri yang sedang dirayakan dibandingkan pada hal-hal baru yang terus bermunculan. Keheningan dan pengulangan yang menjadi ciri misa, sebenarnya membantu kita untuk dapat berpartisipasi dengan lebih baik, dan masuk lebih jauh ke dalam misteri misa yang sedang dirayakan.

@Seminari St. Rafael OEpoi – Kupang, Senin, 01 Januari 2024: HR. Santa Maria Bunda Allah

Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/1

Pada bagian pertama dan kedua tulisan ini, saya mencoba menunjukkan beberapa fenomena yang menjadi petunjuk penting adanya krisis yang mengakibatkan terjadinya desakralisasi yang berlanjut di dalam liturgi Gereja. Fenomena-fenomena yang disinggung itu hendak menegaskan satu hal konstitutif: bahwa di bawah pengaruh mentalitas modern (Paus St. Pius X dalam Pascendi Dominici Gregis [1907], menyebut modernisme sebagai sintesis semua heresi yang ada) mengakibatkan liturgi sebagai penyembahan kepada Allah dihilangkan dari kesadaran umat, dan diberi penekanan yang berlebihan pada soal tindakan manusia.

Akibatnya, manusia modern cenderung untuk menempatkan kebaikan rohani dan keselamatannya di bawah kendali dirinya. Tendensi gnostisisme dan pelagianisme sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium (2013), samar-samar meresap masuk ke dalam kesadaran rohani umat dan mengakibatkan suatu proses regresif yang berlanjut (Cf. EG, 94). Dengan telisik historisnya, Joseph Jungmann dalam bukunya The Mass (1976) menemukan bahwa spiritualitas abad ke-20 ini tidak lagi berpusat pada pribadi Yesus Kristus, tetapi pada tindakan manusia.

Di antara para teolog dan liturgist, sudah umum diterima bahwa setiap bentuk liturgi mengandung dan mewujudkan sejenis sprititualitas yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritus bersangkutan. Misalnya, ritus Timur cenderung untuk memberi penekanan pada aspek-aspek misteri dari kehidupan spiritual serta peran dari ikon-ikon suci dalam menopang devosi kepada Tuhan, Bunda Maria dan para kudus. Ritus antik, yakni ritus yang dikodifikasi sejak Paus Damasus I dan kemudian oleh Paus Gregorius Agung misalnya menarik bagi setiap generasi yang berbeda. Dan Misale 1962 menampilkan aspek pertumbuhan organis dari liturgi sepanjang hampir 1900 tahun.

Namun ada persepsi yang menyesatkan yang cukup umum diterima, yang menganggap bahwa liturgi yang berkembang pada periode abad pertengahan pada dasarnya bersifat dekaden, dan karena itu ada tuntutan untuk kembali kepada Tradisi Apostolik dan Gereja Perdana demi mengetahui secara pasti apa itu liturgi yang sesuai dengan kehendak Allah. Namun, pandangan ini sebetulnya tidak tepat, sebab penolakan seperti itu sebenarnya berarti penolakan terhadap pertumbuhan organik liturgi berdasarkan pemahaman bahwa misa atau ekaristi adalah kurban dan penyembahan.

Liturgi yang berkembang sejak Paus Damasus I sampai sebelum KV II, dipahami sebagai karya tangan Allah sendiri yang memakai para orang kudus sepanjang sejarah untuk mengembangkannya menurut keinginan-Nya, seperti kita baca dalam instruksi-instruksi yang diberikan kepada Musa dalam peristiwa Exodus. Maka, hasrat untuk menolak liturgi antik (Misa Tridentin), atau dalam konteks sekarang, anggapan bahwa misa ritus baru yang selama ini dirayakan merupakan satu-satunya ritus Gereja Latin, atau menganggap bahwa liturgi pasca-Vatikan II sebagai satu-satunya liturgi yang wajib adalah hasrat untuk menolak apa yang telah dilakukan oleh Allah dalam sejarah.

Sejauh liturgi itu merupakan karya Allah, maka liturgi itu sendiri mengandung dan mewujudkan beberapa prinsip spiritual yang penting. Di sini, dengan berkiblat pada uraian Pastor Chad Ripperger, FSSP., saya akan menunjukkan beberapa poin berikut menyangkut spiritualitas liturgi.

1. Kesadaran sebagai orang berdosa

Warta Kristen adalah warta pertobatan. Tema ini hampir kita temukan dalam seluruh halaman Kitab Suci. Maka, salah satu bagian yang langsung kita hadapi saat memulai misa adalah kita dihantar pada “kesadaran sebagai orang berdosa” yang mau menghadap hadirat Allah. Misa ritus baru (TPE 2020) misalnya, memberi 4 pilihan cara.

Dalam rumusan Confiteor (Saya Mengaku), misa ritus baru menghilangkan penyebutan dua kali nama Malaikat Agung St. Mikhael, St. Yohanes Pembaptis, St. Petrus dan Paulus seperti tampak dalam misa ritus lama (misalnya TPE 1962) dan meringkasnya menjadi “… kepada para malaikat dan orang kudus…”. Cara keempat, yakni Asperges Me/Vidi Aquam sangat jarang dipakai, barangkali karena alasan praktis. Karena jarang dipakai dalam perayaan ekaristi, baik itu pada masa biasa atau pun dalam masa Paskah dan dalam perayaan-perayaan besar seperti disarankan, maka saya juga jarang memakai cara ini.

Dalam misa ritus lama, kesadaran sebagai orang berdosa sudah berlangsung di depan altar – altar masa mudanya, tidak seperti ritus baru, di mana ajakan oleh imam untuk mengakui dosa-dosa, diberikan dari atas altar. Confiteor yang harus dilakukan setiap kali misa mau menegaskan bahwa kita semua adalah pendosa, dan imam, kemudian umat harus mengakui dosa mereka bukan hanya di depan Allah, tetapi di depan seluruh surga serta seluruh umat yang hadir.

Dalam ritus lama, imam harus mengakui dosanya sendiri tanpa bersama umat, sebagai tanda bahwa imam perlu menyadari keberdosaan dirinya sendiri. Kemudian, saat ia bergerak ke atas altar, imam yang bertindak in persona Christi, memohonkan pengampunan bagi umat dan sambil menghadap altar ia memohon agar dirinya sendiri diampuni.

Selain itu, kita menemukan penyadaran sebagai orang berdosa dalam rumusan Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie Eleison), dan sebelum injil, imam sekali lagi memohon agar hati dan bibirnya dimurnikan agar dapat mewartakan injil dengan pantas.

Bagi imam sebagai pelayan altar, di samping Confiteor, bagian lain yang penting adalah pada saat doa persiapan persembahan roti. Ritus baru berbunyi: “Terpujilah Engkau Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” (TPE 2020). Rumusan di atas tidak menunjukkan secara langsung pernyataan sebagai orang berdosa.

Tetapi dalam ritus lama kita menemukan rumusan doanya demikian (terjemahan dan penekanan oleh saya) : “Terimalah, Bapa yang Kudus, Allah yang Mahakuasa dan Kekal, hosti yang tak bernoda ini, melalui Aku, hamba-Mu yang tak pantas ini, kupersembahkan kepada-Mu, Allahku yang hidup dan benar, untuk menebus dosa-dosaku yang tak terbilang banyaknya, pelanggaran-pelanggaranku, dan segala kelalaianku: atas nama semua yang hadir dan juga untuk semua umat Kristen yang setia, yang masih hidup dan yang telah meninggal, semoga bermanfaat, bagiku dan bagi mereka sebagai sarana keselamatan, menuju hidup yang kekal. Amin.”

Sampai sejauh ini, dari apa yang coba saya tunjukkan di sini, dengan memerlihatkan bagian-bagian penting yang memberi penekanan pada pentingnya kesadaran umat sebagai pendosa, baik itu dari teks misa ritus lama maupun ritus baru, hendak dikatakan bahwa liturgi kita, membantu imam dan umat untuk secara tetap, secara konstan mengingatkan diri sendiri sebagai orang yang berdosa di hadapan Allah yang disembah.

Bagi seorang imam, rumusan itu mengingatkannya bahwa sudah menjadi suatu keharusan mutlak untuk mengakui ketidakpantasannya dan karena itu akan merasa terdorong untuk berjuang bagi kekudusan dirinya. Sebab, para kudus menunjukkan bahwa langkah pertama menuju kekudusan adalah kesadaran sebagai orang berdosa serta kesadaran bahwa bukan atas usahanya sendiri, seseorang bisa mencapai kekudusan.

Namun, apakah kesadaran itu bertumbuh atau tidak dalam diri setiap imam dan umat seluruhnya, hal tersebut sepenuhnya kembali pada pribadi masing-masing. Menyangkut diri imam, terdapat pandangan umum yang tersebar, baik itu di antara para imam maupun umat, terkait prinsip ex opera operato, yang menegaskan bahwa efikasi sakramen, rahmat yang tercurah melalui sakramen yang dirayakan, tidak tergantung pada keadaan rohani sang imam, sejauh tata liturgi itu dilakukan secara benar.

