Metamorfosis dari Yang-Tak-Berhingga

Teologi biblis dari bayi Yesus yang dibaringkan di dalam palungan adalah “[l]embu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umatKu tidak memahaminya” (Yes 1:3). Ayat ini menegaskan bahwa inkarnasi Putera Allah, atau metamorfosis dalam istilah yang saya pakai di sini, menandai tiga level kehadiran dari Yang-Ilahi. Dari status eksistensinya sebagai ‘Yang-Tak-Berhingga’ (Infinitude, Yang-Ilahi) ia menjadi ‘Yang-Berhingga’ (Finitude, Yang-Insani), lalu menjadi makanan. Artinya, dibaringkan di dalam palungan pada saat kelahiranNya – untuk memakai kosakata semiotika – merupakan penanda (signifier) dari apa yang akan terjadi nanti: menjadi makanan sebagai petanda (signified). Natal sudah merujuk kepada Paskah. Apa yang terjadi saat ini mengantisipasi apa yang akan terjadi, bahwa ia yang menunjukkan dirinya sendiri dari dirinya sendiri, berawal dari dirinya sendiri.

Sabda yang tenang menyendiri
Dalam ruangan paling sepi di hati Bapa
Akhirnya merelakan dirinya jatuh
Berkeping-keping sebagai roti tak beragi

(Sajak ‘Cum verbum panis?’)[1]

MetamorfosisNya, tidak berhenti hanya pada kelahirannya sebagai manusia, tetapi dilampaui. Ia menjadi makanan. Dalam palungan memastikan bahwa tanda solidaritas Tuhan sebagai Yang-Tak-Berhingga dengan manusia sebagai yang-berhingga, mengambil bentuk yang paling eksistensial bagi manusia, yakni menjadi makanan. Ketimbang menghukum manusia karena dosa-dosanya, Tuhan memilih menjadi manusia, lalu menjadi makanan. Dalam konteks deifikasi, makanan ini tidak hanya melepaskan manusia dari laparnya, tetapi memurnikannya, agar dapat mengambil bagian dalam kehidupan yang-ilahi. Sedulius menulis dalam nyanyian paskahnya demikian:[2]

Engkau membangkitkan manusia yang mati setelah memakan buah terlarang
Dengan memberinya santapan yang lebih baik; dengan meminum
Darah kudus, engkau menyembuhkan racun sang ular

(The Paschal Song, Liber Primus, 70-73)

Pada larik-larik ini, kita membaca kalau Sedulius menarik alusinya pada perayaan Ekaristi. Dan apa yang kita terima dalam ekaristi sudah dinyatakan jauh sebelumnya, baik dalam peristiwa pemberian manna bagi Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun, tetapi terutama ketika Israel sudah menjadi bangsa yang menetap. Hemat saya, dalam konteks metamorfosis yang-ilahi, yang menentukan dari peristiwa lahir dan dibaringkan di palungan adalah bahwa pemberian itu melampaui ekonomi-pemberian dalam relasi antarmanusia: seorang yang menerima suatu pemberian selalu mengetahui siapa pemberinya. Menyangkut pemberian dalam relasi antarmanusia, Derrida telah menegaskan bahwa tidak ada pemberian murni dalam relasi pemberian antarmanusia, karena setiap pemberian selalu merupakan upaya membeli atau membayar masa depan bagi diri sendiri. Memberi sesuatu kepada seseorang tidak lain adalah membeli masa depan. Derrida menulis demikian:

Pemberian (hadiah – the gift) bukanlah sebuah pemberian, pemberian hanya diberi sejauh ia memberi waktu. Perbedaan antara sebuah hadiah dengan setiap bentuk operasi pertukaran yang murni dan sederhana adalah bahwa pemberian itu memberi waktu. Di mana terdapat pemberian, di sana ada waktu. Apa yang diberikan, pemberian (hadiah), adalah waktu, pemberian waktu ini tidak lain merupakan tuntutan waktu. Di sana harus ada waktu, pada akhirnya harus bertahan, ada penantian tanpa pelupaan (l’attente – sans oubli). … Pemberian (hadiah) yang diberikan, menuntut, dan membutuhkan waktu.[3]

