Dalam liturgi Kristen, prapaskah yang menghantar pada paskah, berkaitan erat dengan pertobatan (convertio) yang terungkap melalui puasa-pantang, berbagi dan doa. Sebagai masa persiapan, bacaan-bacaan liturgi prapaskah ditata sedemikian demi menghantar orang Kristen ke dalam hakekat pertobatan/pembalikan dan misteri peristiwa paskah.
Misalnya, dalam liturgi sabda Senin Prapaskah III, bacaan tentang Naaman dan konfrontasi Yesus dengan orang-orang sekampungnya, bertujuan menghantar umat untuk mendalami kesombongan sebagai dosa yang menghalangi seseorang untuk sampai pada pengetahuan yang benar tentang Allah. Dalam bacaan pertama, diceritakan bahwa Naaman hendak pulang ke negerinya dengan panas hati, hanya karena Elisa menyuruhnya mandi tujuh kali di sungai Yordan untuk penyembuhannya. Bagi Naaman, sungai-sungai di daerahnya lebih baik sebagai tempat pemandian ketimbang Yordan. Superioritas dirinya hampir membatalkan kesembuhannya.
Adapun dalam injil, Yesus memakai kisah Naaman ini untuk mengkritik orang-orang sekampungnya. Karena kritikan ini, ditambah dengan alasan latar belakang keluarganya, Yesus ditolak. Selain kedua kisah di atas, dapat ditambahkan kisah lain, yang akan membantu memerlihatkan kepada kita tantangan sekaligus halangan pertobatan dan pengenalan akan Allah.
Kisah yang dimaksud adalah tentang kontestasi Musa melawan Firaun dalam peristiwa eksodus Israel dari Mesir, yang beberapa teksnya dibaca pada Hari Minggu Prapaskah III. Salah satu alasan penolakan Firaun atas apa yang disampaikan oleh Musa, adalah karena ia melihat bahwa para ahli sihir dan ilmuwannya bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Musa: mengubah tongkat menjadi tannin (buaya), lambang Dewa Sobek, simbol kesuburan dan kekuatan militer serta patron Firaun.
Pertarungan Alam Pikir
Dari kisah injil, kita tahu bahwa orang-orang Nazareth memiliki gambaran tersendiri tentang apa dan siapa itu Mesias, daripada yang disampaikan oleh Yesus yang dikenal. Hal yang sebanding bisa ditemui dalam kisah Musa vs Firaun. Kita membaca bahwa konfrontasi itu akan membuat orang-orang Mesir “mengetahui, bahwa Akulah Tuhan”. Artinya, pembalikan dan pembebasan orang Israel, mensyaratkan suatu kontak dan pemisahan dengan Mesir sebagai pusat dan simbol kemajuan peradaban dunia.
Dengan kata lain, pembebasan Israel membutuhkan konfrontasi, yakni kontestasi melawan Mesir, yang diwakili oleh Musa “sebagai Allah” (Kel 7:1) dan Firaun, penguasa Mesir sebagai “Yang-Satu,” yakni dewa bagi rakyatnya, dan simbol kesempuraan identitas dan tubuh sosial bangsa Mesir.
Konfrontasi dan kontestasi ini menunjukkan bahwa iman itu ditegaskan secara paling radikal, justru pada momen perjumpaan yang saling menegasi dengan pihak lain. Konfrontasi semacam itu menegaskan alasan mendasar dari apa yang ditandaskan oleh René Girard bahwa “la violence qui constitue le coeur véritable et l’âme secrete du sacré – kekerasan adalah jantung yang sebenarnya dan jiwa rahasia Yang Kudus” (1972: 52).
Sehubungan dengan itu, konfrontasi dengan Mesir tidak sekadar konfrontasi politis. Secara mendasar, ini adalah konfrontasi epistemo-teologik, antara Yahweh dan Firaun. Ini merupakan pertarungan dua Allah yang menjadi sumber alam pikir dan kehidupan manusia.
Persis di sini, tulah-tulah yang terjadi, yang ‘hanya’ terjadi karena kekerasan hati Firaun, berfungsi edukatif bagi kedua pihak: di satu sisi, untuk mengoreksi pretensi teologis Firaun, ketidaktahuan teologis Mesir sebagai simbolisme kebutaan dunia dengan segala kemegahan kemajuannya, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman orang Israel tentang Allah nenek moyang mereka, di sisi lain.
Seturut alasan di atas, merupakan suatu kekeliruan yang mendasar, kalau kita membaca tulah-tulah Mesir sebatas persoalan moral tentang pertarungan antara kebaikan versus kejahatan, atau tentang Allah yang jahat, pembunuh orang tak bersalah. Memang konfrontasi itu akan berhubungan juga dengan soal moralitas. Namun, konfrontasi moral itu hanya bisa terjadi kalau basis epistemiknya disingkapkan. Singkatnya, konfrontasi Mesir versus Israel adalah konfrontasi tentang pengetahuan dan kebenaran.
Poin yang sebanding kita temukan juga pada peristiwa penyembuhan Naaman. Kompleks superioritas diri, perasaan besar kepala, kesombongan karena identitasnya sebagai orang Siria membuat Naaman merasa bahwa perintah supaya mandi di Sungai Yordan merupakan penghinaan kepadanya sebagai seorang Siria, yang juga seorang jenderal. Kita bisa berimajinasi bahwa rupanya, dalam perjalanan menuju Elisa, Ia membayangkan bahwa Elisa akan melakukan sesuatu yang hebat atas dirinya, paling kurang untuk menegaskan dua hal berikut. Pertama, dari pihak Elisa, untuk menegaskan bahwa dirinya benar-benar seorang nabi. Dan yang lebih penting, untuk menegaskan bahwa karena dirinya seorang Siria, makanya hal-hal hebat seperti itu layak untuk terjadi. Hal-hal hebat itu terjadi karena dirinya seorang Siria. Ke-Siria-annya merupakan alasan ada (ratio essendi) bagi hal-hal hebat itu.
