3. Ritual Misa menangkal Ketamakan Spiritual
Pada bagian pertama dari spiritualitas liturgi, saya mengulas aspek kesadaran kita umat sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Lalu pada bagian lanjutannya, saya membahas mengenai aspek penyangkalan diri, kemampuan melepaskan diri yang terkandung dalam liturgi kita, yakni pada ritus yang kita rayakan. Maka, pada bagian ketiga ini, saya mencoba menampilkan aspek lain yang terkandung dalam liturgi kita. Ritus yang kita rayakan, ritus yang ditentukan oleh Allah melalui Tradisi Gereja Universal mampu menangkal ketamakan spiritual dalam diri kita.
Salah satu credo modernitas adalah bahwa manusia mampu memilih sendiri nilai yang diinginkannya, dan sebagai konsekuensinya, manusia modern berhak memilih dirinya sendiri. Salah satu manifestasi dari hasrat untuk memilih bagi diri sendiri itu tampak dalam kerinduan posesif dan kompulsif akan sesuatu yang baru dan menarik. Kerinduan ini memberi kepada manusia modern satu ciri khasnya: menjadi modern berarti berbeda dengan apa yang sudah ada, berbeda dengan masa lalu, berbeda dengan apa yang sudah dianggap biasa. Mentalitas ini meresap masuk ke dalam liturgi dan pemahaman atasnya.
Seperti sudah sempat disinggung pada bagian sebelumnya, mentalitas modern yang kompulsif dan obsesif akan kebaruan membuat manusia modern tidak menyukai pengulangan. Barangkali kita pernah mendengar keluhan seperti: “ini lagu yang ulang-ulang saja,” “omong yang sama dari tahun ke tahun,” dan lain-lain lagi. Manusia modern membenci pengulangan. Di balik keluhan seperti ini, kita bisa mencium sebentuk pergeseran di dalam ekaristi: hal-hal yang benar, baik, dan indah yang menopang kontemplasi mengalami reduksifasi menjadi sekadar nilai yang didasarkan pada kegunaan. Hal ini kontras dengan liturgi gereja yang menggandeng semuanya ke dalam keindahan (seperti tampak dalam lukisan di Kapel Sistine) tanpa mereduksi kegunaan dari nilai-nilai formal yang ada.
Tendensi kebaruan ini mendapat topangannya yang kokoh dari pasar. Sebagai akibatnya, kita bisa melihat bahwa seringkali tindakan-tindakan liturgis yang spesifik seperti syukuran misalnya menjadi semacam ‘mimikri’ dari pertukarang di pasar. Maka, tidaklah mengherankan bahwa Vincent J. Miller menulis dalam Consuming Religion (2004), bahwa dorongan akan kebaruan menghasilkan suatu liturgi yang baru sama sekali seperti tampak dalam misa ritus baru. Kebaruan ini sedikit banyak dimaksudkan untuk memuaskan hasrat akan kebaruan, namun dalam budaya konsumtif seperti sekarang ini, misa ritus baru tetap dirasakan sebagai membosankan dan terlalu banyak pengulangannya.
Kebaruan menghasilkan ketamakan rohani. Yang dimaksud dengan ketamakan rohani adalah cacat rohani yang membuat seseorang bergembira dan memusatkan perhatiannya hanya pada hiburan jasmani dibalik hal-hal rohani yang diberikan oleh Tuhan, namun tidak menggunakan hiburan rohani itu sebagai sarana untuk lebih menyesuaikan diri dengan kehendak Tuhan, yakni bertumbuh dalam kekudusan: hendaklah engkau sempurna seperti Bapa di surga adalah sempurna.