Contoh sederhana atas pernyataan Derrida bisa ditemukan dalam masyarakat kita, terkait urusan mahar atau belis dalam perkawinan: semacam terdapat lingkaran bantuan. Sering karena lingkaran bantuan ini, kita tahu bahwa dapat terjadi sebuah keluarga dijauhi, dibenci karena tidak turut mengambil bagian dalam pemberian itu. “Nanti sampe lu pung urusan, jang harap ko beta bantu,” kira-kira begitu kalau orang Kupang mengumpat temannya yang tidak membantu dia dalam urusan keluarga yang penting. Yang mau ditekankan oleh Derrida adalah bahwa kita butuh mengenal siapa yang pernah membantu kita, bukan karena kita ingin mengetahuinya, tetapi karena kita telah terjebak dalam lingkaran bantuan tersebut, sehingga kita merasa perlu mengetahui siapa yang pernah membantu kita, supaya kemudian kita pun bisa membantu dia ketika sedang dalam kesulitan.

Namun, kutipan dari Yesaya menunjukkan, sebagaimana ditunjukkan oleh Jean-Luc Marion, bahwa logika ekonomi-pemberian dari Allah melampaui logika ekonomi-pemberian manusia: yang memberi tidak dikenal. Memang ayat itu merujuk pada ketegaran dan kekerasan hati orang Israel, tetapi secara fenomenologis, kita bisa melihat bahwa memang pemberian dari Allah lebih sering tidak disadari sebagai pemberian dari Allah. Faktanya bahwa pada tingkatan yang paling subtil dari pemberian Allah kepada manusia, seorang penerima tidak tahu dan bahkan merasa tidak perlu tahu apa hadiah yang diterimanya, juga terutama karena hadiah dari Allah selalu melampaui semua bentuk kesadaran bahwa yang ia terima adalah hadiah. Alasan lainnya, karena kita selalu sudah terjebak dalam suatu lingkaran pemberian yang semata-mata bersifat material dan kasat mata. Memang kalau diperhatikan secara sambil lalu, logika dalam ekonomi-pemberian dari Allah sama dengan logika manusia, tetapi di sisi lain, melampauinya: “jalan pikiranmu bukanlah jalan pikiranKu” (Cf. Yes 55:8).

Lagi, yang lebih menentukan adalah bahwa ekonomi-pemberian dari Allah merupakan pemberian yang melampaui logika hukuman. Rahmat sebagai pemberian yang gratis (dari kata gratia) menghancurkan sekaligus melampaui logika pertukaran antarmanusia. Sedulius menulis dalam himnenya demikian:

Karunia terbesar Allah telah dinyanyikan para nabi sejak dahulu kala:
Karunia terbesar Allah terpenuhi dalam diri Kristus
Kelaliman dan kemarahan adalah beban yang dipaksakan oleh perintah hukum:
Beban berat perintah dihapus oleh rahmat.

Tinimbang hukuman, Allah sendiri membawa karunia bagi hamba-hambaNya: Bagi hamba-hambaNya, Allah sendiri menanggung hukuman

(Hymne I, 49-52; 63-64)

Gereja mengakui secara abadi bahwa oleh inkarnasiNya, Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia dalam pribadi ilahi. Ini berarti, lewat inkarnasi, kemanusiaan yang-berhingga itu, menjadi situs dari misteri inkarnasi Allah. Sehubungan dengan itu, bukan karena kesalahan manusia sehingga kondisis manusia tersedia bagi manifestasi dari Yang-Tak-Berhingga, tetapi semata-mata karena Allah sendiri memilih untuk melakukannya. Maka, dalam peristiwa kelahiran itu, tubuh ibarat tabut bagi hukum Allah sebagai makanan (Yeh 3:1-3), sedangkan palungan tempat dibaringkan itu menjadi bahtera bagi yang-tak-berhingga sekaligus yang-berhingga.

