Akar-akar Krisis Liturgi: 60 thn ‘Sacrosanctum Concilium’ – Bagian II

Klaus Gamber dalam bukunya menunjukkan beberapa akar masalah yang mengakibatkan ‘bencana’ dalam liturgi modern. Menurutnya, asal mula bencana tersebut tidak dapat dikembalikan pada Konsili Vatikan II saja. Konstitusi Sacrosanctum hanyalah suatu tahap interim dari proses yang sudah berlangsung jauh sebelum itu (Gamber, 1993: 9-22). Pertama, kontras dengan liturgi gereja Timur (Ortodoks) yang berkembang dengan sangat baik sampai abad pertengahan, tetapi kemudian tinggal tetap demikian, liturgi Romawi dalam bentuknya yang sederhana dan yang berakar dalam komunitas Kristen Awal, tinggal tetap tidak berubah selama berabad-abad. Liturgi ini mengalami perubahan pada era Paus Damasus I (366-384) dan kemudian oleh Paus Gregorius Agung (590-604), kemudian tinggal tetap demikian selama berabad-abad sampai perubahan liturgi yang dilakukan paska-KV II.

Oleh karena itu, Gamber menyatakan bahwa tidak akurat mengklaim bahwa Misa dari Paus Pius V adalah sesuatu yang baru, yang berbeda dan terputus dengan liturgi sebelumnya. Berbeda dengan perubahan yang kita lihat sekarang, perubahan yang dibuat dalam Misale Romawi lebih dari 1.400 tahun itu tidak terkait dengan ritusnya. Perubahan itu hanya berkaitan dengan penambahan dan pemerkayaan beberapa hari raya baru dan doa-doa (Cf. Metzger, 1997: 128). Menurut Gamber, upaya untuk menambahkan sesuatu yang asing dari tradisi Frankish ke dalam liturgi justru tidak pernah berhasil sepenuhnya dan bahkan menjadi tragedi, dan menjadi salah satu akar utama masalah liturgi saat ini.

Ini berarti, perubahan liturgi dari misa ad orientem kepada misa versus populum adalah sesuatu yang baru sama sekali dalam sejarah liturgi. Bahkan sebagaimana upaya penambahan elemen-elemen Frankish dalam liturgi hanya menghasilkan tragedi, saya melihat bahwa upaya yang kita sebut sebagai inkulturasi liturgi juga memiliki konsekuensi yang sama. Tampaknya, hal ini tidak terlalu kasat mata, namun kalau bercermin dari proses yang ditunjukkan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa liturgi kita saat ini juga sedang dalam proses kemunduran yang sama.

Kedua, akar penting kedua adalah peristiwa skisma besar, yang secara formal terjadi pada tahun 1054. Alienasi antara keduanya, Katolisisme Barat dan Timur, mendorong suatu disintegrasi bertahap dalam elemen penting penyembahan dalam gereja, yakni tentang konsep Kristen Awal tentang cultus liturgis. Menurut konsep ini, liturgi pertama-tama suatu tindakan sakral di hadapan Allah. Dalam ungkapan St. Gregorius Agung, bahwa “pada saat Pengorbanan, dalam respon terhadap aklamasi imam, surga terbuka, paduan suara malaikat menjadi saksi misteri ini, apa yang di atas dan apa yang di bawah menyatu, surga dan bumi disatukan, hal-hal yang kasat mata dan yang tak kasat mata menjadi satu.”

Konsep liturgi kosmik ini, secara berlanjut tampak dalam Gereja Timur dibanding pada Gereja Barat. Dalam Gereja Timur, liturgi tinggal tetap sebagai suatu misteri dramatik, di mana drama dan kenyataan secara unik digabungkan. Aspek dramatik ini hilang pada Gereja Barat. Hugo Ball, seorang dramawan Jerman menulis bahwa “bagi orang Katolik, yang nyata itu bukan drama. Setiap pagi, misa kudus adalah peristiwa biasa yang membebani dan membuat dia seperti terpenjara.” Pernyataannya ini tidak mengherankan bagi saya, karena pada kenyataannya, banyak umat kita, calon imam dan imam yang malas merayakan ekaristi. Romano Guardini menunjukkan bahwa aspek dramatik ini sangat menentukan bagi penghayatan liturgi yang benar.

Ketiga, krisis liturgi saat iniberakar pada periode Gothik, seiring dengan menguatnya kesalehan individual. Pengaruh Martin Luther melalui perubahan liturgi yang dilakukan, dan meningkatnya kesadaran subjektif individual memberi tempat yang lebih dominan bagi hubungan seseorang secara individual dengan Allah dan rahmatnya. Ketika liturgi era Baroq yang memberi tempat lebih dominan bagi imam dalam perayaan ekaristi, muncul model-model devosional dan menandai apa yang disebut sebagai religio moderna, suatu ideal baru kesalehan. Kalau pada masa ini, orang menganggap bahwa semua agama sama, perlu disadari bahwa anggapan itu memiliki sumbernya dalam mentalitas religio moderna ini: agama adalah soal pencarian manusia kepada Allah, tetapi Allah yang mana, jangan diklaim oleh siapa pun.

Kembali pada soal liturgi, konsekuensi dari perkembangan ini adalah jurang yang lebar antara kultus liturgi dengan bentuk kesalehan-kesalehan populer yang ada. Gerakan ini muncul beriringan dengan apa yang kita kenal sebagai era humanisme, yang didasarkan pada konsep yang sama sekali baru tentang kodrat manusia individu. Ada aspek positifnya, namun gerakan ini pelan-pelan mulai menggerus kesatuan organik liturgi yang telah berkembang berabad-abad dan memiliki akarnya dalam komunitas Kristen Awal: aspek penyembahan kepada Allah digerus sampai hampir-hampir tak terlihat. Bahkan perkembangan lagu-lagu yang populer dalam gereja, seperti yang kita alami sekarang seringkali meragukan dari sisi teologi dan artistik.

