Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 Thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/3

3. Ritual Misa menangkal Ketamakan Spiritual

Pada bagian pertama dari spiritualitas liturgi, saya mengulas aspek kesadaran kita umat sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Lalu pada bagian lanjutannya, saya membahas mengenai aspek penyangkalan diri, kemampuan melepaskan diri yang terkandung dalam liturgi kita, yakni pada ritus yang kita rayakan. Maka, pada bagian ketiga ini, saya mencoba menampilkan aspek lain yang terkandung dalam liturgi kita. Ritus yang kita rayakan, ritus yang ditentukan oleh Allah melalui Tradisi Gereja Universal mampu menangkal ketamakan spiritual dalam diri kita.

Salah satu credo modernitas adalah bahwa manusia mampu memilih sendiri nilai yang diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya, manusia modern berhak memilih dirinya sendiri. Salah satu manifestasi dari hasrat untuk memilih bagi diri sendiri itu tampak dalam kerinduan posesif dan kompulsif akan sesuatu yang baru dan menarik. Kerinduan ini memberi kepada manusia modern satu ciri khasnya: menjadi modern berarti berbeda dengan apa yang sudah ada, berbeda dengan masa lalu, berbeda dengan apa yang sudah dianggap biasa. Mentalitas ini meresap masuk ke dalam liturgi dan pemahaman atasnya.

Seperti sudah sempat disinggung pada bagian sebelumnya, mentalitas modern yang kompulsif dan obsesif akan kebaruan membuat manusia modern tidak menyukai pengulangan. Barangkali kita pernah mendengar keluhan seperti: “ini lagu yang ulang-ulang saja,” “omong yang sama dari tahun ke tahun,” dan lain-lain lagi. Manusia modern membenci pengulangan. Di balik keluhan seperti ini, kita bisa mencium sebentuk pergeseran di dalam ekaristi: hal-hal yang benar, baik, dan indah yang menopang kontemplasi mengalami reduksifasi menjadi sekadar nilai yang didasarkan pada kegunaan. Hal ini kontras dengan liturgi gereja yang menggandeng semuanya ke dalam keindahan (seperti tampak dalam lukisan di Kapel Sistine) tanpa mereduksi kegunaan dari nilai-nilai formal yang ada.

Tendensi kebaruan ini mendapat topangannya yang kokoh dari pasar. Sebagai akibatnya, kita bisa melihat bahwa seringkali tindakan-tindakan liturgis yang spesifik seperti syukuran misalnya menjadi semacam ‘mimikri’ dari pertukarang di pasar. Maka, tidaklah mengherankan bahwa Vincent J. Miller menulis dalam Consuming Religion (2004), bahwa dorongan akan kebaruan menghasilkan suatu liturgi yang baru sama sekali seperti tampak dalam misa ritus baru. Kebaruan ini sedikit banyak dimaksudkan untuk memuaskan hasrat akan kebaruan, namun dalam budaya konsumtif seperti sekarang ini, misa ritus baru tetap dirasakan sebagai membosankan dan terlalu banyak pengulangannya.

Kebaruan menghasilkan ketamakan rohani. Yang dimaksud dengan ketamakan rohani adalah cacat rohani yang membuat seseorang bergembira dan memusatkan perhatiannya hanya pada hiburan jasmani dibalik hal-hal rohani yang diberikan oleh Tuhan, namun tidak menggunakan hiburan rohani itu sebagai sarana untuk lebih menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, yakni bertumbuh dalam kekudusan: hendaklah engkau sempurna seperti Bapa di surga adalah sempurna.

Ketamakan spiritual terjadi ketika orang melakukan hal-hal spiritual atau keagamaan karena adanya penghiburan atau kesenangan yang diperoleh dari tindakan-tindakan itu, orang merayakan hal-hal spiritual atau keagamaan demi mendapatkan kepuasan sosial, pengakuan sosial bahkan kedudukan sosialnya diafirmasi. Secara sosial misanya, banyak keluarga berjuang supaya anaknya bisa menjadi imam atau biarawan-biarawan karena hal itu bisa meningkatkan status sosial di tengah masyarakat. Berhasil dalam lingkup keagamaan adalah hal lain, sedangkan semakin beriman adalah soal lain. Setelah menerima tahbisan imam, kepada keluarga saya sendiri, saya mengatakan bahwa dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa keluarga kita juga akan baik-baik saja. Dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa secara rohani keluarga kita menjadi lebih baik dari orang lain. Tidak. Bisa terjadi, malah meningkatkan kesombongan spiritual, karena merasa bahwa salah satu orang dalam keluarganya telah menjadi imam.

Contoh lain misalnya, kita mendapati bahwa permintaan misa syukur atas keberhasilan tertentu lebih banyak dari jumlah orang yang datang meminta Sakramen Pengakuan. Umat berjubel dalam misa hari minggu tetapi sedikit sekali orang yang datang saat ada jadwal penerimaan Sakramen Pengakuan. Dalam hal ketamakan spiritual ini, Tuhan tidak menjadi tujuan akhir dari tindakan-tindakan keagamaan atau spiritual yang dilakukan. Ini juga menjelaskan mengapa misalnya, orang merayakan natal bahkan sebelum natal tiba atau masih tetap merayakan natal meskipun secara liturgis bukan saatnya lagi. Kita memakai hal-hal spiritual bukan demi kemajuan rohani kita, tetapi demi memuaskan hasrat atau selera-selera sosial kita.

Kebaruan melahirkan ketamakan spiritual karena umat cenderung untuk berpikir bahwa apa yang baru, atau hal baru selalu lebih baik, sehingga setiap hal baru yang didapat memberi kesenangan baru. Di sini tampak jelas bahwa hal-hal baru dapat dengan mudah berubah menjadi hiburan bagi orang. Namun bahayanya adalah hal-hal baru mendorong seseorang untuk hanya menaruh perhatian pada hal-hal baru dan berhenti memandang Tuhan. Orang terpaku pada hal-hal baru, dan lupa untuk menaruh perhatian pada pertumbuhan spiritual. Dalam hal ini, kita mengingat gugatan Tuhan berikut: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu” (Am 5:21).  Para santu dan santa penulis spiritual dalam tulisan-tulisan mereka telah mengingatkan betapa berbahayanya ketamakan spiritual bagi hidup rohani kita.

Liturgi kita, terlebih dalam misa ritus lama menghancurkan ketamakan spiritual pada tiga level berbeda. Pertama, melalui keheningan. Keheningan menangkal dan menghilangkan kecenderungan kita untuk berbicara dalam ekaristi. Dalam catatan mengenai persiapan seperti terdapat dalam TPE 2020, di sana tertulis: “menjelang perayaan Ekaristi seyogyanya diadakan persiapan dengan menciptakan suasana yang khidmat, baik oleh umat maupun oleh imam dan para pelayan.” Pernyataan mengenai “suasana yang khidmat” sebenarnya merujuk pada keheningan yang mendahului perayaan ekaristi. Tetapi, seperti yang sudah sering kita alami bersama, lebih banyak keriuhan yang ada ketimbang keheningan, baik itu di dalam gereja maupun di ruang sakristi menjelang ekaristi. Memang kita perlu menyadari hal ini secara pribadi dan mengupayakannya secara sadar.