Sampai di sini, saya ingin menunjukkan bahwa metamorfosis Allah sebagai Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga, lalu menjadi makanan menunjukkan bahwa manusia tidak hanya diselamatkan dengan sabda, tetapi dengan tubuhnya. Memang, oleh Sedulius, kita menjadi sadar bahwa metamorfosis dari Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga nampak dalam tiga bentuk kehadiran Kristus dalam Gereja. Sedulius menulis bahwa:

Sejak saat itu, Kristus memberi karunia kudusNya dalam tiga bentuk:
Kristus sebagai roti; Kristus sebagai karang; dan Kristus sebagai air.

(The Paschal Song, Liber Primus, 158-159)

Namun, dengan menjadi makanan, Kristus mengambil bentuk yang paling eksistensial dari manusia. Dengan menjadi makanan, ciri tak-nampak dari Yang-Tak-Berhingga, yakni transendensinya tetap terjaga: Ia hadir dalam diri kita, tanpa kelihatan. Jean-Luc Marion menulis bahwa “sebuah fenomena hanya menunjukkan dirinya sejauh,  pertama-tama kalau ia memberikan dirinya…. [k]ebalikannya tidak sama: semua yang memberikan dirinya tidak secara niscaya menunjukkan dirinya – pemberian itu tidak selalu difenomenakan.[4] Membaca metamorfosis Kristus dalam alur berpikir Marion berarti bahwa dalam inkarnasi, Kristus yang menunjukkan diriNya, pertama-tama memberikan diriNya, mengambil rupa daging. Sebaliknya, dalam pemberian dirinya melalui ekaristi, Kristus yang memberikan diriNya, tidak secara niscaya menunjukkan diriNya secara fisik: “[k]etika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka” (Luk 24: 31).

Persis di sini, Kristus yang hadir dalam palungan menjadi ikon dari Yang-Tak-Kelihatan, kemudian dalam ekaristi, apa yang kelihatan menjadi tanda dari kehadirannya yang tak kelihatan. Dengan demikian, inkarnasi Kristus sebenarnya membebaskan kita dari segala bentuk idolisasi. Kristus adalah pemberian yang  melimpah, di mana kelimpahan itu melampaui segala bentuk ringkusan dan ringkasan konseptual tentang metamorfosisNya dari Yang-Tak-Berhingga menjadi yang-berhingga.

[1]        Giovanni A.L. Arum, Pelajaran dari Orang Samaria, (Kupang: Dusun Flobamora, 2019) 52.
[2]        Sedulius, The Paschal Song and Hymns (text in Latin and English), trans., and intro., by Carl P. E. Springer (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2013). Terjemahan oleh saya.
[3]        Jacques Derrida, Given Time I: Counterfeit Money, trans. Peggy Kamuf (Chicago: The University of Chicago Press, 1992) 41.
[4]        Jean-Luc Marion, In Excess: Studies of Saturated Phenomena, trans. Robyn Horner and Vincent Berraud (New York: Fordham University Press, 2002) 30.

Sakramen Bahasa: Soal Kebenaran dan Tindak-Wicara Publik

»Sanctifica eos in veritate – kuduskanlah mereka dalam kebenaran« (Yoh 17:17).
»Et veritas liberabit vos – dan kebenaran akan memerdekakan kamu« (Yoh 8:32).

Kuduskanlah (sanctifica) berasal dari kata ‘sacer’. Seturut etimologi ini, homo sacer dari Agamben bisa diterjemahkan sebagai manusia yang dikuduskan. Tindakan pengudusan ini bisa dalam bentuk pengorbanan, tetapi juga dalam bentuk pengkhususan diri terkait tugas tertentu.

