Teologi biblis dari bayi Yesus yang dibaringkan di dalam palungan adalah “[l]embu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umatKu tidak memahaminya” (Yes 1:3). Ayat ini menegaskan bahwa inkarnasi Putera Allah, atau metamorfosis dalam istilah yang saya pakai di sini, menandai tiga level kehadiran dari Yang-Ilahi. Dari status eksistensinya sebagai ‘Yang-Tak-Berhingga’ (Infinitude, Yang-Ilahi) ia menjadi ‘Yang-Berhingga’ (Finitude, Yang-Insani), lalu menjadi makanan. Artinya, dibaringkan di dalam palungan pada saat kelahiranNya – untuk memakai kosakata semiotika – merupakan penanda (signifier) dari apa yang akan terjadi nanti: menjadi makanan sebagai petanda (signified). Natal sudah merujuk kepada Paskah. Apa yang terjadi saat ini mengantisipasi apa yang akan terjadi, bahwa ia yang menunjukkan dirinya sendiri dari dirinya sendiri, berawal dari dirinya sendiri.
Sabda yang tenang menyendiri
Dalam ruangan paling sepi di hati Bapa
Akhirnya merelakan dirinya jatuh
Berkeping-keping sebagai roti tak beragi
(Sajak ‘Cum verbum panis?’)[1]
MetamorfosisNya, tidak berhenti hanya pada kelahirannya sebagai manusia, tetapi dilampaui. Ia menjadi makanan. Dalam palungan memastikan bahwa tanda solidaritas Tuhan sebagai Yang-Tak-Berhingga dengan manusia sebagai yang-berhingga, mengambil bentuk yang paling eksistensial bagi manusia, yakni menjadi makanan. Ketimbang menghukum manusia karena dosa-dosanya, Tuhan memilih menjadi manusia, lalu menjadi makanan. Dalam konteks deifikasi, makanan ini tidak hanya melepaskan manusia dari laparnya, tetapi memurnikannya, agar dapat mengambil bagian dalam kehidupan yang-ilahi. Sedulius menulis dalam nyanyian paskahnya demikian:[2]
Engkau membangkitkan manusia yang mati setelah memakan buah terlarang
Dengan memberinya santapan yang lebih baik; dengan meminum
Darah kudus, engkau menyembuhkan racun sang ular
(The Paschal Song, Liber Primus, 70-73)
Pada larik-larik ini, kita membaca kalau Sedulius menarik alusinya pada perayaan Ekaristi. Dan apa yang kita terima dalam ekaristi sudah dinyatakan jauh sebelumnya, baik dalam peristiwa pemberian manna bagi Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun, tetapi terutama ketika Israel sudah menjadi bangsa yang menetap. Hemat saya, dalam konteks metamorfosis yang-ilahi, yang menentukan dari peristiwa lahir dan dibaringkan di palungan adalah bahwa pemberian itu melampaui ekonomi-pemberian dalam relasi antarmanusia: seorang yang menerima suatu pemberian selalu mengetahui siapa pemberinya. Menyangkut pemberian dalam relasi antarmanusia, Derrida telah menegaskan bahwa tidak ada pemberian murni dalam relasi pemberian antarmanusia, karena setiap pemberian selalu merupakan upaya membeli atau membayar masa depan bagi diri sendiri. Memberi sesuatu kepada seseorang tidak lain adalah membeli masa depan. Derrida menulis demikian:
Pemberian (hadiah – the gift) bukanlah sebuah pemberian, pemberian hanya diberi sejauh ia memberi waktu. Perbedaan antara sebuah hadiah dengan setiap bentuk operasi pertukaran yang murni dan sederhana adalah bahwa pemberian itu memberi waktu. Di mana terdapat pemberian, di sana ada waktu. Apa yang diberikan, pemberian (hadiah), adalah waktu, pemberian waktu ini tidak lain merupakan tuntutan waktu. Di sana harus ada waktu, pada akhirnya harus bertahan, ada penantian tanpa pelupaan (l’attente – sans oubli). … Pemberian (hadiah) yang diberikan, menuntut, dan membutuhkan waktu.[3]
Contoh sederhana atas pernyataan Derrida bisa ditemukan dalam masyarakat kita, terkait urusan mahar atau belis dalam perkawinan: semacam terdapat lingkaran bantuan. Sering karena lingkaran bantuan ini, kita tahu bahwa dapat terjadi sebuah keluarga dijauhi, dibenci karena tidak turut mengambil bagian dalam pemberian itu. “Nanti sampe lu pung urusan, jang harap ko beta bantu,” kira-kira begitu kalau orang Kupang mengumpat temannya yang tidak membantu dia dalam urusan keluarga yang penting. Yang mau ditekankan oleh Derrida adalah bahwa kita butuh mengenal siapa yang pernah membantu kita, bukan karena kita ingin mengetahuinya, tetapi karena kita telah terjebak dalam lingkaran bantuan tersebut, sehingga kita merasa perlu mengetahui siapa yang pernah membantu kita, supaya kemudian kita pun bisa membantu dia ketika sedang dalam kesulitan.