Kedua, pengulangan dalam perayaan ekaristi. Pengulangan memastikan bahwa selera kita yang selalu menginginkan hal baru tidak pernah terpuaskan. Pengulangan dalam kebaikan spiritual merupakan sesuatu yang dihargai pada tingkat intelektual, dan bukan pada tingkat selera. Selera kita dapat menjadi bosan saat berhadapan dengan sesuatu yang sama berulang-ulang. Misalnya, ingin makan makanan yang enak sekali pun seperti daging, kita akan menjadi bosan pada saat kita berhadapan dengan daging setiap saat. Tetapi secara intelektual, kita mampu untuk  melihat nilai dari sesuatu setiap kali kita menjumpai atau berhadapan dengan hal tersebut. Pengulangan pada tingkat intelektual menghantar orang pada kedalaman. Itu sebabnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, St. Ignasius Loyola menulis buku spiritualnya dengan judul “Latihan Rohani.” Pengulangan pada level spiritual adalah suatu latihan yang berarti bahwa ia membutuhkan pengulangan berkali-kali.

Yang ketiga, kepuasan tertentu datang dari kontrol atau penguasaan kita atas sesuatu. Inilah alasannya mengapa ritus kita. Inilah alasan mengapa ritual kita perlu ditetapkan dan ditentukan oleh Gereja dan bukan oleh kita sendiri. Paus Pius IX saat diminta untuk menambahkan ke dalam Kanon Roma nama St. Joseph (ditambahkan kemudian oleh Paus Yohanes XXIII), ia menjawab bahwa “Ia tidak dapat melakukannya. Ia hanya seorang Paus.” Pendirian Pius IX hendak menunjukkan bahwa ritual yang berasal dari Tradisi pertama-tama bukan karya manusia, tetapi karya Allah. Sejauh ritual itu ditentukan oleh pilihan-pilihan kita dan bukan menurut hukum universal Gereja, kita mengambil kontrol atas liturgi. Dengan begitu kita menundukkan kebaikan-kebaikan spiritual kita pada selera kita. Kontrol atas kebaikan spiritual ini dapat melebar pada aspek lain lagi ketika imam atau umat merasa bahwa kebaikan spiritualnya ditentukan pula oleh penyesuaian kita dengan kemajuan teknologi.

Secara alamiah, setiap orang berbeda baik tingkat intelektualitas, sensitivitas maupun secara fisikal dan material. Maka, ketika ritual menjadi produk individu tertentu, atau segelintir orang, ritual itu kehilangan daya tarik spiritualnya di mata orang lain, yang berbeda tingkatan intelektual, sensitivitas maupun spiritualnya. Dengan ritus yang sudah ditentukan Gereja Universal, seseorang dilindungi dari kemungkinan pemaksaan spiritual oleh orang lain atau oleh imam sendiri. Hal yang sama berlaku pada musik liturgi juga. Musik Gregorian sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menarik bagi setiap orang pada level emosi dan seleranya.

Sebaliknya, keindahan nyanyian Gregorian memiliki daya tariknya pada tingkat kecerdasan dan kemauan. Maka hal ini, secara alami dapat mendorong kemauan doa, yang diartikan sebagai pengangkatan pikiran dan hati kepada Tuhan. Nyanyian Gregorian secara alamiah menarik orang ke dalam kontemplasi ilahi dan misteri dari ritual yang dirayakan. Ini jauh berbeda dengan musik-musik inkulturatif yang secara intelektual hanya menyentuh sebagian orang. Ini juga terjadi dengan nyanyian Mazmur Tanggapan edisi terbaru, di mana kita merasakan sejenis kedangkalan saat dinyanyikan dibandingkan dengan nyanyian Gregorian.

Hal lain di mana liturgi juga mengajar kita tentang penyangkalan diri, mematahkan ketamakan spiritual melalui bahasa. Dari pengalaman saya, Bahasa Latin membatasi kita untuk tidak terlalu banyak melakukan improvisasi bahasa, atau menambah-nambah kata-kata yang menarik dari segi selera. Dengan kata lain, bahasa Latin ketika digunakan menghalangi kecenderungan imam untuk melalukan tindakan-tindakan ad lib (tambahan doa berdasarkan ungkapan-ungkapan spontan imam demi menyenangkan selera pendengarnya), bahkan menghalangi imam memaksakan disposisi pribadinya terhadap mereka yang menghadiri misa, atau bahkan berusaha untuk menyenangkan peserta misa.

Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/2

2. Penyangkalan diri, melepaskan-diri/keteguhan

Pada bagian pertama dari spiritualitas liturgi, saya membahas tentang kesadaran sebagai orang yang berdosa. Maka, di sini, dengan tetap berkiblat pada ulasan Chad Ripperger, saya akan melanjutkan dengan aspek lain dari spiritualitas dalam liturgi Gereja yang memanifestasi melalui ritual, yakni penyangkalan diri dan mati raga. Salah satu manifestasi paling konkret dari penyangkalan diri yang terungkap melalui ritus misa adalah keheningan, diam di hadapan Tuhan, diam saat berada dalam gereja.

Secara manusiawi, saat kita berjumpa dengan seseorang yang punya kecenderungan untuk bicara banyak, ia akan cenderung untuk tidak bisa berdiam. Ia akan terlihat lebih banyak bicara. Hal ini sering kali disebabkan karena orang merasa penuh dalam dirinya sendiri. Inilah kondisi manusiawi bahwa setiap kali kita melakukan sesuatu yang sesuai, atau menurut kesukaan kita, baik kesukaan fisik maupun kesukaan estetik; kita mendapat kepuasan dari hal tersebut. Kita sering mendengar istilah ‘mood’ menyangkut hal-hal tertentu, tetapi tidak memiliki ‘mood’ untuk hal-hal lain. Ketika kita mengalami sesuatu yang sesuai dengan mood kita, di sana kita memeroleh kepuasan atau kenikmatan darinya. Dengan kata lain, dalam soal bicara, kita bisa sangat bergantung pada ‘keinginan’ untuk bicara, dan sedikit sekali memiliki dorongan untuk berdiam.

Ritus misa, terutama dalam misa ritus lama yang menekankan keheningan, sebenarnya mencegah kecenderungan itu. St. Yohanes dari Salib menyatakan bahwa sebelum ia masuk dalam keadaan kontemplasi mistikal, “rumahnya”, yakni dirinya menjadi sangat hening, dan ini berarti bahwa seluruh keinginannya juga didiamkan secara total. Apa yang dinyatakan oleh St. Yohanes ini sebenarnya menjadi tanda bagi kita bahwa kita perlu berdiam, perlu mengesampingkan diri kita sendiri, sehingga kita mampu untuk menanjak menuju puncak yang diinginkan oleh Tuhan bagi diri kita, dan misa menolong kita dalam hal ini.

Ini juga menegaskan bahwa kita tidak dapat menempatkan diri kita sebagai pusat perhatian dengan banyak bicara. Maksudnya adalah supaya kita mampu menangkap makna dan signifikansi terdalam dari liturgi kita. Kalau kita mau memerhatikan dengan seksama, kita akan menjumpai kenyataan bahwa keheningan adalah suatu hal yang hampir sepenuhnya hilang dalam liturgi semasa ini. Banyak orang tidak bisa, bahkan tidak mau hening saat berada dalam gereja, terutama keheningan yang mendahului ekaristi dan sepanjang ekaristi, terutama sesudah komuni.

Ritus misa juga sebenarnya mendorong suatu cita rasa penyangkalan diri di satu sisi, dan keteguhan di sisi lain, baik bagi imam maupun bagi umat, karena ritus misa kita sepenuhnya ditentukan oleh Bunda Gereja. Kita membaca dalam Perjanjian Lama tentang bagaimana Allah memberikan instruksi yang amat detail tentang bagaimana seharusnya kita menyembah-Nya. Apa yang ditunjukkan dalam Perjanjian Lama itu dapat menjadi kunci bagi kita untuk memahami liturgi kita secara tepat. Yang pertama, adalah bahwa liturgi itu bukan tindakan kita, tetapi tindakan Allah melalui imam. Secara hakiki, liturgi itu menyangkut apa yang dilakukan Allah bagi kita, misalnya konsekrasi tidak akan terjadi tanpa Allah yang menjadi sebab pertama pengorbanan itu.