Saya ingat Bambang Murtianto dalam tulisannya “Lagu Persembahan yang Hilang” dalam Majalah Hidup (9 Oktober 2017) mengungkapkan bahwa aspek Kurban Kristus sebagai inti misa hilang dalam kebanyakan lagu-lagu paska-KV II. Kita lebih banyak menekankan aspek “pujian syukur” manusianya, sambil menyingkirkan secara sadar aspek sentral yang menentukan dalam ekaristi. Hal ini sudah dijelaskan juga oleh Gamber, bahwa liturgi lama seringkali tidak memuaskan bagi umat karena dipandang tidak secara memadai mengungkapkan kebutuhan mereka.

Dengan demikian, liturgi sebagaimana ditekankan oleh Guardini, sebagai “demi Allah” menjadi “liturgi demi manusia.” Jantung dari misteri keselamatan disingkirkan ke balik layar, dan hal-hal yang bersifat peripheral mengambil tempat utama. Bahkan kalau dicermati dengan seksama, rumusan SC, 4 tentang karya keselamatan yang dilaksanakan oleh Kristus pun sebenarnya menempatkan manusia sebagai subjek pembahasan: Kristus dipakai untuk menegaskan posisi manusia, bukan sebaliknya.

Kalau sekarang, kita sering berjumpa dengan komentar umat tertentu yang memiliki sikap antipati terhadap liturgi yang meriah, hal itu tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah yang ada. Semua ini berakar pada era Pencerahan, dan pada masa ini, kalau kita menyadari bahwa sedang terjadi krisis liturgi saat ini, maka kita sebenarnya sedang memasuki suatu era pencerahan yang baru. Gamber menulis bahwa kalau sekarang ada di antara imam-imam, terutama imam-imam muda yang terdidik dalam konteks perubahan liturgi paska-KV II, sering kali tidak berhenti pada apa yang ada. Kita bisa melihat bahwa ada imam yang “menyeleweng” dari ritus berdasarkan “otoritas subjektifnya” (Gamber, 1993: 33).

Lebih lanjut, Gamber menyatakan bahwa perubahan liturgi yang diamanatkan dalam Konstitusi SC, dimaksudkan agar umat dapat terlibat lebih aktif, namun pada kenyataannya, gereja-gereja di Eropa menjadi lebih banyak kosong. Dikatakan bahwa tujuan perubahan ini demi menahan tren-tren negatif, namun yang terjadi sebaliknya, perubahan itu justru memperburuk tren-tren negatif yang terjadi. Krisis yang terjadi memerlihatkan bahwa sering kali dalam misa, kita berpaling kepada manusia dan meninggalkan Allah.

Misalnya, saya pernah diminta untuk merayakan ekaristi di Paroki Tofa, menggantikan imam yang dijadwalkan untuk memimpin ekaristi tapi tidak datang. Saat saya tiba, waktunya sudah lewat kurang lebih 30 menit, dan saya melihat beberapa umat meninggalkan gereja dengan santainya. Benar bahwa imamnya tidak datang, membuat umat menunggu sekian lama, dan seharusnya tidak terjadi. Namun, umat meninggalkan misa yang sebentar lagi akan dimulai, hanya karena imamnya belum datang, sebenarnya mengindikasikan krisis parah yang sedang terjadi dalam gereja.

Rujukan:
1. Bambang Murgianto, “Lagu Persembahan yang Hilang,” Majalah Hidup, 9 Oktober 2017.Akses dari hidupkatolik.com
2. Chad Ripperger, “The Spirituality of the Ancient Liturgy I dan II,” Latin Mass Magazine, (Summer 2001). Akses dari latinmassmagazine.com
3. Josef A. Jungmann, “Constitution on the Sacred Liturgy,” Commentary on the Documents of Vatican II, Vol 1, ed. Herbert Vorgrimler, trans. Lalit Adolphus (New York: Herder and Herder, 1967).
4. Joseph Ratzinger, “Preface,” The Reform of Roman Liturgy, Klaus Gamber, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
5. Joseph Ratzinger, Milestones: Memoirs 1927-1977, trans. Erasmo Leiva-Merikakis (San Francisco: Ignatius Press, 1998).
6. Joseph Ratzinger, The Feast of Faith, trans. Graham Harrison (San Francisco: Ignatius Press, 1986).
7. Joseph Ratzinger, Theology of the Liturgy, ed. Michael J. Miller (San Francisco: Ignatius Press, 2014).
8. Klaus Gamber, The Reform of Roman Liturgy, trans. Klaus D. Grimm (California: Una Voce Press, 1993).
9. Marcel Metzger, History of the Liturgy, trans. Madeleine Beaumont (Minnesota: The Liturgical Press, 1997).
10. Romano Guardini, The Essential Guardini, intro. Heinz R. Kuehn (Chicago: Liturgy Training Publications, 1997).

2 thoughts on “Akar-akar Krisis Liturgi: 60 thn ‘Sacrosanctum Concilium’ – Bagian II

  1. Terima kasih untk tulisan ini… Semoga ada kegiatan semacam sharing atau diskusi tentang bagaimana kami umat memahami liturgi dan mengambil peran secara benar dalam setiap liturgi…

    Like

  2. 1. Terima kasih Pak sudah berkenan berkunjung ke sini 🙏

    2. Sebenarnya bulan Mei, selain sebagai bulan Maria, juga merupakan bulan liturgi. Maka, momen doa rosario di KUB dapat dilanjutkan dgn katekese singkat mengenai liturgi

    Like

Leave a comment