Dalam jalur Agamben, berarti manusia yang dikuduskan bagi ‘polis.’ Tetapi Agamben membatasi penggunaan sacer hanya bagi para korban. Para korban adalah mereka yang hidupnya ditelanjangi sedemikian oleh kekuasaan, sehingga, bahkan martabat diri mereka sendiri bukanlah milik mereka.

Tapi kalau, kita memahami kata sacer dalam konteks doa terkutip di atas, maka setiap orang pada dasarnya dikuduskan bagi orang lain. Sanctifica dalam doa pendek di atas menandakan: membuat manusia, ciptaan fana dan yang berhingga ini, dapat masuk dalam relasi intim dengan Allah dalam kemuliaannya.

Secara horizontal tindakan pengudusan memampukan manusia saling memasuki satu sama lain. Inilah dimensi intersubjektivitas dari tindakan menguduskan. Dalam tradisi Yudeo-Kristen, menguduskan berarti seseorang ditempatkan dalam konteks pelayanan kebenaran. Kudus selalu bersifat relasional.

Dalam teks itu, kudus dihubungkan dengan kebenaran. Diri dikonstitusi dalam kebenaran. Kebenaran adalah pencuci yang memungkinkan seseorang memiliki harapan bahwa ia dapat berelasi dengan Yang-Ultimum.

Jika gagasan ini ditarik ke dalam konteks sosial-politik, maka setiap orang semestinya menjadi ‘sakramen politik’ (frase Eddy Kristiyanto), yang memungkinkan politik bergerak sesuai dengan tujuan akhirnya: bonum commune. Gagasan dibalik tindak keterlibatan ini adalah partisipasi politik dan bukan persaingan kepentingan. Persahabatan-warga dan bukan klasifikasi identitas.

Jika kebenaran mengkontitusi tindak bicara kita dalam politik: segala jenis kampanye dan debat publik, bahkan dalam berbagai sumpah jabatan, maka bahasa politik kita menjadi ‘sakramen bahasa’ (frase Agamben). Lycurgus dalam Against Leocrates menyatakan bahwa sumpah adalah kekuatan yang menguatkan dan menyatukan demokrasi kita.

Pada Lycurgus, sumpah atau sebut saja berbicara yang benar dalam konteks kita, tidak berhubungan dengan obsesi untuk menghadirkan sesuatu yang baru, tetapi untuk menjaga dan memelihara apa yang sudah ada. Tentu saja apa yang sudah ada itu mesti dibangun dengan kebenaran sebagai fundasi. Jika tidak, sumpah itu hanya menjadi sumpah palsu.

Sumpah menunjukkan fungsi bahasa sebagai sakramen. Ini dapat ditelusuri juga melalui jalur yuridis. Cicero dalam De officiis menulis bahwa

»dengan mengambil sumpah, kita menempatkan diri di bawah kewajiban untuk mengingat dengan sungguh-sungguh, bukan apa yang mungkin membuat kita takut yakni kekerasan, tetapi apa yang terdapat dalam hal yang berhubungan dengan kewajiban: sebuah sumpah adalah jaminan yang dilindungi melalui kekudusan agama; dan sebuah upacara memberi janji di hadapan Allah sebagai salah satu saksi, yang menjamin kekudusan sumpah tersebut.«

Kutipan dari Cicero memastikan bahwa dalam hal ini sumpah terikat dengan kewajiban mengerjakan keadilan dan kebaikan. Sumpah tidak sekadar menandakan suatu pengucapan linguistik tetapi tentang apa yang ditegaskan dan dijaminkan melalui penegasan tersebut.

Dengan mengucapkan sumpah, orang yang mengucapkannya menempatkan dirinya di bawah jaminan dan kutukan sumpah tersebut. Sumpah tidak berhubungan dengan pernyataan, tetapi jaminan operasional atau akibat dari sumpah tersebut.