Yang kedua, bahwa hanya Allah yang menentukan bagaimana kita harus menyembah-Nya, dan bukan kita. Hal ini sepenuhnya bertolak belakang dengan tendensi modern: suatu hasrat untuk menentukan atas dasar kemauan diri sendiri bagaimana sebaiknya kita menyembah Allah. Ini memerlihatkan suatu kekeliruan yang amat fatal, karena kita seolah-olah memaksa Allah untuk mengikuti kehendak kita mengenai seperti apa kita perlu menyembah-Nya.

Poin yang kedua di atas menegaskan salah satu aspek penting dari spiritualitas dalam liturgi: bahwa kalau kita ingin mencapai apa yang diinginkan oleh Tuhan yakni sebagai warga “imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat milik Allah sendiri”, maka tugas kita adalah menyesuaikan diri dengan liturgi, dan bukan sebaliknya membuat liturgi yang sesuai dengan keinginan kita, suatu liturgi yang sepenuhnya berdasarkan keinginan manusiawi kita. Gejala ini seringkali bersembunyi dibalik alasan inkulturasi yang seringkali melewati batas: kita ingin membuat suatu liturgi yang sesuai dengan cita rasa estetis kita.

Jauh lebih, dalam ritus misa dengan rubrik yang tersedia menyediakan dua keuntungan spiritual bagi imam dan umat. Pertama, bahwa bagi imam, ia belajar untuk menyesuaikan diri dengan kehendak Allah yang tampak melalui rumusan yang tersedia. Hal ini melindungi imam dari kemungkinan untuk berpikir atau terganggu dengan apa yang barangkali dipikirkan oleh umat yang hadir. Hal yang sama berlaku bagi umat yang hadir. Umat perlu belajar untuk menyesuaikan diri dengan apa yang ada. Tak bisa disangkal bahwa pada masa ini seringkali kita mendengar keluhan bahkan saran agar liturgi dibuat lebih menarik. Alasannya, kalau dibuat menarik maka liturgi yang menarik itu ibarat magnet yang akan menarik semakin banyak orang untuk datang ke gereja. Tetapi, kecenderungan seperti itu berakar dalam mentalitas yang melihat bahwa liturgi adalah sepenuhnya tindakan manusia, dan bukan tindakan Allah.

Maka, yang kedua adalah bahwa liturgi yang demikian mengajar imam dan umat mengenai penyangkalan diri dan mati raga. Saat kita menyadari bahwa liturgi yang kita rayakan berada di luar kendali kita, maka kita belajar untuk menyesuaikan diri. Inilah makna terdalam dari apa yang disebut sebagai partisipasi aktif: bahwa kita berpartisipasi secara aktif dan sadar melalui apa yang telah ditentukan bagi kita. Di situ, dalam ekaristi, imam dan umat belajar untuk melupakan diri sendiri. Secara khusus, bagi imam, dengan bertindak in persona Christi, berarti personalitasnya diminimalisir dan ia belajar untuk menyediakan dirinya bagi Kristus: supaya Ia makin besar, dan aku makin kecil. Sedangkan bagi umat sendiri tidak tersedia kemungkinan untuk memanipulasi imam lewat liturgi demi memuaskan tujuan atau keinginan-keinginannya.

Liturgi dapat membantu imam dan umat meningkatkan kedalaman spiritual melalui tiga alasan penting. Pertama, bahwa liturgi membawa kita keluar dari diri kita, dan membawa kita kepada Allah. Kalau kita tetap tinggal dalam diri kita, dan kalau kita membuat liturgi sebagai sesuatu yang sepenuhnya menyangkut diri kita, kita akan ditakdirkan untuk jatuh ke dalam kedangkalan dan superfisialitas. Tetapi, kalau kita menyadari dan menerima bahwa liturgi itu berada di luar kendali kita, bahwa liturgi melampaui kita, karena berhubungan dengan misteri Allah, maka kita dibantu untuk lebih mengembangkan sikap kontemplatif kita saat sedang berada di dalam gereja.

Kedua, liturgi didasarkan pada tradisi yang panjang, terutama misa ritus lama. Tradisi menyediakan mekanisme di mana manusia dapat melepaskan dirinya, dan meninggalkan dirinya pada Allah yang membentuk tradisi tersebut, ketimbang mengontrol tradisi atau memutuskan diri dari tradisi. Artinya, tradisi menyediakan mekanisme melaluinya warisan spiritual dan liturgis dari para kudus dapat dibagikan kepada setiap generasi yang akan datang kemudian. Seperti seseorang yang tidak mengenal akar historisnya dan karena itu tidak mampu memahami dirinya sendiri, manusia modern memilih untuk menolak tradisi dan menggantikannya dengan dirinya, hanya untuk menghadapi kenyataan bahwa ia kehilangan dirinya sendiri. Gejala itu dapat ditangkap pada misa ritus baru, di mana seorang imam dapat melakukan improvisasi apa saja berdasarkan cita rasa pribadinya sambil menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu dapat memberi keuntungan spiritual yang memadai bagi dirinya dan umat yang dilayani.

Yang terakhir adalah pengulangan yang menjadi ciri khas misa ritus lama, tetapi menjadi sesuatu aneh bagi para ahli liturgi misa ritus baru. Misalnya, dalam misa ritus baru, kita diberitahu bahwa membuat tanda salib itu hanya dilakukan sebanyak dua kali, yakni di awal misa dan di akhir misa pada saat berkat penutup. Bandingkan dengan misa ritus lama, di mana tanda salib dilakukan sebanyak 48 kali. Alasan penolakannya karena kita tidak perlu melakukan pengulangan yang tidak perlu, dan pengulangan yang terus menerus sebenarnya tidak berguna. Contoh lain, adalah dalam doa Confiteor, dalam misa ritus baru permohonan kepada para malaikat dan orang kudus diringkas menjadi “…kepada para malaikat dan orang kudus…”. Tetapi kalau kita perhatikan dalam misa ritus lama, dalam Confiteor kita menjumpai pengulangan dua kali permohonan kepada Malaikat Agung St. Mikhael, St. Yohanes Pembaptis dan St. Petrus dan Paulus.

Penolakan dan kemudian penghilangan pengulangan di dalam ekaristi sebenarnya banyak dipengaruhi oleh semangat Protentantisme. Misalnya, orang-orang Protestan melihat pengulangan 50 kali Salam Maria dalam doa Rosario sebagai pengulangan yang sia-sia. Mentalitas modern menolak dan tidak menyukai pengulangan. Manusia modern memuja kebaruan (novelty) karena memberi kepada selera kita kesenangan yang dibutuhkan. Tetapi apakah kesenangan akan kebaruan memberikan kedalaman, tidak ada jawaban pasti. Padahal, untuk mencapai sesuatu di kedalaman, dibutuhkan pengulangan. Inilah alasannya, misalnya Ignasius Loyola menyebut bukunya sebagai “Latihan Rohani”, karena latihan membutuhkan pengulangan yang terus menerus.

Hal pengulangan dalam misa menyangkut kebaikan spiritual adalah sesuatu yang dihargai pada tingkat intelektual, bukan pada tingkat hasrat dan selera. Hasrat dan selera kita dapat menjadi bosan ketika mengalami hal yang sama berulang kali. Tidak mengherankan bahwa ada kecenderungan dalam diri sebagian orang muda untuk memikirkan misa sebagai sesuatu yang menyenangkan. Kebutuhan seperti itu, seringkali mendorong Gereja untuk mengentertain liturgi, dengan maksud menarik bagi orang muda. Tetapi cara demikian hanyalah akan memberi kepuasan sesaat, dan setelah itu orang akan kembali kepada kebiasaan lama mereka: menjauh dari gereja karena gereja dianggap tidak memberi kepuasan, juga tidak menyediakan jalan bagi keberhasilan di dunia karier.