Hal tersebut tidak dapat disangkal. Tetapi setiap imam diwajibkan untuk berjuang menjalani nasihat-nasihat injili sedemikian sehingga ia sendiri mampu menerima buah dari apa yang diajarkan dan dirayakannya, sebagaimana didengar pada saat ditahbiskan: “hayatilah apa yang saudara perbuat, teladanilah apa yang saudara pegang, dan jadikanlah hidup saudara selaras dengan misteri salib Tuhan.” Kesadaran akan keberdosaan adalah keharusan absolut yang dibutuhkan bagi kemajuan rohani seorang pengikut Kristus, dan liturgi membantu untuk hal ini.

Hal yang sama berlaku bagi umat. Umat yang hadir juga dituntut untuk menumbuhkan dalam dirinya kesadaran akan keberdosaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mentalitas modern, kesadaran akan keberdosaan diri dierosi secara besar-besaran. Orang merasa tidak perlu menerima sakramen tobat, karena menganggap pergi “mengaku dosa” adalah tindakan membuka aib diri di hadapan orang lain. Maka tidaklah terlalu mengherankan bahwa ada hubungan asimetri antara umat yang tampak tumpah ruah dalam ekaristi dengan sedikitnya umat yang mau datang pada saat ada jadwal penerimaan sakramen pengakuan.

Poin ini sebenarnya tidak hanya terbatas dalam kehidupan rohani seseorang saja, tetapi memiliki implikasi sosial politisnya. Pemikir liturgi seperti Joseph Ratzinger (Benediktus XVI), Joseph Jungmann, Louis Bouyer, Romano Guardini, menunjukkan bahwa budaya memiliki akarnya dalam kehidupan kultus. Kultur sendiri berakar dari kata kultus, yakni penyembahan. Maka kalau kultus atau ritus kita mengalami defisiensi, hal itu dengan sendirinya akan berimplikasi pada masyarakat dan budayanya. Mentalitas modern yang kehilangan cita rasa berdosa, dan kesalahan dimengerti sebagai kekeliruan teknis semata tanpa hubungannya dengan moralitas seseorang sebenarnya membuka jalan lebar menuju kehancuran masyarakat.

: @ Seminari St. Rafael OEpoi Kupang, Senin, 18 Desember 2023 – peringatan diakonat yang kedua.

Akar-akar Krisis Liturgi: 60 thn ‘Sacrosanctum Concilium’ – Bagian II

Klaus Gamber dalam bukunya menunjukkan beberapa akar masalah yang mengakibatkan ‘bencana’ dalam liturgi modern. Menurutnya, asal mula bencana tersebut tidak dapat dikembalikan pada Konsili Vatikan II saja. Konstitusi Sacrosanctum hanyalah suatu tahap interim dari proses yang sudah berlangsung jauh sebelum itu (Gamber, 1993: 9-22). Pertama, kontras dengan liturgi gereja Timur (Ortodoks) yang berkembang dengan sangat baik sampai abad pertengahan, tetapi kemudian tinggal tetap demikian, liturgi Romawi dalam bentuknya yang sederhana dan yang berakar dalam komunitas Kristen Awal, tinggal tetap tidak berubah selama berabad-abad. Liturgi ini mengalami perubahan pada era Paus Damasus I (366-384) dan kemudian oleh Paus Gregorius Agung (590-604), kemudian tinggal tetap demikian selama berabad-abad sampai perubahan liturgi yang dilakukan paska-KV II.

Oleh karena itu, Gamber menyatakan bahwa tidak akurat mengklaim bahwa Misa dari Paus Pius V adalah sesuatu yang baru, yang berbeda dan terputus dengan liturgi sebelumnya. Berbeda dengan perubahan yang kita lihat sekarang, perubahan yang dibuat dalam Misale Romawi lebih dari 1.400 tahun itu tidak terkait dengan ritusnya. Perubahan itu hanya berkaitan dengan penambahan dan pemerkayaan beberapa hari raya baru dan doa-doa (Cf. Metzger, 1997: 128). Menurut Gamber, upaya untuk menambahkan sesuatu yang asing dari tradisi Frankish ke dalam liturgi justru tidak pernah berhasil sepenuhnya dan bahkan menjadi tragedi, dan menjadi salah satu akar utama masalah liturgi saat ini.

Ini berarti, perubahan liturgi dari misa ad orientem kepada misa versus populum adalah sesuatu yang baru sama sekali dalam sejarah liturgi. Bahkan sebagaimana upaya penambahan elemen-elemen Frankish dalam liturgi hanya menghasilkan tragedi, saya melihat bahwa upaya yang kita sebut sebagai inkulturasi liturgi juga memiliki konsekuensi yang sama. Tampaknya, hal ini tidak terlalu kasat mata, namun kalau bercermin dari proses yang ditunjukkan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa liturgi kita saat ini juga sedang dalam proses kemunduran yang sama.

Kedua, akar penting kedua adalah peristiwa skisma besar, yang secara formal terjadi pada tahun 1054. Alienasi antara keduanya, Katolisisme Barat dan Timur, mendorong suatu disintegrasi bertahap dalam elemen penting penyembahan dalam gereja, yakni tentang konsep Kristen Awal tentang cultus liturgis. Menurut konsep ini, liturgi pertama-tama suatu tindakan sakral di hadapan Allah. Dalam ungkapan St. Gregorius Agung, bahwa “pada saat Pengorbanan, dalam respon terhadap aklamasi imam, surga terbuka, paduan suara malaikat menjadi saksi misteri ini, apa yang di atas dan apa yang di bawah menyatu, surga dan bumi disatukan, hal-hal yang kasat mata dan yang tak kasat mata menjadi satu.”

Konsep liturgi kosmik ini, secara berlanjut tampak dalam Gereja Timur dibanding pada Gereja Barat. Dalam Gereja Timur, liturgi tinggal tetap sebagai suatu misteri dramatik, di mana drama dan kenyataan secara unik digabungkan. Aspek dramatik ini hilang pada Gereja Barat. Hugo Ball, seorang dramawan Jerman menulis bahwa “bagi orang Katolik, yang nyata itu bukan drama. Setiap pagi, misa kudus adalah peristiwa biasa yang membebani dan membuat dia seperti terpenjara.” Pernyataannya ini tidak mengherankan bagi saya, karena pada kenyataannya, banyak umat kita, calon imam dan imam yang malas merayakan ekaristi. Romano Guardini menunjukkan bahwa aspek dramatik ini sangat menentukan bagi penghayatan liturgi yang benar.

Ketiga, krisis liturgi saat iniberakar pada periode Gothik, seiring dengan menguatnya kesalehan individual. Pengaruh Martin Luther melalui perubahan liturgi yang dilakukan, dan meningkatnya kesadaran subjektif individual memberi tempat yang lebih dominan bagi hubungan seseorang secara individual dengan Allah dan rahmatnya. Ketika liturgi era Baroq yang memberi tempat lebih dominan bagi imam dalam perayaan ekaristi, muncul model-model devosional dan menandai apa yang disebut sebagai religio moderna, suatu ideal baru kesalehan. Kalau pada masa ini, orang menganggap bahwa semua agama sama, perlu disadari bahwa anggapan itu memiliki sumbernya dalam mentalitas religio moderna ini: agama adalah soal pencarian manusia kepada Allah, tetapi Allah yang mana, jangan diklaim oleh siapa pun.

Kembali pada soal liturgi, konsekuensi dari perkembangan ini adalah jurang yang lebar antara kultus liturgi dengan bentuk kesalehan-kesalehan populer yang ada. Gerakan ini muncul beriringan dengan apa yang kita kenal sebagai era humanisme, yang didasarkan pada konsep yang sama sekali baru tentang kodrat manusia individu. Ada aspek positifnya, namun gerakan ini pelan-pelan mulai menggerus kesatuan organik liturgi yang telah berkembang berabad-abad dan memiliki akarnya dalam komunitas Kristen Awal: aspek penyembahan kepada Allah digerus sampai hampir-hampir tak terlihat. Bahkan perkembangan lagu-lagu yang populer dalam gereja, seperti yang kita alami sekarang seringkali meragukan dari sisi teologi dan artistik.

Saya ingat Bambang Murtianto dalam tulisannya “Lagu Persembahan yang Hilang” dalam Majalah Hidup (9 Oktober 2017) mengungkapkan bahwa aspek Kurban Kristus sebagai inti misa hilang dalam kebanyakan lagu-lagu paska-KV II. Kita lebih banyak menekankan aspek “pujian syukur” manusianya, sambil menyingkirkan secara sadar aspek sentral yang menentukan dalam ekaristi. Hal ini sudah dijelaskan juga oleh Gamber, bahwa liturgi lama seringkali tidak memuaskan bagi umat karena dipandang tidak secara memadai mengungkapkan kebutuhan mereka.