Namun, kutipan dari Yesaya menunjukkan, sebagaimana ditunjukkan oleh Jean-Luc Marion, bahwa logika ekonomi-pemberian dari Allah melampaui logika ekonomi-pemberian manusia: yang memberi tidak dikenal. Memang ayat itu merujuk pada ketegaran dan kekerasan hati orang Israel, tetapi secara fenomenologis, kita bisa melihat bahwa memang pemberian dari Allah lebih sering tidak disadari sebagai pemberian dari Allah. Faktanya bahwa pada tingkatan yang paling subtil dari pemberian Allah kepada manusia, seorang penerima tidak tahu dan bahkan merasa tidak perlu tahu apa hadiah yang diterimanya, juga terutama karena hadiah dari Allah selalu melampaui semua bentuk kesadaran bahwa yang ia terima adalah hadiah. Alasan lainnya, karena kita selalu sudah terjebak dalam suatu lingkaran pemberian yang semata-mata bersifat material dan kasat mata. Memang kalau diperhatikan secara sambil lalu, logika dalam ekonomi-pemberian dari Allah sama dengan logika manusia, tetapi di sisi lain, melampauinya: “jalan pikiranmu bukanlah jalan pikiranKu” (Cf. Yes 55:8).
Lagi, yang lebih menentukan adalah bahwa ekonomi-pemberian dari Allah merupakan pemberian yang melampaui logika hukuman. Rahmat sebagai pemberian yang gratis (dari kata gratia) menghancurkan sekaligus melampaui logika pertukaran antarmanusia. Sedulius menulis dalam himnenya demikian:
Karunia terbesar Allah telah dinyanyikan para nabi sejak dahulu kala:
Karunia terbesar Allah terpenuhi dalam diri Kristus
Kelaliman dan kemarahan adalah beban yang dipaksakan oleh perintah hukum:
Beban berat perintah dihapus oleh rahmat.
Tinimbang hukuman, Allah sendiri membawa karunia bagi hamba-hambaNya: Bagi hamba-hambaNya, Allah sendiri menanggung hukuman
(Hymne I, 49-52; 63-64)
Gereja mengakui secara abadi bahwa oleh inkarnasiNya, Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia dalam pribadi ilahi. Ini berarti, lewat inkarnasi, kemanusiaan yang-berhingga itu, menjadi situs dari misteri inkarnasi Allah. Sehubungan dengan itu, bukan karena kesalahan manusia sehingga kondisis manusia tersedia bagi manifestasi dari Yang-Tak-Berhingga, tetapi semata-mata karena Allah sendiri memilih untuk melakukannya. Maka, dalam peristiwa kelahiran itu, tubuh ibarat tabut bagi hukum Allah sebagai makanan (Yeh 3:1-3), sedangkan palungan tempat dibaringkan itu menjadi bahtera bagi yang-tak-berhingga sekaligus yang-berhingga.
Sampai di sini, saya ingin menunjukkan bahwa metamorfosis Allah sebagai Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga, lalu menjadi makanan menunjukkan bahwa manusia tidak hanya diselamatkan dengan sabda, tetapi dengan tubuhnya. Memang, oleh Sedulius, kita menjadi sadar bahwa metamorfosis dari Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga nampak dalam tiga bentuk kehadiran Kristus dalam Gereja. Sedulius menulis bahwa:
Sejak saat itu, Kristus memberi karunia kudusNya dalam tiga bentuk:
Kristus sebagai roti; Kristus sebagai karang; dan Kristus sebagai air.
(The Paschal Song, Liber Primus, 158-159)
Namun, dengan menjadi makanan, Kristus mengambil bentuk yang paling eksistensial dari manusia. Dengan menjadi makanan, ciri tak-nampak dari Yang-Tak-Berhingga, yakni transendensinya tetap terjaga: Ia hadir dalam diri kita, tanpa kelihatan. Jean-Luc Marion menulis bahwa “sebuah fenomena hanya menunjukkan dirinya sejauh, pertama-tama kalau ia memberikan dirinya…. [k]ebalikannya tidak sama: semua yang memberikan dirinya tidak secara niscaya menunjukkan dirinya – pemberian itu tidak selalu difenomenakan.”[4] Membaca metamorfosis Kristus dalam alur berpikir Marion berarti bahwa dalam inkarnasi, Kristus yang menunjukkan diriNya, pertama-tama memberikan diriNya, mengambil rupa daging. Sebaliknya, dalam pemberian dirinya melalui ekaristi, Kristus yang memberikan diriNya, tidak secara niscaya menunjukkan diriNya secara fisik: “[k]etika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Luk 24: 31).
Persis di sini, Kristus yang hadir dalam palungan menjadi ikon dari Yang-Tak-Kelihatan, kemudian dalam ekaristi, apa yang kelihatan menjadi tanda dari kehadirannya yang tak kelihatan. Dengan demikian, inkarnasi Kristus sebenarnya membebaskan kita dari segala bentuk idolisasi. Kristus adalah pemberian yang melimpah, di mana kelimpahan itu melampaui segala bentuk ringkusan dan ringkasan konseptual tentang metamorfosisNya dari Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga.
[1] Giovanni A.L. Arum, Pelajaran dari Orang Samaria, (Kupang: Dusun Flobamora, 2019) 52.
[2] Sedulius, The Paschal Song and Hymns (text in Latin and English), trans., and intro., by Carl P. E. Springer (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2013). Terjemahan oleh saya.
[3] Jacques Derrida, Given Time I: Counterfeit Money, trans. Peggy Kamuf (Chicago: The University of Chicago Press, 1992) 41.
[4] Jean-Luc Marion, In Excess: Studies of Saturated Phenomena, trans. Robyn Horner and Vincent Berraud (New York: Fordham University Press, 2002) 30.