Pada sisi lain, intelek dapat menemukan nilai setiap kali sesuatu ditemukan. Maka kita mengenal ungkapan “repetitio est mater studiorum” (pengulangan adalah ibu dari pembelajaran). Hal ini berlaku juga dalam hal kerohanian. Dengan mengulang-ulang suatu doa, maka maknya menjadi lebih kita ketahui sehingga kita mampu memasukinya dengan lebih sempurna dan dalam. Karena ritus misa tidak memberi peluang kepada hal-hal baru, melainkan kepada pengulangan, maka ritus sebenarnya menyediakan cara agar seseorang dapat lebih fokus pada misteri yang sedang dirayakan dibandingkan pada hal-hal baru yang terus bermunculan. Keheningan dan pengulangan yang menjadi ciri misa, sebenarnya membantu kita untuk dapat berpartisipasi dengan lebih baik, dan masuk lebih jauh ke dalam misteri misa yang sedang dirayakan.

@Seminari St. Rafael OEpoi – Kupang, Senin, 01 Januari 2024: HR. Santa Maria Bunda Allah

Spiritualitas Liturgi: Refleksi 60 thn Sacrosanctum Concilium – Bagian III/1

Pada bagian pertama dan kedua tulisan ini, saya mencoba menunjukkan beberapa fenomena yang menjadi petunjuk penting adanya krisis yang mengakibatkan terjadinya desakralisasi yang berlanjut di dalam liturgi Gereja. Fenomena-fenomena yang disinggung itu hendak menegaskan satu hal konstitutif: bahwa di bawah pengaruh mentalitas modern (Paus St. Pius X dalam Pascendi Dominici Gregis [1907], menyebut modernisme sebagai sintesis semua heresi yang ada) mengakibatkan liturgi sebagai penyembahan kepada Allah dihilangkan dari kesadaran umat, dan diberi penekanan yang berlebihan pada soal tindakan manusia.

Akibatnya, manusia modern cenderung untuk menempatkan kebaikan rohani dan keselamatannya di bawah kendali dirinya. Tendensi gnostisisme dan pelagianisme sebagaimana diingatkan oleh Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Evangelii Gaudium (2013), samar-samar meresap masuk ke dalam kesadaran rohani umat dan mengakibatkan suatu proses regresif yang berlanjut (Cf. EG, 94). Dengan telisik historisnya, Joseph Jungmann dalam bukunya The Mass (1976) menemukan bahwa spiritualitas abad ke-20 ini tidak lagi berpusat pada pribadi Yesus Kristus, tetapi pada tindakan manusia.

Di antara para teolog dan liturgist, sudah umum diterima bahwa setiap bentuk liturgi mengandung dan mewujudkan sejenis sprititualitas yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ritus bersangkutan. Misalnya, ritus Timur cenderung untuk memberi penekanan pada aspek-aspek misteri dari kehidupan spiritual serta peran dari ikon-ikon suci dalam menopang devosi kepada Tuhan, Bunda Maria dan para kudus. Ritus antik, yakni ritus yang dikodifikasi sejak Paus Damasus I dan kemudian oleh Paus Gregorius Agung misalnya menarik bagi setiap generasi yang berbeda. Dan Misale 1962 menampilkan aspek pertumbuhan organis dari liturgi sepanjang hampir 1900 tahun.

Namun ada persepsi yang menyesatkan yang cukup umum diterima, yang menganggap bahwa liturgi yang berkembang pada periode abad pertengahan pada dasarnya bersifat dekaden, dan karena itu ada tuntutan untuk kembali kepada Tradisi Apostolik dan Gereja Perdana demi mengetahui secara pasti apa itu liturgi yang sesuai dengan kehendak Allah. Namun, pandangan ini sebetulnya tidak tepat, sebab penolakan seperti itu sebenarnya berarti penolakan terhadap pertumbuhan organik liturgi berdasarkan pemahaman bahwa misa atau ekaristi adalah kurban dan penyembahan.

Liturgi yang berkembang sejak Paus Damasus I sampai sebelum KV II, dipahami sebagai karya tangan Allah sendiri yang memakai para orang kudus sepanjang sejarah untuk mengembangkannya menurut keinginan-Nya, seperti kita baca dalam instruksi-instruksi yang diberikan kepada Musa dalam peristiwa Exodus. Maka, hasrat untuk menolak liturgi antik (Misa Tridentin), atau dalam konteks sekarang, anggapan bahwa misa ritus baru yang selama ini dirayakan merupakan satu-satunya ritus Gereja Latin, atau menganggap bahwa liturgi pasca-Vatikan II sebagai satu-satunya liturgi yang wajib adalah hasrat untuk menolak apa yang telah dilakukan oleh Allah dalam sejarah.

Sejauh liturgi itu merupakan karya Allah, maka liturgi itu sendiri mengandung dan mewujudkan beberapa prinsip spiritual yang penting. Di sini, dengan berkiblat pada uraian Pastor Chad Ripperger, FSSP., saya akan menunjukkan beberapa poin berikut menyangkut spiritualitas liturgi.

1. Kesadaran sebagai orang berdosa

Warta Kristen adalah warta pertobatan. Tema ini hampir kita temukan dalam seluruh halaman Kitab Suci. Maka, salah satu bagian yang langsung kita hadapi saat memulai misa adalah kita dihantar pada “kesadaran sebagai orang berdosa” yang mau menghadap hadirat Allah. Misa ritus baru (TPE 2020) misalnya, memberi 4 pilihan cara.

Dalam rumusan Confiteor (Saya Mengaku), misa ritus baru menghilangkan penyebutan dua kali nama Malaikat Agung St. Mikhael, St. Yohanes Pembaptis, St. Petrus dan Paulus seperti tampak dalam misa ritus lama (misalnya TPE 1962) dan meringkasnya menjadi “… kepada para malaikat dan orang kudus…”. Cara keempat, yakni Asperges Me/Vidi Aquam sangat jarang dipakai, barangkali karena alasan praktis. Karena jarang dipakai dalam perayaan ekaristi, baik itu pada masa biasa atau pun dalam masa Paskah dan dalam perayaan-perayaan besar seperti disarankan, maka saya juga jarang memakai cara ini.

Dalam misa ritus lama, kesadaran sebagai orang berdosa sudah berlangsung di depan altar – altar masa mudanya, tidak seperti ritus baru, di mana ajakan oleh imam untuk mengakui dosa-dosa, diberikan dari atas altar. Confiteor yang harus dilakukan setiap kali misa mau menegaskan bahwa kita semua adalah pendosa, dan imam, kemudian umat harus mengakui dosa mereka bukan hanya di depan Allah, tetapi di depan seluruh surga serta seluruh umat yang hadir.

Dalam ritus lama, imam harus mengakui dosanya sendiri tanpa bersama umat, sebagai tanda bahwa imam perlu menyadari keberdosaan dirinya sendiri. Kemudian, saat ia bergerak ke atas altar, imam yang bertindak in persona Christi, memohonkan pengampunan bagi umat dan sambil menghadap altar ia memohon agar dirinya sendiri diampuni.

Selain itu, kita menemukan penyadaran sebagai orang berdosa dalam rumusan Tuhan Kasihanilah Kami (Kyrie Eleison), dan sebelum injil, imam sekali lagi memohon agar hati dan bibirnya dimurnikan agar dapat mewartakan injil dengan pantas.

Bagi imam sebagai pelayan altar, di samping Confiteor, bagian lain yang penting adalah pada saat doa persiapan persembahan roti. Ritus baru berbunyi: “Terpujilah Engkau Tuhan Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” (TPE 2020). Rumusan di atas tidak menunjukkan secara langsung pernyataan sebagai orang berdosa.