Dengan demikian, liturgi sebagaimana ditekankan oleh Guardini, sebagai “demi Allah” menjadi “liturgi demi manusia.” Jantung dari misteri keselamatan disingkirkan ke balik layar, dan hal-hal yang bersifat peripheral mengambil tempat utama. Bahkan kalau dicermati dengan seksama, rumusan SC, 4 tentang karya keselamatan yang dilaksanakan oleh Kristus pun sebenarnya menempatkan manusia sebagai subjek pembahasan: Kristus dipakai untuk menegaskan posisi manusia, bukan sebaliknya.

Kalau sekarang, kita sering berjumpa dengan komentar umat tertentu yang memiliki sikap antipati terhadap liturgi yang meriah, hal itu tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah yang ada. Semua ini berakar pada era Pencerahan, dan pada masa ini, kalau kita menyadari bahwa sedang terjadi krisis liturgi saat ini, maka kita sebenarnya sedang memasuki suatu era pencerahan yang baru. Gamber menulis bahwa kalau sekarang ada di antara imam-imam, terutama imam-imam muda yang terdidik dalam konteks perubahan liturgi paska-KV II, sering kali tidak berhenti pada apa yang ada. Kita bisa melihat bahwa ada imam yang “menyeleweng” dari ritus berdasarkan “otoritas subjektifnya” (Gamber, 1993: 33).

Lebih lanjut, Gamber menyatakan bahwa perubahan liturgi yang diamanatkan dalam Konstitusi SC, dimaksudkan agar umat dapat terlibat lebih aktif, namun pada kenyataannya, gereja-gereja di Eropa menjadi lebih banyak kosong. Dikatakan bahwa tujuan perubahan ini demi menahan tren-tren negatif, namun yang terjadi sebaliknya, perubahan itu justru memperburuk tren-tren negatif yang terjadi. Krisis yang terjadi memerlihatkan bahwa sering kali dalam misa, kita berpaling kepada manusia dan meninggalkan Allah.

Misalnya, saya pernah diminta untuk merayakan ekaristi di Paroki Tofa, menggantikan imam yang dijadwalkan untuk memimpin ekaristi tapi tidak datang. Saat saya tiba, waktunya sudah lewat kurang lebih 30 menit, dan saya melihat beberapa umat meninggalkan gereja dengan santainya. Benar bahwa imamnya tidak datang, membuat umat menunggu sekian lama, dan seharusnya tidak terjadi. Namun, umat meninggalkan misa yang sebentar lagi akan dimulai, hanya karena imamnya belum datang, sebenarnya mengindikasikan krisis parah yang sedang terjadi dalam gereja.

Rujukan:
1. Bambang Murgianto, “Lagu Persembahan yang Hilang,” Majalah Hidup, 9 Oktober 2017.Akses dari hidupkatolik.com
2. Chad Ripperger, “The Spirituality of the Ancient Liturgy I dan II,” Latin Mass Magazine, (Summer 2001). Akses dari latinmassmagazine.com
3. Josef A. Jungmann, “Constitution on the Sacred Liturgy,” Commentary on the Documents of Vatican II, Vol 1, ed. Herbert Vorgrimler, trans. Lalit Adolphus (New York: Herder and Herder, 1967).
4. Joseph Ratzinger, “Preface,” The Reform of Roman Liturgy, Klaus Gamber, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
5. Joseph Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927-1977, trans. Erasmo Leiva-Merikakis (San Francisco: Ignatius Press, 1998).
6. Joseph Ratzinger, The Feast of Faith, trans. Graham Harrison (San Francisco: Ignatius Press, 1986).
7. Joseph Ratzinger, Theology of the Liturgy, ed. Michael J. Miller (San Francisco: Ignatius Press, 2014).
8. Klaus Gamber, The Reform of Roman Liturgy, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
9. Marcel Metzger, History of the Liturgy, trans. Madeleine Beaumont (Minnesota: The Liturgical Press, 1997).
10. Romano Guardini, The Essential Guardini, intro. Heinz R. Kuehn (Chicago: Liturgy Training Publications, 1997).

Apakah Liturgi Kita Baik-baik Saja?: Setelah 60 Thn ‘Sacrosanctum Concilium’ (1963 – 4 Desember – 2023) – Bagian I

Saya mencermati bahwa cita rasa krisis pada umat Katolik semasa mengenai masalah-masalah dalam liturgi sangat rendah. Kalau pada diri umat cita rasa itu tidak tampak, maka hal itu tidak dapat dilepaskan dari pemahaman imam tentang liturgi serta katekesenya kepada umat. Untuk itu, saya akan memulai tulisan kecil ini dengan pengakuan berikut, setelah saya coba merefleksikan kembali proses yang pernah saya lalui: selama masa pendidikan sebagai calon imam, studi tentang liturgi diberikan dalam bentuk yang sangat kaku dan karena itu, terasa membosankan. Mengapa membosankan? Karena tampaknya liturgi pertama-tama dipahami sebagai studi tentang rubrik-rubrik tanpa pemahaman lebih dalam tentang mengapa rubrik-rubrik itu penting, dan hanya ditempatkan sebagai satu bagian dari komponen studi pastoral secara umum. Aspek dramatik dari liturgi tidak pernah ditunjukkan kepada mahasiswa (saya akan kembali pada aspek ini sebentar)

Selama menjadi mahasiswa tingkat sarjana, mata kuliah yang berhubungan dengan liturgi adalah liturgi dasar, liturgi adaptasi, dan liturgi pastoral. Ketiga mata kuliah ini, kalau saya tidak keliru dalam menyimpulkan, sebenarnya memberi perhatian yang lebih dominan pada soal “kaidah-kaidah praktis” (SC, 3) dengan tendensi rasionalismenya yang amat kental. Hal ini secara tidak langsung membentuk mahasiswa yang belajar untuk secara tidak sadar menumbuhkan di dalam dirinya keyakinan bahwa, apa yang kita ketahui tentang liturgi itu pada akhirnya menyangkut apa yang kita lakukan, bagaimana harus dilakukan, baik oleh imam dan umat; dan bukan tentang apa yang dilakukan pertama dan terutama oleh Allah.

Apalagi karena kami belajar dalam konteks post-konsili dengan ideologi aggiornamentonya, yang tampak melalui pembaharuan liturgi, dan ekaristi dirayakan menurut novus ordo, maka akhirnya orang dibuat untuk melihat bahwa liturgi itu memang tindakan gereja, dalam hal ini imam dan umat. Entah hal ini disadari atau tidak, tampak jelas di sana, tendensi rasionalisme-imanentis dalam studi liturgi yang berpengaruh pada penghayatan liturgi imam dan umat. Romano Guardini (1997) menulis bahwa setiap tipe rasionalisme selalu berbalik melawan liturgi yang otentik, liturgi demi Allah (for the sake of God).

Menguatnya tendensi rasionalisme-imanentistik dalam liturgi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dokumen SC. Seperti dicatat oleh Josef Jungmann, dokumen tersebut disebut sebagai konstitusi, yakni sebagai suatu hukum permanen, dan tidak sekadar dekrit. Namun, konstitusi ini menyangkut hal-hal disipliner bukan dogmatik. Ini berarti bahwa ia memuat disposisi-disposisi yang berhubungan dengan bidang kehidupan praktis dan bukan tentang ajaran-ajaran dogmatis. Disposisi yang dimaksud ini memang didasarkan pada ajaran gereja, tetapi tidak bersifat menegaskan, hanya ajaran. Dengan kata lain, konstitusi ini lebih mengandung karakter pernyataan-pernyataan (Jungmann, 1967).

Salah satu hasil yang paling konkret dari konstitusi tersebut adalah anggapan bahwa ekaristi versus populum merupakan kenyataan yang secara historis dapat dibenarkan, sambil pada saat yang sama misa ad orientem “diamankan dalam kotak masa lalu”. Maka seperti ditunjukkan oleh Gamber dalam penelitiannya bahwa, ketimbang mendapatkan pembaruan liturgi yang berhasil, kita justru melihat suatu destruksi atas bentuk ekaristi yang secara organik berkembang sepanjang beberapa abad (Klaus Gamber, 1993:9). Dengan bahasa yang berbeda, Ripperger mengungkapkan apa yang terjadi dalam tulisannya bahwa “manusia modern telah kehilangan sikap penanggalan diri terkait liturgi, dan ia secara terus-menerus menundukkan liturgi pada hasratnya” (2001).

Berikut ini, saya akan menunjukkan beberapa fenomena menyangkut krisis dalam liturgi kita. Pertama, liturgi sebagai sumber dan puncak hidup orang Kristen tampaknya tidak lagi menjadi suatu nilai yang menentukan dalam masyarakat modern. Misalnya, kita bisa mencermati bahwa ikut merayakan ekaristi hari minggu adalah salah satu kesibukan di antara sekian banyak deretan kesibukan yang menunggu untuk dilakukan pada hari minggu. Manusia modern menganggap sebagai masalah suatu misa yang berlama-lama. Misa itu adalah soal mulai jam berapa, lalu selesai jam berapa, sehingga bisa beralih pada kesibukan lain. Dengan kata lain, manusia modern juga telah kehilangan cita rasa supernatural dan transenden.