Ketamakan spiritual terjadi ketika orang melakukan hal-hal spiritual atau keagamaan karena adanya penghiburan atau kesenangan yang diperoleh dari tindakan-tindakan itu, orang merayakan hal-hal spiritual atau keagamaan demi mendapatkan kepuasan sosial, pengakuan sosial bahkan kedudukan sosialnya diafirmasi. Secara sosial misanya, banyak keluarga berjuang supaya anaknya bisa menjadi imam atau biarawan-biarawan karena hal itu bisa meningkatkan status sosial di tengah masyarakat. Berhasil dalam lingkup keagamaan adalah hal lain, sedangkan semakin beriman adalah soal lain. Setelah menerima tahbisan imam, kepada keluarga saya sendiri, saya mengatakan bahwa dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa keluarga kita juga akan baik-baik saja. Dengan menjadi imam, tidak berarti bahwa secara rohani keluarga kita menjadi lebih baik dari orang lain. Tidak. Bisa terjadi, malah meningkatkan kesombongan spiritual, karena merasa bahwa salah satu orang dalam keluarganya telah menjadi imam.
Contoh lain misalnya, kita mendapati bahwa permintaan misa syukur atas keberhasilan tertentu lebih banyak dari jumlah orang yang datang meminta Sakramen Pengakuan. Umat berjubel dalam misa hari minggu tetapi sedikit sekali orang yang datang saat ada jadwal penerimaan Sakramen Pengakuan. Dalam hal ketamakan spiritual ini, Tuhan tidak menjadi tujuan akhir dari tindakan-tindakan keagamaan atau spiritual yang dilakukan. Ini juga menjelaskan mengapa misalnya, orang merayakan natal bahkan sebelum natal tiba atau masih tetap merayakan natal meskipun secara liturgis bukan saatnya lagi. Kita memakai hal-hal spiritual bukan demi kemajuan rohani kita, tetapi demi memuaskan hasrat atau selera-selera sosial kita.
Kebaruan melahirkan ketamakan spiritual karena umat cenderung untuk berpikir bahwa apa yang baru, atau hal baru selalu lebih baik, sehingga setiap hal baru yang didapat memberi kesenangan baru. Di sini tampak jelas bahwa hal-hal baru dapat dengan mudah berubah menjadi hiburan bagi orang. Namun bahayanya adalah hal-hal baru mendorong seseorang untuk hanya menaruh perhatian pada hal-hal baru dan berhenti memandang Tuhan. Orang terpaku pada hal-hal baru, dan lupa untuk menaruh perhatian pada pertumbuhan spiritual. Dalam hal ini, kita mengingat gugatan Tuhan berikut: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu” (Am 5:21). Para santu dan santa penulis spiritual dalam tulisan-tulisan mereka telah mengingatkan betapa berbahayanya ketamakan spiritual bagi hidup rohani kita.
Liturgi kita, terlebih dalam misa ritus lama menghancurkan ketamakan spiritual pada tiga level berbeda. Pertama, melalui keheningan. Keheningan menangkal dan menghilangkan kecenderungan kita untuk berbicara dalam ekaristi. Dalam catatan mengenai persiapan seperti terdapat dalam TPE 2020, di sana tertulis: “menjelang perayaan Ekaristi seyogyanya diadakan persiapan dengan menciptakan suasana yang khidmat, baik oleh umat maupun oleh imam dan para pelayan.” Pernyataan mengenai “suasana yang khidmat” sebenarnya merujuk pada keheningan yang mendahului perayaan ekaristi. Tetapi, seperti yang sudah sering kita alami bersama, lebih banyak keriuhan yang ada ketimbang keheningan, baik itu di dalam gereja maupun di ruang sakristi menjelang ekaristi. Memang kita perlu menyadari hal ini secara pribadi dan mengupayakannya secara sadar.