Tetapi dalam ritus lama kita menemukan rumusan doanya demikian (terjemahan dan penekanan oleh saya) : “Terimalah, Bapa yang Kudus, Allah yang Mahakuasa dan Kekal, hosti yang tak bernoda ini, melalui Aku, hamba-Mu yang tak pantas ini, kupersembahkan kepada-Mu, Allahku yang hidup dan benar, untuk menebus dosa-dosaku yang tak terbilang banyaknya, pelanggaran-pelanggaranku, dan segala kelalaianku: atas nama semua yang hadir dan juga untuk semua umat Kristen yang setia, yang masih hidup dan yang telah meninggal, semoga bermanfaat, bagiku dan bagi mereka sebagai sarana keselamatan, menuju hidup yang kekal. Amin.”

Sampai sejauh ini, dari apa yang coba saya tunjukkan di sini, dengan memerlihatkan bagian-bagian penting yang memberi penekanan pada pentingnya kesadaran umat sebagai pendosa, baik itu dari teks misa ritus lama maupun ritus baru, hendak dikatakan bahwa liturgi kita, membantu imam dan umat untuk secara tetap, secara konstan mengingatkan diri sendiri sebagai orang yang berdosa di hadapan Allah yang disembah.

Bagi seorang imam, rumusan itu mengingatkannya bahwa sudah menjadi suatu keharusan mutlak untuk mengakui ketidakpantasannya dan karena itu akan merasa terdorong untuk berjuang bagi kekudusan dirinya. Sebab, para kudus menunjukkan bahwa langkah pertama menuju kekudusan adalah kesadaran sebagai orang berdosa serta kesadaran bahwa bukan atas usahanya sendiri, seseorang bisa mencapai kekudusan.

Namun, apakah kesadaran itu bertumbuh atau tidak dalam diri setiap imam dan umat seluruhnya, hal tersebut sepenuhnya kembali pada pribadi masing-masing. Menyangkut diri imam, terdapat pandangan umum yang tersebar, baik itu di antara para imam maupun umat, terkait prinsip ex opera operato, yang menegaskan bahwa efikasi sakramen, rahmat yang tercurah melalui sakramen yang dirayakan, tidak tergantung pada keadaan rohani sang imam, sejauh tata liturgi itu dilakukan secara benar.

Hal tersebut tidak dapat disangkal. Tetapi setiap imam diwajibkan untuk berjuang menjalani nasihat-nasihat injili sedemikian sehingga ia sendiri mampu menerima buah dari apa yang diajarkan dan dirayakannya, sebagaimana didengar pada saat ditahbiskan: “hayatilah apa yang saudara perbuat, teladanilah apa yang saudara pegang, dan jadikanlah hidup saudara selaras dengan misteri salib Tuhan.” Kesadaran akan keberdosaan adalah keharusan absolut yang dibutuhkan bagi kemajuan rohani seorang pengikut Kristus, dan liturgi membantu untuk hal ini.

Hal yang sama berlaku bagi umat. Umat yang hadir juga dituntut untuk menumbuhkan dalam dirinya kesadaran akan keberdosaan tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mentalitas modern, kesadaran akan keberdosaan diri dierosi secara besar-besaran. Orang merasa tidak perlu menerima sakramen tobat, karena menganggap pergi “mengaku dosa” adalah tindakan membuka aib diri di hadapan orang lain. Maka tidaklah terlalu mengherankan bahwa ada hubungan asimetri antara umat yang tampak tumpah ruah dalam ekaristi dengan sedikitnya umat yang mau datang pada saat ada jadwal penerimaan sakramen pengakuan.

Poin ini sebenarnya tidak hanya terbatas dalam kehidupan rohani seseorang saja, tetapi memiliki implikasi sosial politisnya. Pemikir liturgi seperti Joseph Ratzinger (Benediktus XVI), Joseph Jungmann, Louis Bouyer, Romano Guardini, menunjukkan bahwa budaya memiliki akarnya dalam kehidupan kultus. Kultur sendiri berakar dari kata kultus, yakni penyembahan. Maka kalau kultus atau ritus kita mengalami defisiensi, hal itu dengan sendirinya akan berimplikasi pada masyarakat dan budayanya. Mentalitas modern yang kehilangan cita rasa berdosa, dan kesalahan dimengerti sebagai kekeliruan teknis semata tanpa hubungannya dengan moralitas seseorang sebenarnya membuka jalan lebar menuju kehancuran masyarakat.

: @ Seminari St. Rafael OEpoi Kupang, Senin, 18 Desember 2023 – peringatan diakonat yang kedua.

Akar-akar Krisis Liturgi: 60 thn ‘Sacrosanctum Concilium’ – Bagian II

Klaus Gamber dalam bukunya menunjukkan beberapa akar masalah yang mengakibatkan ‘bencana’ dalam liturgi modern. Menurutnya, asal mula bencana tersebut tidak dapat dikembalikan pada Konsili Vatikan II saja. Konstitusi Sacrosanctum hanyalah suatu tahap interim dari proses yang sudah berlangsung jauh sebelum itu (Gamber, 1993: 9-22). Pertama, kontras dengan liturgi gereja Timur (Ortodoks) yang berkembang dengan sangat baik sampai abad pertengahan, tetapi kemudian tinggal tetap demikian, liturgi Romawi dalam bentuknya yang sederhana dan yang berakar dalam komunitas Kristen Awal, tinggal tetap tidak berubah selama berabad-abad. Liturgi ini mengalami perubahan pada era Paus Damasus I (366-384) dan kemudian oleh Paus Gregorius Agung (590-604), kemudian tinggal tetap demikian selama berabad-abad sampai perubahan liturgi yang dilakukan paska-KV II.

Oleh karena itu, Gamber menyatakan bahwa tidak akurat mengklaim bahwa Misa dari Paus Pius V adalah sesuatu yang baru, yang berbeda dan terputus dengan liturgi sebelumnya. Berbeda dengan perubahan yang kita lihat sekarang, perubahan yang dibuat dalam Misale Romawi lebih dari 1.400 tahun itu tidak terkait dengan ritusnya. Perubahan itu hanya berkaitan dengan penambahan dan pemerkayaan beberapa hari raya baru dan doa-doa (Cf. Metzger, 1997: 128). Menurut Gamber, upaya untuk menambahkan sesuatu yang asing dari tradisi Frankish ke dalam liturgi justru tidak pernah berhasil sepenuhnya dan bahkan menjadi tragedi, dan menjadi salah satu akar utama masalah liturgi saat ini.

Ini berarti, perubahan liturgi dari misa ad orientem kepada misa versus populum adalah sesuatu yang baru sama sekali dalam sejarah liturgi. Bahkan sebagaimana upaya penambahan elemen-elemen Frankish dalam liturgi hanya menghasilkan tragedi, saya melihat bahwa upaya yang kita sebut sebagai inkulturasi liturgi juga memiliki konsekuensi yang sama. Tampaknya, hal ini tidak terlalu kasat mata, namun kalau bercermin dari proses yang ditunjukkan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa liturgi kita saat ini juga sedang dalam proses kemunduran yang sama.

Kedua, akar penting kedua adalah peristiwa skisma besar, yang secara formal terjadi pada tahun 1054. Alienasi antara keduanya, Katolisisme Barat dan Timur, mendorong suatu disintegrasi bertahap dalam elemen penting penyembahan dalam gereja, yakni tentang konsep Kristen Awal tentang cultus liturgis. Menurut konsep ini, liturgi pertama-tama suatu tindakan sakral di hadapan Allah. Dalam ungkapan St. Gregorius Agung, bahwa “pada saat Pengorbanan, dalam respon terhadap aklamasi imam, surga terbuka, paduan suara malaikat menjadi saksi misteri ini, apa yang di atas dan apa yang di bawah menyatu, surga dan bumi disatukan, hal-hal yang kasat mata dan yang tak kasat mata menjadi satu.”