Kedua, kehilangan cita rasa supernatural dan transenden itu sangat dirasakan ketika ekaristi dirayakan di luar gereja. Sudah banyak kali saya merayakan ekaristi, bukan di dalam gereja, tetapi di tempat-tempat tertentu. Misalnya, di rumah orang mati, di tempat syukuran wisuda, dan lain-lain. Di tempat-tempat itu, kita bisa menangkap dengan jelas sikap umat terhadap ekaristi. Ekaristi tidak dipandang sebagai “misteri penyembahan” (Gamber, 1993).

Tidak mengherankan bahwa ketika Uskup menegur umat yang bernyanyi sedemikian, sehingga aspek penyembahan itu hilang sama sekali dalam nyanyian mereka, sebagian kalangan umat malah bereaksi dengan mengatakan bahwa Uskup tidak menghargai umat yang sudah bersusah payah dalam latihan. Kondisi ini sepertinya mengindikasikan bahwa liturgi paska-konsili pada tingkat tertentu berfungsi meningkatkan kesombongan spiritual umat.

Ketiga, saya pernah memersembahkan misa requiem bersama salah satu imam. Sang Imam yang setelah memberkati jenazah dan mengukupi jenazah, lalu menyerahkan stribul kepada salah satu umat, dan yang bersangkutan diberi kesempatan untuk turut mengukupi jenazah tersebut. Tampaknya tindakan tersebut sangat sederhana. Bahkan dalam mentalitas modern dengan konsep tentang kesetaraan, hal itu dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang positif. Tetapi apakah sudah sesuai dengan ketentuan liturgi?

Pernyataan yang pernah ditulis oleh Joseph Ratzinger tampaknya diafirmasi oleh tindakan imam tersebut. Ratzinger pernah menulis bahwa “apa yang terjadi sesudah Konsili adalah sesuatu yang sama sekali berbeda: menggantikan liturgi sebagai buah dari perkembangan, muncullah liturgi yang dibuat-buat. Kita meninggalkan yang organik, proses pertumbuhan yang hidup dan perkembangan sepanjang abad, dan menggantikannya dengan suatu ciptaan, suatu produk banal yang serta-merta di tempat” (Ratzinger, 1993). Liturgi adalah apa yang bisa kita lakukan saat itu juga terdorongan sentimentalitas yang tidak dewasa, yang didasarkan pada pemahaman yang dangkal dan superfisial tentang hakekat liturgi.

Di balik tindakan itu, samar-samar bersembunyi suatu asumsi dan konsepsi yang menyatakan bahwa liturgi ekaristi itu pertama-tama sepenuhnya merupakan tindakan manusia, dan bukan tindakan Allah. Tanpa disadari, improvisasi spontan semacam itu secara langsung melanggar apa yang ditegaskan dalam Konstitusi Sacrosanctum Concilum bahwa “tidak seorang lain pun, meskipun imam boleh menambahkan, meniadakan, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsanya sendiri” (SC, 22:3).

Diskresi yang hati-hati dan yang sangat diperlukan dibaikan secara total dalam tindakan seperti itu, karena kita merasa senang untuk memegang kendali dalam ritual. Selain itu dengan bertindak demikian, kita menempatkan kebaikan rohani kita bersama umat di bawah keinginan alami kita. Padahal misa adalah tentang Allah, sehingga kita harus bertindak sedemikian sehingga menyerahkan kebaikan rohani kita sepenuhnya pada hak Allah (Ripperger, 2001).

Memang, dalam bukunya Theology of the Liturgy (2014: 166), Ratzinger telah menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh KV II sebagai proses restorasi tradisi liturgis dalam kemurniannya, justru bergerak menuju arah yang sebaliknya yakni “meluasnya disolusi ritus, yang diambil-alih oleh kreativitas komunitas” yang menghancurkan. Padahal, lanjut Ratzinger, keagungan liturgi justru sebenarnya terletak pada sifat ketidakspontanitasnya (Unbeliebigkeit – unspontaneity). Ketidakspontanitasan ini ditunjukkan juga dengan kurangnya pilihan yang tersedia dalam rubrik karena keyakinan bahwa ritual itu sendiri berasal dari Allah, sebagaimana kita temukan dalam instruksi-instruksi yang diberikan kepada Musa dalam peristiwa paskah (Ripperger, 2001).

Masih menurut penjelasan Ripperger, bagi imam yang menyadari tiadanya spontanitas atau improvisasi mengandung dua tujuan penting. Dengan mengikuti rubrik, ia belajar menyesuaikan dirinya dengan kehendak Allah. Ini membebaskan imam dari kemungkinan diganggu oleh pikiran tentang apa reaksi umat kalau ia mengikuti ritus yang ada. Imam juga tidak perlu mendengar apa kata komite liturgi mengenai apa yang perlu dilakukan. Saya kira inilah salah satu alasan dibalik mengapa Mgr. Petrus Turang biasanya tidak mengizinkan begitu banyaknya bagian komentator dalam perayaan ekaristi.

Yang kedua, hal tersebut mengajar imam tentang penyangkalan-diri. Misa itu bukan tentang imam. Dengan tidak adanya kemungkinan untuk improvisasi spontan dalam misa, membantu imam untuk melupakan dirinya dan segala sesuatu, sehingga ia dapat dengan sempurna masuk ke dalam misteri dan kenyataan kudus yang hadir. Ia bertindak in persona Christi, maka personalitas pribadinya diminimalisir dan ia menjadikan dirinya lebih serupa dengan Kristus.

Selanjutnya, untuk menunjukkan fenomena berikut yang memiliki hubungan dengan fenomena yang telah saya sebut di atas, saya perlu sedikit memutar. Gamber menunjukkan dalam bukunya bahwa tiga puluh tahun post-konsiliar menunjukkan kepada kita bahwa dari hari ke hari, mengapa kita membutuhkan sebuah perubahan: pengosongan misteri, kehilangan cita rasa yang sakral, pelemahaman isi doktrinal, menghasilkan di dalam sebuah liturgi, yang mana terlalu sering, kebosanan coba dihilangkan oleh para medioker, tidak untuk menyebutnya sebagai suatu profanasi yang sesungguhnya.

Apa yang terjadi tiga puluh tahun lalu dalam amatan Gamber, masih bisa kita jumpai saat ini. Sekarang ini, tidak menjadi suatu yang salah dan keliru, bahkan tidak boleh dikritik sebagai kekeliruan juga, ketika seorang karismatik berdiri di depan altar, bernyanyi sambil bergoyang membelakangi tabernakel di belakangnya. Atas nama pujian kepada Tuhan, orang merasa perlu mengabaikan kehadiran riil Yang-Kudus di dalam tabernakel. Fenomena ini memerlihatkan bahwa “komunitas hanya merayakan diri mereka sendiri, suatu aktivitas yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa” (Ratzinger, 1998:149). Dengan begitu, umat yang berdoa tidak lagi “menyadari ledakan dinamisme Trinitarian yang memberi kepada ekaristi dimensi keagungannya” (Ratzinger, 1986: 142).

Kelima, Ripperger menulis bahwa ritus Tridentin punya daya pikat dan magnetik yang kuat, yang menarik orang ke dalam suasana doa, yang menarik seseorang keluar dari dirinya sendiri dan membawa kita kepada Allah. Jika kita tetap terjebak dalam diri kita, dan kita bertindak seolah-olah liturgi itu sepenuhnya tentang kita, maka kita ditakdirkan untuk jatuh dalam kedangkalan dan superfisialitas (Ripperger, 2001). Apakah ritus novus ordo, misa versus populum saat ini cukup memiliki daya magnetik seperti halnya ritus Tridentin? Kita perlu menjawab pertanyaan ini dengan hati-hati. Tetapi satu hal tidak dapat disangkal bahwa gejala kedangkalan dan superfisialitas itu tampaknya sangat menguat dan diperkuat saat ini dengan bantuan teknologi media sosial.

Coba kita perhatikan, berapa banyak orang yang benar-benar memersiapkan diri untuk turut mengambil bagian secara aktif dalam ekaristi pada momen misa-misa besar. Saat perarakan masuk misalnya, banyak orang begitu terjebak dalam hasrat untuk merekam menggunakan gawainya, dan lupa untuk memusatkan perhatian pada perayaan yang sedang dimulai. Partisipasi yang sepenuhnya sadar dan aktif, yang ditekankan oleh konstitusi (SC, 14), sebenarnya pertama-tama bukan partisipasi secara fisik, tetapi terutama partisipasi spiritual, partisipas secara mental: ia boleh berdoa secara pribadi, tetapi secara mental dan emosional, ia harus menyatukan dirinya dalam doa-doa imam. Partisipasi yang selama ini terjadi justru menunjukkan gejala desakralisasi ekaristi.