Oleh sebab itu, jauh lebih dalam, kisah ini menampilkan kontestasi pengetahuan yang benar tentang Allah yang sejati. Kata-kata Elisa bahwa “supaya ia tahu bahwa ada seorang nabi di Israel” merupakan pernyataan yang ditujukan kepada Naaman sebagai orang Siria sekaligus kepada orang-orang Israel yang berpaling dari Allah perjanjian dan pergi menyembah Baal, sesembahan orang-orang Siria.
Dengan demikian, credo Naaman bahwa “sekarang aku tahu, bahwa di seluruh bumi tidak ada Allah kecuali di Israel” (II Raj 5:15c), merupakan kritik atas pretensi teologis orang Siria dan kebutaan pengetahuan iman orang-orang Israel. Maka, saat merujuk kisah ini, Yesus hendak menunjukkan bahwa kebutaan iman orang-orang Nazareth adalah warisan yang menyejarah.
Peristiwa-Kristus
Ketiga kisah di atas menunjukkan bahwa dalam pandangan biblis, manusia secara spontan memerlakukan banyak hal sebagai ‘allah,’ seperti lembu emas, Mammon, gambaran diri, konsepsi tentang kenyataan, bahkan ‘perut mereka sendiri’ kalau menurut Paulus. Selain ketiga kisah tersebut, banyak kisah dalam kitab suci bertujuan menunjukkan bahwa manusia memiliki tendensi untuk memerlakukan secara absolut hal-hal yang tidak absolut. Dengan menunjukkan hal tersebut, kitab Suci hendak menegaskan dan mengakui bahwa hanya ada satu hal absolut, Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Dalam ungkapan fungsionalisme berarti, segala sesuatu berpotensi menjadi “idol” yang menjadi “agamanya”, tidak dalam pengertian ‘siapa’ yang diimani, tetapi dalam pengertian ‘bagaimana’ mereka memercayai sesuatu. Konsekuensinya, menurut James V. Schall sebagaimana ditulis dalam bukunya, The Universe We Think In (2018), dalam milieu masyarakat global-teknologis, kebenaran-kebenaran mendasar Kristen tidak diketahui secara baik, bahkan oleh orang-orang Kristen sendiri. Hal ini melahirkan banyak penolakan terhadap kebenaran-kebenaran perennial terkait iman atas nama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Schall, penolakan terhadap iman dan kebenaran-kebenarannya, tidak selalu disebabkan oleh kekurangan inteligensi. Penolakan itu lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menerima kebenaran yang ada, karena penerimaan atas kebenaran itu menuntut pembalikan bahkan keberanian untuk melepaskan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan isi iman. Kondisi ini sebenarnya menghalangi orang Kristen untuk sampai pada pengetahuan yang benar tentang Allah yang diimani, serta mengikis kesetiaan pada peristiwa-Kristus.
Bisa jadi, banyak orang Katolik menganggap ruang konsultasi psikiater lebih membantu ketimbang ruang Sakramen Pengakuan, atau ritual-ritual adat lebih ampuh daripada sakramen-sakramen. Dengan kata lain, dalam kaitan dengan iman akan Allah, pengandaian-pengandaian pribadi maupun postulat-postulat budaya, seperti diperlihatkan oleh Firaun, Naaman maupun orang-orang Nazareth dapat menghalangi seseorang untuk sampai pada pengetahuan yang benar dan lalu menghantar pada pembalikan.
Halangan-halangan tersebut mempunyai akibat-akibat konkret. Benediktus XVI dalam posthumousnya, What is Christianity (2023), berefleksi bahwa dengan mengabaikan pentingnya Sakramen Pengakuan, maka aspek fungsional Ekaristi dalam ruang relasi-relasi sosial lebih diperhatikan oleh orang Katolik, ketimbang aspek adorasinya. Ekaristi sebagai perayaan sakramental kurban Kristus direduksi pada perspektif yang murni historis sebagai perjamuan, karena elemen konstitutifnya yakni “perjumpaan dengan Yesus Kristus yang bangkit” dihapus dari wawasan tentangnya. Maka, dapat terjadi bahwa orang tidak merayakan Paskah sebagai momen penegasan kesetiaan pada peristiwa-Kristus seperti ditegaskan dalam Prefasi I Sengsara: “dengan kekuatan salib yang tak terperikan, (…) tampaklah kekuasaan Dia yang disalibkan”.
Ketidaksetiaan pada peristiwa-Kristus merupakan halangan terbesar pembalikan selama masa persiapan menyambut Paskah. Halangan ini berakar pada keengganan untuk mencari dan menyelami khazanah iman secara lebih dalam lagi. Orang tetap tinggal di permukaan, lebih posesif pada hal-hal superfisial dan dangkal dari hidup iman, karena menganggap bahwa keberimanan itu identik dengan ritualisme yang ditentukan. Halangan epistemik dalam pertobatan adalah kekerasan hati untuk tidak menerima kebenaran yang disingkapkan kepada yang bersangkutan.