Konsep liturgi kosmik ini, secara berlanjut tampak dalam Gereja Timur dibanding pada Gereja Barat. Dalam Gereja Timur, liturgi tinggal tetap sebagai suatu misteri dramatik, di mana drama dan kenyataan secara unik digabungkan. Aspek dramatik ini hilang pada Gereja Barat. Hugo Ball, seorang dramawan Jerman menulis bahwa “bagi orang Katolik, yang nyata itu bukan drama. Setiap pagi, misa kudus adalah peristiwa biasa yang membebani dan membuat dia seperti terpenjara.” Pernyataannya ini tidak mengherankan bagi saya, karena pada kenyataannya, banyak umat kita, calon imam dan imam yang malas merayakan ekaristi. Romano Guardini menunjukkan bahwa aspek dramatik ini sangat menentukan bagi penghayatan liturgi yang benar.

Ketiga, krisis liturgi saat iniberakar pada periode Gothik, seiring dengan menguatnya kesalehan individual. Pengaruh Martin Luther melalui perubahan liturgi yang dilakukan, dan meningkatnya kesadaran subjektif individual memberi tempat yang lebih dominan bagi hubungan seseorang secara individual dengan Allah dan rahmatnya. Ketika liturgi era Baroq yang memberi tempat lebih dominan bagi imam dalam perayaan ekaristi, muncul model-model devosional dan menandai apa yang disebut sebagai religio moderna, suatu ideal baru kesalehan. Kalau pada masa ini, orang menganggap bahwa semua agama sama, perlu disadari bahwa anggapan itu memiliki sumbernya dalam mentalitas religio moderna ini: agama adalah soal pencarian manusia kepada Allah, tetapi Allah yang mana, jangan diklaim oleh siapa pun.

Kembali pada soal liturgi, konsekuensi dari perkembangan ini adalah jurang yang lebar antara kultus liturgi dengan bentuk kesalehan-kesalehan populer yang ada. Gerakan ini muncul beriringan dengan apa yang kita kenal sebagai era humanisme, yang didasarkan pada konsep yang sama sekali baru tentang kodrat manusia individu. Ada aspek positifnya, namun gerakan ini pelan-pelan mulai menggerus kesatuan organik liturgi yang telah berkembang berabad-abad dan memiliki akarnya dalam komunitas Kristen Awal: aspek penyembahan kepada Allah digerus sampai hampir-hampir tak terlihat. Bahkan perkembangan lagu-lagu yang populer dalam gereja, seperti yang kita alami sekarang seringkali meragukan dari sisi teologi dan artistik.

Saya ingat Bambang Murtianto dalam tulisannya “Lagu Persembahan yang Hilang” dalam Majalah Hidup (9 Oktober 2017) mengungkapkan bahwa aspek Kurban Kristus sebagai inti misa hilang dalam kebanyakan lagu-lagu paska-KV II. Kita lebih banyak menekankan aspek “pujian syukur” manusianya, sambil menyingkirkan secara sadar aspek sentral yang menentukan dalam ekaristi. Hal ini sudah dijelaskan juga oleh Gamber, bahwa liturgi lama seringkali tidak memuaskan bagi umat karena dipandang tidak secara memadai mengungkapkan kebutuhan mereka.

Dengan demikian, liturgi sebagaimana ditekankan oleh Guardini, sebagai “demi Allah” menjadi “liturgi demi manusia.” Jantung dari misteri keselamatan disingkirkan ke balik layar, dan hal-hal yang bersifat peripheral mengambil tempat utama. Bahkan kalau dicermati dengan seksama, rumusan SC, 4 tentang karya keselamatan yang dilaksanakan oleh Kristus pun sebenarnya menempatkan manusia sebagai subjek pembahasan: Kristus dipakai untuk menegaskan posisi manusia, bukan sebaliknya.

Kalau sekarang, kita sering berjumpa dengan komentar umat tertentu yang memiliki sikap antipati terhadap liturgi yang meriah, hal itu tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah yang ada. Semua ini berakar pada era Pencerahan, dan pada masa ini, kalau kita menyadari bahwa sedang terjadi krisis liturgi saat ini, maka kita sebenarnya sedang memasuki suatu era pencerahan yang baru. Gamber menulis bahwa kalau sekarang ada di antara imam-imam, terutama imam-imam muda yang terdidik dalam konteks perubahan liturgi paska-KV II, sering kali tidak berhenti pada apa yang ada. Kita bisa melihat bahwa ada imam yang “menyeleweng” dari ritus berdasarkan “otoritas subjektifnya” (Gamber, 1993: 33).

Lebih lanjut, Gamber menyatakan bahwa perubahan liturgi yang diamanatkan dalam Konstitusi SC, dimaksudkan agar umat dapat terlibat lebih aktif, namun pada kenyataannya, gereja-gereja di Eropa menjadi lebih banyak kosong. Dikatakan bahwa tujuan perubahan ini demi menahan tren-tren negatif, namun yang terjadi sebaliknya, perubahan itu justru memperburuk tren-tren negatif yang terjadi. Krisis yang terjadi memerlihatkan bahwa sering kali dalam misa, kita berpaling kepada manusia dan meninggalkan Allah.

Misalnya, saya pernah diminta untuk merayakan ekaristi di Paroki Tofa, menggantikan imam yang dijadwalkan untuk memimpin ekaristi tapi tidak datang. Saat saya tiba, waktunya sudah lewat kurang lebih 30 menit, dan saya melihat beberapa umat meninggalkan gereja dengan santainya. Benar bahwa imamnya tidak datang, membuat umat menunggu sekian lama, dan seharusnya tidak terjadi. Namun, umat meninggalkan misa yang sebentar lagi akan dimulai, hanya karena imamnya belum datang, sebenarnya mengindikasikan krisis parah yang sedang terjadi dalam gereja.

Rujukan:
1. Bambang Murgianto, “Lagu Persembahan yang Hilang,” Majalah Hidup, 9 Oktober 2017.Akses dari hidupkatolik.com
2. Chad Ripperger, “The Spirituality of the Ancient Liturgy I dan II,” Latin Mass Magazine, (Summer 2001). Akses dari latinmassmagazine.com
3. Josef A. Jungmann, “Constitution on the Sacred Liturgy,” Commentary on the Documents of Vatican II, Vol 1, ed. Herbert Vorgrimler, trans. Lalit Adolphus (New York: Herder and Herder, 1967).
4. Joseph Ratzinger, “Preface,” The Reform of Roman Liturgy, Klaus Gamber, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
5. Joseph Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927-1977, trans. Erasmo Leiva-Merikakis (San Francisco: Ignatius Press, 1998).
6. Joseph Ratzinger, The Feast of Faith, trans. Graham Harrison (San Francisco: Ignatius Press, 1986).
7. Joseph Ratzinger, Theology of the Liturgy, ed. Michael J. Miller (San Francisco: Ignatius Press, 2014).
8. Klaus Gamber, The Reform of Roman Liturgy, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
9. Marcel Metzger, History of the Liturgy, trans. Madeleine Beaumont (Minnesota: The Liturgical Press, 1997).
10. Romano Guardini, The Essential Guardini, intro. Heinz R. Kuehn (Chicago: Liturgy Training Publications, 1997).