Baca bagian kedua di sini https://pikiranlentur.wordpress.com/2023/12/04/akar-akar-krisis-liturgi-60-thn-sacrosanctum-concilium-bagian-ii/

Rujukan:
1. Bambang Murgianto, “Lagu Persembahan yang Hilang,” Majalah Hidup, 9 Oktober 2017.Akses dari hidupkatolik.com
2. Chad Ripperger, “The Spirituality of the Ancient Liturgy I dan II,” Latin Mass Magazine, (Summer 2001). Akses dari latinmassmagazine.com
3. Josef A. Jungmann, “Constitution on the Sacred Liturgy,” Commentary on the Documents of Vatican II, Vol 1, ed. Herbert Vorgrimler, trans. Lalit Adolphus (New York: Herder and Herder, 1967).
4. Joseph Ratzinger, “Preface,” The Reform of Roman Liturgy, Klaus Gamber, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
5. Joseph Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927-1977, trans. Erasmo Leiva-Merikakis (San Francisco: Ignatius Press, 1998).
6. Joseph Ratzinger, The Feast of Faith, trans. Graham Harrison (San Francisco: Ignatius Press, 1986).
7. Joseph Ratzinger, Theology of the Liturgy, ed. Michael J. Miller (San Francisco: Ignatius Press, 2014).
8. Klaus Gamber, The Reform of Roman Liturgy, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
9. Marcel Metzger, History of the Liturgy, trans. Madeleine Beaumont (Minnesota: The Liturgical Press, 1997).
10. Romano Guardini, The Essential Guardini, intro. Heinz R. Kuehn (Chicago: Liturgy Training Publications, 1997).

Jokowisme dan Fetisisme Kekuasaan

Di Jakarta, pada Minggu 14/5/2023, Giring Ganesha, Ketua Umum PSI menyatakan bahwa “bagi kami, bagi PSI, Jokowi tidak hanya seorang negarawan Indonesia. Pak Jokowi sudah menjadi ide besar, gagasan besar tentang ke-Indonesiaan yang kita cita-citakan.” Jokowi menjadi Jokowisme, subjek yang diringkas menjadi ideologi. Dan dalam podcast Akbar Faisal (30/5), Andy Budiman memerjelas keyakinan itu dengan menyatakan bahwa Jokowi merupakan representasi kepemimpinan terbaik yang pernah dimiliki Indonesia, sejak era kemerdekaan. Representasi itu sendiri menyiratkan dan menunjukkan apa yang disebut sebagai mimpi Indonesia, bahwa setiap orang Indonesia, siapa pun dia, dari golongan mana saja, kalau dia belajar keras, bekerja keras, maka ia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya, sebagaimana hal seorang Jokowi yang berasal dari kalangan kecil, namun bisa menjadi seorang presiden. Itulah Jokowisme. 

Lebih lanjut Andy Budiman menunjukkan mengapa Jokowi layak untuk menjadi alat ukur, mistar ukur model kepemimpinan nasional. Budiman menunjukkan dari segi gaya kepemimpinan. Dengan merujuk pada empat faktor kepemimpinan à la Henry Kissinger (2022), Budiman menegaskan bahwa Jokowi memenuhi keempat kriteria yang disyaratkan bagi seorang pemimpin yang berhasil, yakni punya visi, strategi untuk menjalankan misi itu, yang ditopang dengan keberanian dan karakter.

Penjelasan Budiman dalam podcast Akbar Faisal itu secara gamblang menunjukkan kepada kita apa yang dimaksud dengan Jokowi sebagai mistar ukur. Di sini kita melihat bahwa ukuran keberhasilan itu ditarik menurut “yang mungkin” (possible) dan “berguna” (useful). Žižek (2009) menegaskan bahwa ideologi yang menubuh itu selalu coba disumbat dengan kegunaan (utility). Maksudnya, dalam kehidupan sehari-hari, ideologi itu bekerja dengan lebih efektif melalui kesadaran pragmatis yakni  kegunaan. Oleh karena itu, menurut Žižek, seseorang tidak pernah boleh lupa bahwa dalam tatanan semesta simbolik, kegunaan selalu berfungsi sebagai gagasan reflektif, mencakup di dalamnya juga penegasan atas kegunaan sebagai pemberi makna.

 Dalam konteks politik paska-kebenaran yang dibangun di atas petaka metafisika, di mana penggabungan (conflation)yang amburadul antara teori dan praktek, pengetahuan dan kekuasaan, kebenaran dan kegunaan, semantisasi sosok Jokowi tidak dimaksudkan sebagai usaha untuk memahami apa yang benar dalam politik kita, tetapi lebih berhubungan dengan agenda praktis mengenai apa yang bisa dicapai dalam konteks percaturan politik 2024. Dengan kata lain, sebagaimana ditegaskan oleh Leo Strauss (1978), keadilan, kebebasan, atau kebahagiaan itu tidak dipahami menurut kerangka filsafat klasik, tetapi menurut takaran klaim kecukupan diri akal-budi subjektif (subjektisme menurut Martin Heidegger).

Apa yang coba dibangun oleh PSI, bisa disebut di sini sebagai the act of investiture, suatu desisionisme populer à la anak-anak muda kelas menengah (seperti ingin meniru golongan pemuda era kemerdekaan di hadapan golongan tua yang terkesan lambat untuk segera menyatakan kemerdekaan) memerlihatkan apa yang bisa disebut di sini sebagai kebutuhan akan suatu master baru sesudah Jokowi. PSI yang melihat diri mereka mewakili suatu generasi baru politik anak muda yang bermimpi bagi kemajuan dan kebesaran Indonesia, dengan mencoba keluar dari cangkang mentalitas feodalisme-oligarki, mencoba membangun diskursus yang memusat pada pemunculan satu bentuk imajinasi baru yang akan membimbing secara langsung pemikiran dan keterlibatan masyarakat dalam praksis politik harian Indonesia ke masa depan. Dalam masyarakat postsekuler yang tidak sepenuhnya sekuler seperti dalam masyarakat kita, komunitas politik kita diberi energi baru melalui gagasan identitarian dalam kerangka imanensi radikal, dan ingin menemukan penawarnya melalui vox populi dalam diri seorang pemimpin ideal; dengan resentment (sentimen negatif maupun positif) sebagai daya esensial dalam memberi dan menggerakkan motivasi.

Jokowisme bagi Ganesha dan Budiman merujuk pada kesadaran individualitas bukan kolektivitas. Jokowisme itu Jokowi is me, Jokowi adalah aku. Saya pikir, keduanya tidak memaksudkan seperti apa yang diungkapkan oleh Louis XIV bahwa negara adalah aku, walau pun konsekuensi logisnya akan mengarah ke sana. Tetapi seperti diungkapkan di atas, ide ini mencerminkan apa yang disebut sebagai mimpi Indonesia, mimpi setiap orang sebagai orang Indonesia. Ide ini mengingatkan kita pada gagasan tentang “dua tubuh raja” (the king’s two bodies) dalam sistem monarkisme (E. Kantorowicz, 2016). Dalam konteks postmonarkisme sekarang ini, ide tentang “dua tubuh raja” itu bisa dibahasakan sebagai “dua tubuh presiden.” Lalu pertanyaannya adalah, bila demokrasi adalah kedaulatan rakyat, apakah “dua tubuh presiden” sama artinya dengan “dua tubuh rakyat”?

Michel Foucault (1977) menulis bahwa tubuh raja, dengan kehadiran fisik dan materialnya yang aneh, dengan kekuatan ia kerahkan atau sebar kepada sejumlah orang, berbeda secara ekstrem dengan kekuasaan fisik yang baru, suatu fisika kekuasaan relasional dan berganda, dengan intensitas maksimalnya tidak dalam diri seorang raja, tetapi dalam tubuh yang dapat diindividualisasi oleh relasi ini. Foucault di sini berbicara tentang  prinsip kedaulatan postmonarkisme, yakni rakyat, yang dilegitimasi melalui sistem biopolitik. Tetapi seperti yang ditambahkan oleh Eric Santner (2011) bahwa sejauh sang agen tubuh politik baru ini membayangkan diri mereka menangani perawatan dan pendisiplinan tubuh makhluk hidup dan kehidupan biologis serta kesehatan populasi masyarakat dari pada mengamankan materialitas daging (populasi) yang aneh, mereka tidak dan tidak dapat sepenuhnya memahami urgensi tugas-tugas mereka. Singkatnya, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.

Pandangan di atas sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Jacques Lacan (2017), bahwa seorang pribadi tidak berbicara tentang subjek. Suatu penanda merepresentasikan subjek, tetapi sebelum lesap di bawah penanda tersebut, subjek tersebut tidak ada. Penanda hanya merepresentasikan subjek bagi penanda yang hadir pada yang lain. Artinya, di satu sisi, dalam pernyataan Jokowi is me, PSI mengidentifikasi Jokowi sebagai penanda, yang merepresentasikan subjek (Indonesia), namun Jokowi tidak selalu berbicara sebagai aku yang jamak saat berbicara tentang Indonesia, selain ia berbicara sebagai dirinya. Apalagi dalam cangkang oligarki yang demikian kuat, Jokowi adalah penanda dari sekian banyak kejamakan kepentingan yang saling bertarung untuk mendapatkan akses kepada penguasaan sumber-sumber ekonomi.