Kedua, pengulangan dalam perayaan ekaristi. Pengulangan memastikan bahwa selera kita yang selalu menginginkan hal baru tidak pernah terpuaskan. Pengulangan dalam kebaikan spiritual merupakan sesuatu yang dihargai pada tingkat intelektual, dan bukan pada tingkat selera. Selera kita dapat menjadi bosan saat berhadapan dengan sesuatu yang sama berulang-ulang. Misalnya, ingin makan makanan yang enak sekali pun seperti daging, kita akan menjadi bosan pada saat kita berhadapan dengan daging setiap saat. Tetapi secara intelektual, kita mampu untuk melihat nilai dari sesuatu setiap kali kita menjumpai atau berhadapan dengan hal tersebut. Pengulangan pada tingkat intelektual menghantar orang pada kedalaman. Itu sebabnya, seperti sudah disinggung sebelumnya, St. Ignasius Loyola menulis buku spiritualnya dengan judul “Latihan Rohani.” Pengulangan pada level spiritual adalah suatu latihan yang berarti bahwa ia membutuhkan pengulangan berkali-kali.
Yang ketiga, kepuasan tertentu datang dari kontrol atau penguasaan kita atas sesuatu. Inilah alasannya mengapa ritus kita. Inilah alasan mengapa ritual kita perlu ditetapkan dan ditentukan oleh Gereja dan bukan oleh kita sendiri. Paus Pius IX saat diminta untuk menambahkan ke dalam Kanon Roma nama St. Joseph (ditambahkan kemudian oleh Paus Yohanes XXIII), ia menjawab bahwa “Ia tidak dapat melakukannya. Ia hanya seorang Paus.” Pendirian Pius IX hendak menunjukkan bahwa ritual yang berasal dari Tradisi pertama-tama bukan karya manusia, tetapi karya Allah. Sejauh ritual itu ditentukan oleh pilihan-pilihan kita dan bukan menurut hukum universal Gereja, kita mengambil kontrol atas liturgi. Dengan begitu kita menundukkan kebaikan-kebaikan spiritual kita pada selera kita. Kontrol atas kebaikan spiritual ini dapat melebar pada aspek lain lagi ketika imam atau umat merasa bahwa kebaikan spiritualnya ditentukan pula oleh penyesuaian kita dengan kemajuan teknologi.
Secara alamiah, setiap orang berbeda baik tingkat intelektualitas, sensitivitas maupun secara fisikal dan material. Maka, ketika ritual menjadi produk individu tertentu, atau segelintir orang, ritual itu kehilangan daya tarik spiritualnya di mata orang lain, yang berbeda tingkatan intelektual, sensitivitas maupun spiritualnya. Dengan ritus yang sudah ditentukan Gereja Universal, seseorang dilindungi dari kemungkinan pemaksaan spiritual oleh orang lain atau oleh imam sendiri. Hal yang sama berlaku pada musik liturgi juga. Musik Gregorian sebenarnya tidak dimaksudkan untuk menarik bagi setiap orang pada level emosi dan seleranya.
Sebaliknya, keindahan nyanyian Gregorian memiliki daya tariknya pada tingkat kecerdasan dan kemauan. Maka hal ini, secara alami dapat mendorong kemauan doa, yang diartikan sebagai pengangkatan pikiran dan hati kepada Tuhan. Nyanyian Gregorian secara alamiah menarik orang ke dalam kontemplasi ilahi dan misteri dari ritual yang dirayakan. Ini jauh berbeda dengan musik-musik inkulturatif yang secara intelektual hanya menyentuh sebagian orang. Ini juga terjadi dengan nyanyian Mazmur Tanggapan edisi terbaru, di mana kita merasakan sejenis kedangkalan saat dinyanyikan dibandingkan dengan nyanyian Gregorian.
Hal lain di mana liturgi juga mengajar kita tentang penyangkalan diri, mematahkan ketamakan spiritual melalui bahasa. Dari pengalaman saya, Bahasa Latin membatasi kita untuk tidak terlalu banyak melakukan improvisasi bahasa, atau menambah-nambah kata-kata yang menarik dari segi selera. Dengan kata lain, bahasa Latin ketika digunakan menghalangi kecenderungan imam untuk melalukan tindakan-tindakan ad lib (tambahan doa berdasarkan ungkapan-ungkapan spontan imam demi menyenangkan selera pendengarnya), bahkan menghalangi imam memaksakan disposisi pribadinya terhadap mereka yang menghadiri misa, atau bahkan berusaha untuk menyenangkan peserta misa.