Apakah Liturgi Kita Baik-baik Saja?: Setelah 60 Thn ‘Sacrosanctum Concilium’ (1963 – 4 Desember – 2023) – Bagian I

Saya mencermati bahwa cita rasa krisis pada umat Katolik semasa mengenai masalah-masalah dalam liturgi sangat rendah. Kalau pada diri umat cita rasa itu tidak tampak, maka hal itu tidak dapat dilepaskan dari pemahaman imam tentang liturgi serta katekesenya kepada umat. Untuk itu, saya akan memulai tulisan kecil ini dengan pengakuan berikut, setelah saya coba merefleksikan kembali proses yang pernah saya lalui: selama masa pendidikan sebagai calon imam, studi tentang liturgi diberikan dalam bentuk yang sangat kaku dan karena itu, terasa membosankan. Mengapa membosankan? Karena tampaknya liturgi pertama-tama dipahami sebagai studi tentang rubrik-rubrik tanpa pemahaman lebih dalam tentang mengapa rubrik-rubrik itu penting, dan hanya ditempatkan sebagai satu bagian dari komponen studi pastoral secara umum. Aspek dramatik dari liturgi tidak pernah ditunjukkan kepada mahasiswa (saya akan kembali pada aspek ini sebentar)

Selama menjadi mahasiswa tingkat sarjana, mata kuliah yang berhubungan dengan liturgi adalah liturgi dasar, liturgi adaptasi, dan liturgi pastoral. Ketiga mata kuliah ini, kalau saya tidak keliru dalam menyimpulkan, sebenarnya memberi perhatian yang lebih dominan pada soal “kaidah-kaidah praktis” (SC, 3) dengan tendensi rasionalismenya yang amat kental. Hal ini secara tidak langsung membentuk mahasiswa yang belajar untuk secara tidak sadar menumbuhkan di dalam dirinya keyakinan bahwa, apa yang kita ketahui tentang liturgi itu pada akhirnya menyangkut apa yang kita lakukan, bagaimana harus dilakukan, baik oleh imam dan umat; dan bukan tentang apa yang dilakukan pertama dan terutama oleh Allah.

Apalagi karena kami belajar dalam konteks post-konsili dengan ideologi aggiornamentonya, yang tampak melalui pembaharuan liturgi, dan ekaristi dirayakan menurut novus ordo, maka akhirnya orang dibuat untuk melihat bahwa liturgi itu memang tindakan gereja, dalam hal ini imam dan umat. Entah hal ini disadari atau tidak, tampak jelas di sana, tendensi rasionalisme-imanentis dalam studi liturgi yang berpengaruh pada penghayatan liturgi imam dan umat. Romano Guardini (1997) menulis bahwa setiap tipe rasionalisme selalu berbalik melawan liturgi yang otentik, liturgi demi Allah (for the sake of God).

Menguatnya tendensi rasionalisme-imanentistik dalam liturgi tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dokumen SC. Seperti dicatat oleh Josef Jungmann, dokumen tersebut disebut sebagai konstitusi, yakni sebagai suatu hukum permanen, dan tidak sekadar dekrit. Namun, konstitusi ini menyangkut hal-hal disipliner bukan dogmatik. Ini berarti bahwa ia memuat disposisi-disposisi yang berhubungan dengan bidang kehidupan praktis dan bukan tentang ajaran-ajaran dogmatis. Disposisi yang dimaksud ini memang didasarkan pada ajaran gereja, tetapi tidak bersifat menegaskan, hanya ajaran. Dengan kata lain, konstitusi ini lebih mengandung karakter pernyataan-pernyataan (Jungmann, 1967).

Salah satu hasil yang paling konkret dari konstitusi tersebut adalah anggapan bahwa ekaristi versus populum merupakan kenyataan yang secara historis dapat dibenarkan, sambil pada saat yang sama misa ad orientem “diamankan dalam kotak masa lalu”. Maka seperti ditunjukkan oleh Gamber dalam penelitiannya bahwa, ketimbang mendapatkan pembaruan liturgi yang berhasil, kita justru melihat suatu destruksi atas bentuk ekaristi yang secara organik berkembang sepanjang beberapa abad (Klaus Gamber, 1993:9). Dengan bahasa yang berbeda, Ripperger mengungkapkan apa yang terjadi dalam tulisannya bahwa “manusia modern telah kehilangan sikap penanggalan diri terkait liturgi, dan ia secara terus-menerus menundukkan liturgi pada hasratnya” (2001).

Berikut ini, saya akan menunjukkan beberapa fenomena menyangkut krisis dalam liturgi kita. Pertama, liturgi sebagai sumber dan puncak hidup orang Kristen tampaknya tidak lagi menjadi suatu nilai yang menentukan dalam masyarakat modern. Misalnya, kita bisa mencermati bahwa ikut merayakan ekaristi hari minggu adalah salah satu kesibukan di antara sekian banyak deretan kesibukan yang menunggu untuk dilakukan pada hari minggu. Manusia modern menganggap sebagai masalah suatu misa yang berlama-lama. Misa itu adalah soal mulai jam berapa, lalu selesai jam berapa, sehingga bisa beralih pada kesibukan lain. Dengan kata lain, manusia modern juga telah kehilangan cita rasa supernatural dan transenden.

Kedua, kehilangan cita rasa supernatural dan transenden itu sangat dirasakan ketika ekaristi dirayakan di luar gereja. Sudah banyak kali saya merayakan ekaristi, bukan di dalam gereja, tetapi di tempat-tempat tertentu. Misalnya, di rumah orang mati, di tempat syukuran wisuda, dan lain-lain. Di tempat-tempat itu, kita bisa menangkap dengan jelas sikap umat terhadap ekaristi. Ekaristi tidak dipandang sebagai “misteri penyembahan” (Gamber, 1993).

Tidak mengherankan bahwa ketika Uskup menegur umat yang bernyanyi sedemikian, sehingga aspek penyembahan itu hilang sama sekali dalam nyanyian mereka, sebagian kalangan umat malah bereaksi dengan mengatakan bahwa Uskup tidak menghargai umat yang sudah bersusah payah dalam latihan. Kondisi ini sepertinya mengindikasikan bahwa liturgi paska-konsili pada tingkat tertentu berfungsi meningkatkan kesombongan spiritual umat.

Ketiga, saya pernah memersembahkan misa requiem bersama salah satu imam. Sang Imam yang setelah memberkati jenazah dan mengukupi jenazah, lalu menyerahkan stribul kepada salah satu umat, dan yang bersangkutan diberi kesempatan untuk turut mengukupi jenazah tersebut. Tampaknya tindakan tersebut sangat sederhana. Bahkan dalam mentalitas modern dengan konsep tentang kesetaraan, hal itu dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang positif. Tetapi apakah sudah sesuai dengan ketentuan liturgi?

Pernyataan yang pernah ditulis oleh Joseph Ratzinger tampaknya diafirmasi oleh tindakan imam tersebut. Ratzinger pernah menulis bahwa “apa yang terjadi sesudah Konsili adalah sesuatu yang sama sekali berbeda: menggantikan liturgi sebagai buah dari perkembangan, muncullah liturgi yang dibuat-buat. Kita meninggalkan yang organik, proses pertumbuhan yang hidup dan perkembangan sepanjang abad, dan menggantikannya dengan suatu ciptaan, suatu produk banal yang serta-merta di tempat” (Ratzinger, 1993). Liturgi adalah apa yang bisa kita lakukan saat itu juga terdorongan sentimentalitas yang tidak dewasa, yang didasarkan pada pemahaman yang dangkal dan superfisial tentang hakekat liturgi.

Di balik tindakan itu, samar-samar bersembunyi suatu asumsi dan konsepsi yang menyatakan bahwa liturgi ekaristi itu pertama-tama sepenuhnya merupakan tindakan manusia, dan bukan tindakan Allah. Tanpa disadari, improvisasi spontan semacam itu secara langsung melanggar apa yang ditegaskan dalam Konstitusi Sacrosanctum Concilum bahwa “tidak seorang lain pun, meskipun imam boleh menambahkan, meniadakan, atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsanya sendiri” (SC, 22:3).