Pada sisi lain, pernyataan Jokowi is me menegaskan apa yang dinyatakan oleh Sigmund Freud sebagai introyeksi objek ke dalam ego sebagai objek libidinal sekaligus objek identifikasi: Jokowi adalah objek imajinasi kenikmatan kemajuan sekaligus objek identifikasi. Jika ego itu, sebagaimana dikatakan oleh Lacan sebagai suatu kontruk imajiner, maka dalam konstruk ini, sistem dorongan yang sebenarnya hanya dapat terbaca melalui semua bentuk decenterings dan transformasi. Di sini, ketidaksadaran secara tepat menandai operasi melaluinya yang riil dari subjek hanya bisa secara sadar dicapai melalui konstruksi imajiner-intimatik ego. Dalam pengertian ini, menjadi jelas mengapa wacana ideologis ini sendiri bersifat personal individualistik: Jokowi adalah aku.

Oleh karena itu, kalau kita menyelami ide itu lebih dalam, maka kita akan berjumpa dengan asumsi individualisme-meritokraktik sebagai ideologi tak terlihat yang mendasari keyakinan tersebut. Ideologi ini bersifat personal, yang oleh Lacan disebut sebagai mitos individu neurotik. Di sini saya ingin menyebutnya sebagai mitos individu budak. Dalam ungkapan Žižekian tentang fetisisme sosial, seseorang yang mengalami dirinya sebagai seseorang (siapa dirinya) dalam masyarakat tergantung pada hubungan antara kontingensi kondisi-kondisi sosial dan pilihan bebas subjek bersangkutan. Dengan kata lain, dalam kondisi sosial tertentu, (misalnya dalam hubungan pertukaran komoditas, dalam pasar global ekonomi, atau keberhasilan mencapai posisi politis tertentu sebagaimana dirujuk oleh Budiman dalam pernyataannya bahwa seseorang bisa menjadi apa saja yang diinginkan), abstraksi ideologi seperti Jokowisme menjadi ukuran utama kehidupan sosial aktual-konkret, cara-cara konkret melaluinya seorang individu menghubungkan dirinya dengan takdirnya, cita-citanya dan dengan lingkungan sosial yang melingkupinya.

Dari sini menjadi jelas bahwa (kita bisa mengasumsikan demikian) Jokowisme, bagi politisi muda kelas menengah seperti PSI, sebagai suatu ideologi, mencerminkan suatu bentuk radikalitas yang otentik. Radikalitas ini tidak mengarahkan pada suatu tindakan ekstrem dan penghancuran sistem borjuisme oligarki seperti diinginkan oleh para nabi revolusioner, tetapi terjadi di dalam pengubahan koordinat yang mendefinisikan stabilitas sosial. Maksudnya, kalau kita menerima dan menjalani gagasan tentang demokrasi sosial dalam ekonomi pasar kapitalist modern cum negara kesejahteraan (gagasan ini berada di belakang keyakinan PSI tentang Jokowisme), maka gampang bagi kita untuk mengklaim bahwa seseorang dapat menjauhkan dirinya dari dua ekstrem berikut: kebebasan total pasar, fundamentalisme pasar di satu sisi, dan intervensi yang berlebihan dari negara, pada sisi lain, dan menemukan keseimbangan di antara keduanya.

Keseimbangan inilah yang dirumuskan sebagai mimpi Indonesia: seseorang bisa menjadi apa saja asal ia mau berjuang. Aksioma kesetaraan (axiom of equality), yakni equality of outcomes ini dalam bahasa  Žižek merupakan fantasi sekaligus reafirmasi ideologi kapitalis. Jokowismenya PSI bermain dalam logika dan kerangka oligarki yang sama. Lacan menulis bahwa dunia sang ada (dalam konteks kita ini, yang disebut sebagai mimpi Indonesia), melimpah pengetahuan, tetapi tidak lain sebuah mimpi, suatu mimpi tentang tubuh (cf. Indonesia sebagai tubuh sosial) sejauh ia berbicara, karena di sana tidak ada yang namanya subjek yang mengetahui. Ada subjek yang memberi diri mereka dalam hubungan objet a, hubungan kesenangan melalui kenikmatan (jouissance) berbicara, namun di sana tidak ada sesuatu yang lain selain fantasi terkait pengetahuan. Kita seperti orang-orang Israel yang masih terpenjara oleh mentalitas budak dan mengeluh di padang gurun sambil berharap lebih baik tinggal di Mesir: walau pun hanya makan roti saja, tetapi kita masih bisa memandangi kuali majikan penuh berisi daging.

Selangkah lebih jauh, kita bisa membaca bahwa Jokowisme adalah hipostasisasi tatanan simbolik antara the big Other dalam diri Jokowi (sebagai penanda dari sekian banyak kejamakan jaringan petanda) dengan masyarakat Indonesia. Jokowi menjadi struktur trans-subjektif terhadap kenyataan sosial yang mengandaikan suatu sosialitas berdasarkan pada posisi kekerabatan fiktif dan ideal yang mengkonstitusi cara kita mendefinisikan hubungan-hubungan sosial masyarakat. Jokowisme adalah sebentuk “gairah pada yang riil” (yang riil dalam modalitas imajiner, yakni fantasi sebagai skenario konseptual imajinatif yang bertujuan menggantikan yang Riil [symbolic real]).

Gairah pada yang riil ini mengambil dua bentuk yakni gairah pemurnian dan gairah substraksi (Alain Badiou, 2007). Dengan gairah purifikasi dimaksudkan untuk secara dekonstruktif membongkar dan membuang lapisan-lapisan kenyataan palsu untuk bisa mencapai yang sebenarnya. Gairah seperti ini dapat dilihat dalam apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung melalui penangguhan teleologis dalam kritik-kritiknya. Sebaliknya, gairah substraksi ini kita lihat melalui upaya untuk mengukur negativitas yang tak terhindarkan, yakni kemungkinan tak terhindarkan bahwa identifikasi Jokowi adalah aku tergelincir ke dalam apa yang disebut oleh Žižek (2000) sebagai “narcissistic (mis)recognition of my mirror-image.”

Kekacauan kita diperparah oleh kenyataan bahwa ruang politik praktis kita secara mendalam dimediasi oleh media sosial, di mana brands yang dibangun dan karier sebagai, entah politikus atau intelektual publik, yang dibangun dan dihancurkan, dan di mana keberhasilan suatu argument tidak diukur melalui kebenaran dan kedalaman, tetapi diukur melalui dampaknya (impact): berdasarkan besarnya jumlah follower atau subscriber dan ketangkasan seseorang untuk mendiamkan serta memanipulasi pasar.

Jokowisme adalah wajah lain dari manipulasi kekuasaan tersebut. Dan manipulasi menurut Enrique Dussel (2008) merupakan korupsi politik yang terjadi tepat pada jantungnya yakni komunitas politik dijadikan sebagai servile ketimbang aktor dalam konstruksi politis. Korupsi politik ini terjadi saat aktor politik baik itu anggota komunitas politik (masyarakat-warga) atau representatornya (presiden, wakil rakyat, hakim, gubermur, polisi, tentara, and so on) memahami dirinya atau dipandang sebagai sebagai sumber atau pusat kekuasaan politik. Jokowisme menjadi pusat epistemik kekuasaan politik yang tidak meletakkan komunitas politik sebagai referensi keadilan sosial, tetapi yang meletakkan referensi pada subjek tertentu. Dussel menulis bahwa “jika anggota suatu pemerintahan percaya bahwa mereka melaksanakan kekuasaan melalui otoritas referensi-diri, yakni dengan referensi pada diri mereka sendiri, maka kekuasaan mereka dirusak dari dalam diri sendiri (corrupted) (2008: 4).

Persis di sini, mengikuti Ernst Jünger, bisa ditegaskan di sini bahwa tahap revolusioner yang kita masuki sekarang hanya dapat dilawan dengan kekuatan yang lebih dalam dari sekedar tanggapan retoris, sastra, atau pun ideologis. Kita sedang diuji pada jantungnya, pada intinya. Sekaranglah waktunya bagi setiap orang untuk menunjukkan kartunya sehingga masing-masing dapat melihat siapa diri yang sebenarnya dari subjek yang hadir di hadapan kita. Dalam kondisi ilusi dan penuh tipu daya jahat ini, pikiran sendiri menjadi berbahaya ketika ia merasa benar, dan roh-roh yang bertindak dengan ukuran-ukuran yang pasti laksana cermin yang menyingkapkan kepada kita kekosongan dunia politik penuh seduktif ini.

Artikel ini sudah pernah tayang di laman suluhdesa.com (Jumat, 1 September 2023, 16:57 WIB) dengan judul: “Jokowisme dan Diskursus Kekuasaan, ….”