Diskresi yang hati-hati dan yang sangat diperlukan dibaikan secara total dalam tindakan seperti itu, karena kita merasa senang untuk memegang kendali dalam ritual. Selain itu dengan bertindak demikian, kita menempatkan kebaikan rohani kita bersama umat di bawah keinginan alami kita. Padahal misa adalah tentang Allah, sehingga kita harus bertindak sedemikian sehingga menyerahkan kebaikan rohani kita sepenuhnya pada hak Allah (Ripperger, 2001).

Memang, dalam bukunya Theology of the Liturgy (2014: 166), Ratzinger telah menegaskan bahwa upaya yang dilakukan oleh KV II sebagai proses restorasi tradisi liturgis dalam kemurniannya, justru bergerak menuju arah yang sebaliknya yakni “meluasnya disolusi ritus, yang diambil-alih oleh kreativitas komunitas” yang menghancurkan. Padahal, lanjut Ratzinger, keagungan liturgi justru sebenarnya terletak pada sifat ketidakspontanitasnya (Unbeliebigkeit – unspontaneity). Ketidakspontanitasan ini ditunjukkan juga dengan kurangnya pilihan yang tersedia dalam rubrik karena keyakinan bahwa ritual itu sendiri berasal dari Allah, sebagaimana kita temukan dalam instruksi-instruksi yang diberikan kepada Musa dalam peristiwa paskah (Ripperger, 2001).

Masih menurut penjelasan Ripperger, bagi imam yang menyadari tiadanya spontanitas atau improvisasi mengandung dua tujuan penting. Dengan mengikuti rubrik, ia belajar menyesuaikan dirinya dengan kehendak Allah. Ini membebaskan imam dari kemungkinan diganggu oleh pikiran tentang apa reaksi umat kalau ia mengikuti ritus yang ada. Imam juga tidak perlu mendengar apa kata komite liturgi mengenai apa yang perlu dilakukan. Saya kira inilah salah satu alasan dibalik mengapa Mgr. Petrus Turang biasanya tidak mengizinkan begitu banyaknya bagian komentator dalam perayaan ekaristi.

Yang kedua, hal tersebut mengajar imam tentang penyangkalan-diri. Misa itu bukan tentang imam. Dengan tidak adanya kemungkinan untuk improvisasi spontan dalam misa, membantu imam untuk melupakan dirinya dan segala sesuatu, sehingga ia dapat dengan sempurna masuk ke dalam misteri dan kenyataan kudus yang hadir. Ia bertindak in persona Christi, maka personalitas pribadinya diminimalisir dan ia menjadikan dirinya lebih serupa dengan Kristus.

Selanjutnya, untuk menunjukkan fenomena berikut yang memiliki hubungan dengan fenomena yang telah saya sebut di atas, saya perlu sedikit memutar. Gamber menunjukkan dalam bukunya bahwa tiga puluh tahun post-konsiliar menunjukkan kepada kita bahwa dari hari ke hari, mengapa kita membutuhkan sebuah perubahan: pengosongan misteri, kehilangan cita rasa yang sakral, pelemahaman isi doktrinal, menghasilkan di dalam sebuah liturgi, yang mana terlalu sering, kebosanan coba dihilangkan oleh para medioker, tidak untuk menyebutnya sebagai suatu profanasi yang sesungguhnya.

Apa yang terjadi tiga puluh tahun lalu dalam amatan Gamber, masih bisa kita jumpai saat ini. Sekarang ini, tidak menjadi suatu yang salah dan keliru, bahkan tidak boleh dikritik sebagai kekeliruan juga, ketika seorang karismatik berdiri di depan altar, bernyanyi sambil bergoyang membelakangi tabernakel di belakangnya. Atas nama pujian kepada Tuhan, orang merasa perlu mengabaikan kehadiran riil Yang-Kudus di dalam tabernakel. Fenomena ini memerlihatkan bahwa “komunitas hanya merayakan diri mereka sendiri, suatu aktivitas yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa” (Ratzinger, 1998:149). Dengan begitu, umat yang berdoa tidak lagi “menyadari ledakan dinamisme Trinitarian yang memberi kepada ekaristi dimensi keagungannya” (Ratzinger, 1986: 142).

Kelima, Ripperger menulis bahwa ritus Tridentin punya daya pikat dan magnetik yang kuat, yang menarik orang ke dalam suasana doa, yang menarik seseorang keluar dari dirinya sendiri dan membawa kita kepada Allah. Jika kita tetap terjebak dalam diri kita, dan kita bertindak seolah-olah liturgi itu sepenuhnya tentang kita, maka kita ditakdirkan untuk jatuh dalam kedangkalan dan superfisialitas (Ripperger, 2001). Apakah ritus novus ordo, misa versus populum saat ini cukup memiliki daya magnetik seperti halnya ritus Tridentin? Kita perlu menjawab pertanyaan ini dengan hati-hati. Tetapi satu hal tidak dapat disangkal bahwa gejala kedangkalan dan superfisialitas itu tampaknya sangat menguat dan diperkuat saat ini dengan bantuan teknologi media sosial.

Coba kita perhatikan, berapa banyak orang yang benar-benar memersiapkan diri untuk turut mengambil bagian secara aktif dalam ekaristi pada momen misa-misa besar. Saat perarakan masuk misalnya, banyak orang begitu terjebak dalam hasrat untuk merekam menggunakan gawainya, dan lupa untuk memusatkan perhatian pada perayaan yang sedang dimulai. Partisipasi yang sepenuhnya sadar dan aktif, yang ditekankan oleh konstitusi (SC, 14), sebenarnya pertama-tama bukan partisipasi secara fisik, tetapi terutama partisipasi spiritual, partisipas secara mental: ia boleh berdoa secara pribadi, tetapi secara mental dan emosional, ia harus menyatukan dirinya dalam doa-doa imam. Partisipasi yang selama ini terjadi justru menunjukkan gejala desakralisasi ekaristi.

Baca bagian kedua di sini https://pikiranlentur.wordpress.com/2023/12/04/akar-akar-krisis-liturgi-60-thn-sacrosanctum-concilium-bagian-ii/

Rujukan:
1. Bambang Murgianto, “Lagu Persembahan yang Hilang,” Majalah Hidup, 9 Oktober 2017.Akses dari hidupkatolik.com
2. Chad Ripperger, “The Spirituality of the Ancient Liturgy I dan II,” Latin Mass Magazine, (Summer 2001). Akses dari latinmassmagazine.com
3. Josef A. Jungmann, “Constitution on the Sacred Liturgy,” Commentary on the Documents of Vatican II, Vol 1, ed. Herbert Vorgrimler, trans. Lalit Adolphus (New York: Herder and Herder, 1967).
4. Joseph Ratzinger, “Preface,” The Reform of Roman Liturgy, Klaus Gamber, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
5. Joseph Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927-1977, trans. Erasmo Leiva-Merikakis (San Francisco: Ignatius Press, 1998).
6. Joseph Ratzinger, The Feast of Faith, trans. Graham Harrison (San Francisco: Ignatius Press, 1986).
7. Joseph Ratzinger, Theology of the Liturgy, ed. Michael J. Miller (San Francisco: Ignatius Press, 2014).
8. Klaus Gamber, The Reform of Roman Liturgy, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
9. Marcel Metzger, History of the Liturgy, trans. Madeleine Beaumont (Minnesota: The Liturgical Press, 1997).
10. Romano Guardini, The Essential Guardini, intro. Heinz R. Kuehn (Chicago: Liturgy Training Publications, 1997).