Dua Sayap Filsuf Katolik: Peringatan 25thn Fides et Ratio

Pada tanggal 14 September 1998, tepat pada Hari Raya Kejayaan Salib, Paus St. Yohanes Paulus II mengeluarkan ensikliknya yang ke-13, Fides et Ratio, tentang hubungan antara iman dan akal budi. Sebagai kelanjutan dari Ensklik Veritatis Splendor (1993), ensklik ini “memusatkan perhatian pada tema kebenaran serta landasannya yang berkaitan dengan iman,” dengan harapan bahwa “filsafat harus berusaha tegas-tandas menemukan kembali panggilan aslinya, menjelang ambang millennium ketiga era Kristiani” (§6) demi mendampingi manusia melintasi millennium baru tersebut.

Reaksi dan sambutan atas keluarnya ensiklik ini memerlihatkan bahwa, Paus, yang secara intelektual dibesarkan dalam tradisi filsafat fenomenologi ini, membangkitkan gelombang simpati dan antusiasme sekaligus golakan sinisme di permukaan pemikiran. Memang tak terelakkan bahwa kehadiran ensiklik ini memicu riak-riak sinisme sosial dengan percik-percik buih yang dihempaskan oleh arus pasang gelombang sejarah dari kedalaman mentalitas kultur modern, melalui warisan tradisi pencerahan, yang melihat bahwa iman dan akal budi memiliki jalan dan tujuan yang berbeda.

Namun, berhadapan dengan reaksi semacam itu, sang Paus memilih memikul gandar “pelayanan kebenaran” (§2) yang diterima, dengan menghadirkan iman dan akal budi secara bersama sebagai judul ensiklik. Memilih menyatukan keduanya dalam judul ensiklik hendak menegaskan bahwa jejak kesatuan keduanya dalam perjalanan sejarah pemikiran Kristen hampir-hampir tak terlihat di permukaan tuduhan bahwa gereja membenci ilmu pengetahuan.   

Nuansa fenomenologis, bidang di mana dirinya dibesarkan sebagai seorang filsuf tampak jelas dalam kalimat pembuka ensiklik tersebut: “iman dan akal budi ibarat dua sayap, dengannya jiwa manusia menanjak menuju kontemplasi kebenaran.” Dengan menekankan iman dan akal budi bagai “dua sayap” pemikiran Katolik, Paus berupaya untuk menangkap melalui suatu gambaran yang hidup tentang seekor burung yang terbang membumbung, dalam nada yang mirip dengan apa yang dikomunikasikan oleh Hans Urs von Balthasar (1987) tentang kebenaran sebagai sesuatu yang bersifat simfonik.

Berbagai petikan melodi yang mengalun di dalam gagasan-gagasan dari berbagai filsuf dan teolog yang berbeda dapat memberi kontribusi yang menentukan dalam pengetahuan tentang kebenaran mengenai suatu soal menyangkut kehidupan. Mengetahui beragam alunan musik yang dipetik seorang komposer, ibarat mengetahui otot-otot yang menggerakkan seekor burung, akan membangkitkan dalam diri kekaguman saat mendengarkan suatu musik atau melihat burung yang membubung di bawah pancaran matahari kosmik.

Kenalilah dirimu!

Selama manusia masih mengajukan pertanyaan, selama itu pula filsafat tetap menegaskan kehadirannya dalam lintasan sejarah manusia. Aktivitas memertanyakan dan menemukan jawaban merupakan milik bawaan akal budi manusia. Artinya, kita masih terus berfilsafat bila terdapat dua aktivitas ini, yakni memertanyakan (the politics of questioning) dan mencari serta mengajukan jawaban (the economics of explanation).

Di jantung pencarian itu, kesaksian akan kebenaran mendasar itu diterakan dalam peringatan yang dipahat di gerbang kenisah di Delfi: “Kenalilah diri anda sendiri” (§1). “Filsafat menampakkan,” demikian Paus menulis bahwa, “dalam berbagai cara dan bentuk bahwa kerinduan akan kebenaran itu (cf. kebenaran mengenai diri sendiri) sebagian dari kodrat manusiawi sendiri” (§3). Oleh karena itu, patut dicatat di sini, bahwa ada godaan besar, (yang sebagai godaan merupakan kebenaran yang palsu), yang disediakan oleh kemajuan teknologi, terutama melalui inteligensi artifisial: pengenalan yang lebih baik tentang manusia dapat diberikan oleh teknologi.

Godaan di atas, secara perlahan-lahan menghapus dorongan kekaguman dalam diri manusia, kekaguman akan kenyataan. Padahal, pertanyaan selalu dimulai atau diprovokasi oleh kekaguman. Tanpa kekaguman dan yang tersisa hanyalah reaksi mekanistik yang dipicu oleh teknologi, kita tidak akan berfilsafat. Platon dalam Theaetetus (155d) menegaskan bahwa: “di sinilah pengalaman (tò pathos)yang menjadi ciri khas seorang filsuf, kekaguman (tò thaumázein): di sinilah filsafat bermula (àrchē philosophias) dan tidak di tempat lain.

Kekaguman ini lalu mendorong orang untuk mulai memertanyakan segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu tidak hanya sebatas pada persoalan yang dapat dialami secara empirik, yang terduga, yang bisa diukur atau dikalkulasi secara matematis. Jauh lebih dalam, kekaguman itu menghantar pada pertanyaan-pertanyaan paling mendasar menyangkut keberadaan: Siapakah aku ini? Aku datang dari mana, dan sedang menuju ke mana? Mengapa ada kejahatan? Mengapa harus ada dan bukan tiada? Apa yang ada sesudah hidup ini?(§1).

Tanpa kekaguman itu, orang akan jatuh pada rutinitas yang buntu dan membosankan, dan sedikit demi sedikit akan kehilangan kemampuan untuk hidup, kehilangan kemampuan untuk menjadi pribadi yang sesungguhnya. Dengan menelisik pada tradisi-tradisi dan kebudayaan-kebudayaan Timur dan Barat, kita bisa menemukan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan “mempunyai sumbernya yang sama dalam perjuangan mencari makna” (§1). Berhadapan dengan kemajuan teknologi, pentingnya pengenalan diri yang otentik perlu diwartakan dengan lebih sungguh-sungguh.

Tantangan Kontemporer

Memang, tak dapat dipungkiri bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini, pada masa kini semakin sering dilalaikan oleh cara pikir yang seluruhnya dikendalikan oleh kepentingan pragmatis dalam bingkai teknologis. Jika bukan dilalaikan, pencarian akan jawaban-jawaban mendasar tentang siapa dirinya dimulai dengan suatu bentuk penolakan terhadap kenyataan, baik itu kenyataan manusiawi maupun kenyataan alamiah yang ada sebagaimana adanya. Seperti telah disinggung di atas, keyakinan bahwa teknologi mampu menyediakan jawaban yang memadai bagi manusia, telah secara perlahan-lahan menghancurkan.

Bahkan lebih jauh kita mengalami suatu penolakan yang terbuka terhadap penggunaan akal budi yang kritis, ketat dan dingin, karena identifikasi yang sewenang-wenang antara kebenaran dengan kekuasaan atau dominasi. Pencarian makna dianggap sebagai ilusi di hadapan kemajuan teknologi. Paus dalam ensiklik ini menunjukkan bahwa ia sadar sepenuhnya akan cuaca intelektual yang terjadi.

Paus menegaskan bahwa penulisan ensiklik ini didorong oleh kenyataan bahwa, “pada zaman sekarang ini usaha untuk mencari kebenaran yang terakhir agaknya sering dilalaikan” (§5). Masih dalam bagian yang sama, Paus menulis bahwa “filsafat modern jelas mempunyai jasa yang besar, yakni memusatkan perhatian pada manusia” namun dalam “kepeduliannya yang sepihak untuk menyelidiki subjektivitas manusiawi, agaknya melupakan, bahwa orang-orang selalu dipanggil untuk mengarahkan langkah-langkah mereka kepada kebenaran yang melampaui mereka (§5).

Konsekuensinya, filsafat terancam “kehilangan kemampuannya untuk mengangkat pemandangannya ke puncak-puncak tertinggi, sementara tidak berani bangkit ke arah kebenaran eksistensinya. Pendek kata, harapan semoga filsafat mampu menyajikan jawaban-jawaban definitif terhadap masalah-masalah mendasar itu, sudah memudar” (§5). Pemudaran itu diperparah oleh kebenaran palsu yang menyebar bagai virus: teknologi menyediakan setiap jawaban atas setiap pertanyaan manusia.

Selain itu dalam konteks relasi sosial, kita menghadapi kenyataan bahwa feminisme misalnya mencoba untuk membatalkan fungsi rasio dengan mengelevasi fungsi tubuh. Feminisme melihat bahwa pengetahuan yang dialami melalui tubuh menegaskan bahwa tubuh lebih cerdas dari akal budi. Pembalikan semacam ini meletakkan titik berangkat pengetahuan, bukan lagi pada kekaguman yang memprovokasi pengajuan pertanyaan tetapi kenyataan-kenyataan empirik melalui mana tubuh dijadikan sebagai titik tolak untuk mengajukan pertanyaan. Situasi ini mengakibatkan pemahaman mengenai konsep-konsep seperti keadilan, emansipasi, bahkan ilmu itu sendiri diaktifkan secara baru.

Kebaruan dalam pertanyaan, atau cara bertanya dengan titik tolak yang berbeda ini, menghasilkan model penjelasan yang berbeda dan bahkan subversif seperti dekonstruksi, postmodernisme, realisme spekulatif, feminisme, dan lain-lain. Secara politis, model-model eksplanasi ini dimulai dengan pengkonsepan ulang gagasan tentang kebenaran dan kebebasan sebagai bentuk-bentuk kekuasaan dan dominasi (forms of power and domination). Bahkan didorong untuk mengkonstruksi suatu keadaan revolusi permanen melawan semua bentuk forma-forma tatanan anteseden yang sejalan dengan kenyataan alamiah: yang alamiah itu bukan seperti apa adanya, tetapi sesuai apa yang dikonstruksi menurut tertib teknologi dan logika kemajuan (progres).

Leo Strauss dalam makalahnya tentang krisis masa kini (1963) menulis bahwa modernitas dan kontemporeritas yang secara langsung atau tidak langsung diarahkan oleh logika kemajuan ini mengasumsikan sebentuk penaklukan terhadap alam. Filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi bertujuan kontemplasi atas kebenaran tetapi terutama dalam keaktifannya menghasilkan produk demi menjawabi kebutuhan manusia.

Dorongan kebutuhan yang posesif dan kompulsif terhadap hal-hal baru (ideologi novelty) menuntut kreativitas dan inovasi. Kreativitas dan inovasi telah menjadi mantra magis dalam dunia kontemporer, yang mendorong eksploitasi dan komodifikasi yang berlebihan terhadap alam dan manusia. Ada pengandaian bahwa kemajuan yang semakin meningkat dengan bantuan teknologi akan membawa konsekuensi logis berikutnya yakni kemajuan yang makin besar dalam kebebasan dan keadilan.

Keyakinan ini memiliki konsekuensi lanjutannya. Bahwa memang penaklukan atas alam menghasilkan kemajuan, kemakmuaran (prosperity) dan kesejahteraan yang lebih besar. Namun, kemakmuran dan kesejahteraan saja belum menjamin kebebasan dan keadilan yang lebih besar. Untuk itu dibutuhkan jenis penaklukan terhadap keadaan alamiah yang lain yakni pada manusia. Atas nama kebebasan dan dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia dipikirkan secara baru dengan menolak kenyataan-kenyataan biologis alamiah.

Misalnya, ideologi gender (suatu Manikeisme Baru) menegaskan bahwa identitas seksual seseorang tidak bergantung pada identitas fisik, melainkan pada feeling dan dorongan seksual. Bila menyitir frase Judith Butler, berarti kita adalah apa yang kita lakukan atau rasakan, bukan siapa kita ini (gender as something we ‘do’, rather than something we ‘are’). Artinya, kehadiran kita sebagai seseorang itu hanya sebatas pertunjukkan (dalam pengertian persona sebagai topeng). Saya dan anda sebagai laki-laki, atau anda sebagai perempuan tidak benar-benar ada, eksis sebagai satu keberadaan yang unik dan tak terbagi.

Sehubungan dengan itu, setiap klaim atas nama kebenaran melawan gagasan performativitas Butlerian atau gagasan yang sejenis dan searah, selalu dipandang sebagai ekspresi impuls-impuls tiranik, nafsu untuk menguasai atau mengontrol. Kebenaran selalu sinonim dengan nafsu untuk mendominasi, menundukkan orang lain ke dalam kekuasaan kita. Reaksi semacam ini tidak hanya bersifat sosiologis atau politis, tetapi jauh lebih dalam kita melihat bahwa reaksi ini berakar dalam fakta bahwa pemikiran kontemporer tidak lagi memiliki kepercayaan yang kokoh akan kemampuan akal budi untuk mencapai kebenaran yang objektif dan universal. Bagi mereka yang melihat pertentangan iman dan akal budi, “kebenaran lahir dari mufakat, dan bukan keselarasan antara akal budi dan kenyataan objektf” (§56).

Ketidakpercayaan itu sendiri berakar dalam mentalitas positivistis, yang tidak hanya menolak visi Kristiani tentang dunia tetapi juga menolak sikap untuk mengandalkan visi metafisik dan moral. Dalam milieu mentalitas positivistik ini, para nabi nihilisme menegaskan bahwa usaha pencarian itu merupakan tujuan dalam dirinya, tanpa harapan atau kemungkinan mana pun untuk mencapai tujuan kebenaran. Kesanggupan untuk mencapai kebenaran yang objektif tidak diperlukan, sebab segala sesuatu mengalir dan hanya bersifat sementara. Siapa pun yang ingin menegaskan sesuatu sebagai yang bersifat tetap dalam kenyataan yang mengalir ini, pastilah dalam dirinya tersimpan nafsu besar untuk menguasai dan menindas (§46).

Dengan kata lain, dalam mentalitas positivistik ini, rasionalitas manusia hanya diarahkan pada tujuan-tujuan instrumental dengan membatasinya hanya pada salah satu dari sekian banyak bidang kehidupan manusia. Rasionalitas yang diarahkan pada kontemplasi kebenaran dan usaha mencari tujuan terakhir dan makna hidup yang otentik tidak lagi menjadi pilihan utama. Sebaliknya, karena makna hidup itu dipikirkan dalam kerangka pencapaian kenikmatan atau kekuasaan maka tujuan pencarian filosofis itu sebatas “mencapai kepastian subjektif atau kesadaran pragmatis daya-guna. Akibatnya mengaburkan martabat sejati akal budi, yang sudah tidak tidak dibekali lagi untuk mengerti kebenaran dan untuk mencari kemutlakan” (§47).

Panggilan Pelayanan

 Selain memaparkan berbagai tantangan yang di hadapi oleh manusia zaman ini akibat fragmentasi pengetahuan, Paus juga selayang pandang menghadirkan beberapa posisi filsafat yang menyokong fragementasi tersebut. Posisi-posisi itu antara lain ekletisisme (§86), historisisme (§87), saintisme (§88), pragmatisme (§89), yang menghantar pada nihilisme yang menolak kepenuhan arti kenyataan (§90). Salah satu aspek paling relevan, yang sudah sempat disinggung di depan adalah, krisis makna sebagai hasil dari posisi-posisi filsafat tersebut.

Oleh karena itu, Paus sekali lagi menegaskan bahwa “filsafat yang sudah tidak memertanyakan makna hidup lagi, kiranya terjebak dalam bahaya yang amat berat membatasi akal budi pada fungsi-fungsi yang serba sambilan melulu, tanpa selera yang nyata untuk berusaha mencari dan menemukan kebenaran.” Lebih lanjut ditegaskan bahwa “filsafat yang mengingkari kemungkinan makna yang terakhir dan meliputi keseluruhan, kiranya bukan hanya tidak akan cocok dengan tugasnya, tetapi bahkan palsu” (§81).

Berhadapan dengan kenyataan ini, setiap pemikir Katolik, sebagai bagian hakiki dari gereja dipanggil untuk melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, yakni pelayanan kebenaran. Tanggung jawab ini di satu sisi menjadikan setiap anggota gereja rekan dalam perjuangan bersama umat manusia untuk mencapai kebenaran. Dan pada sisi lain, tanggung jawab ini mewajibkan setiap anggota gereja, terutama para pemikir untuk mewartakan kepastian-kepastian yang tercapai, kendati disertai perasaan bahwa tiap kebenaran yang tercapai hanyalah satu langkah menuju kepenuhan kebenaran (§2).

Akhirnya, sekali lagi bisa dikatakan bahwa “pusaka pengetahuan dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Gereja telah diperkaya di berbagai bidang” (§91) oleh filsafat modern. Tetapi sejarah filsafat modern yang menolak dan membatasi secara sadar kemampuan akal budi untuk menggapai kebenaran-kebenaran akhir, memunculkan arus-arus irasionalisme yang membahayakan manusia dari dalam. Jadi, saat kita sedang melintasi dekade ketiga millennium ketiga, pelajaran sejarah yang bisa dipetik dari millennium kedua yang telah berlalu, adalah bahwa perlulah untuk tidak menanggalkan semangat besar akan kebenaran akhir, keinginan besar untuk berusaha mencarinya, atau keberanian untuk meretas berbagai jalan baru dalam pencarian itu (§56).

Dalam menjalankan tugas itu, kita percaya bahwa imanlah yang mendorong akal budi untuk berani bergerak melampaui segala pembatasan atau isolasi diri, sekaligus secara sukarela menghadapi resiko-resiko yang barangkali membentang di sepanjang jalan pencarian itu. Paus menyatakan bahwa “ragi masa kini dalam filsafat meminta dari para filsuf yang beriman, komitmen yang penuh minat dan kompeten” (§104), sambil meminta bantuan doa pada Maria, Takhta Kebijaksanaan, tempat iman duduk terpekur, yang panggilan hidupnya adalah parabel sejati dan memiliki keselarasan yang mendalam dengan filsafat.