Di sini, bisa dikatakan bahwa bersumpah berarti kita mengkonsekrasikan diri dalam kebenaran: antara kata-kata dengan tindakan. Ini tidak hanya terjadi pada level teologis, tetapi juga pada level antropologis, sejak kita menempatkan setiap kata-kata dalam paradigma bahasa ilahi.

Jika sumpah, dalam faktanya, merupakan bahasa yang selalu dinyatakan dalam kenyataan dan kenyataan tersebut adalah logos Allah, maka seperti ditulis oleh Philo bahwa

»Allah bersabda dan terjadilah demikian, dengan tanpa interval antara keduanya (ho theos legōn ama epoiei), sumpah manusia adalah usaha menyesuaikan bahasa manusia dengan model ilahi tersebut, membuatnya, sebanyak mungkin, pistos, dapat dipercaya.«

Manusia mengucapkan sumpah demi memenangkan kepercayaan. Maka, di sini kita akan bertanya, mengapa dalam masyarakat yang agamis, kebenaran sering tidak hadir dalam setiap bentuk tindakan bicara? Hoaks, sumpah palsu, seduksi dalam kampanye politik seolah menjadi hal yang dapat diterima sebagai kebenaran.

Agamben menjawab karena kehidupan kita sudah sepenuhnya tereduksi menjadi sepenuhnya soal biologis semata, telanjang sebagai binatang yang termekanisasi.

Abad gerhana bahasa sebagai sakramen adalah juga abad penghinaan terhadap Allah. Allah jadi semacam gagasan regulatif, sebentuk deisme kontemporer. Dengan kata lain, kita tidak ingin dan tidak mau mengkonstitusi diri dengan kebenaran.

Ketika menjauh dari kebenaran, kita tidak mampu menggapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab, kemerdekaan tanpa kebenaran, hanya akan menjadi bentuk-bentuk tindak manipulasi-diri dan manipulasi orang lain. Sebaliknya, kebenaran tidak pernah tinggal sebagai slogan, melainkan mesti menyata sebagai tindakan. Menguduskan diri bagi kebenaran, mesti berbuah dalam tindakan masuk ke dalam dunia, mengerjakan kebenaran yang membebaskan.

Tanpa kebenaran, tidak ada kemerdekaan otentik. Dan tanpa kemerdekaan, »hubungan esensial antara kematian dan bahasa bersinar terang di depan kita, namun kita tidak mampu menyadarinya« (Heidegger – dengan sedikit perubahan). Tanpa kebenaran, setiap pembicaraan adalah suatu bentuk kematian terhadap kebenaran.

Dalam tradisi filsafat, manusia tampil dengan hakekat dirinya sebagai makhluk hidup dan berbicara. Ada kapasitas berbahasa (zoon logon echon) dan ‘kapasitas’ untuk mati. Ini secara esensial sejajar dengan gagasan Kristen: manusis, makhluk hidup ini »terus-menerus diserahkan pada maut karena Yesus« (aei gar emeis oi zontes eis thanaton paradidometha dia Iesoun – II Kor 4:11), yang berarti melalui sabda.

Namun hal tersebut sekaligus merujuk kepada kepercayaan yang menggerakkan orang yang percaya kepada bahasa: kami percaya, sebab itu kami berkata-kata (kai emeis Pisteuomen, dio kai laloumen – II Kor 4:13). Bila tindak bicara publik yang kita lakukan tanpa disertai hasrat mengabdi pada kebenaran, maka kita tidak mampu menggapai kemerdekaan.

Yang akan terjadi hanyalah ketiadaan atau kematian. Politik kita hanya akan menjadi ‘pusat ketiadaan’ menurut Heidegger. Politik hanyalah gelanggang negativitas, gelanggang penyangkalan, gelanggang pertarungan antar-gangster.

Sumber:

  1. Giorgio Agamben, Language and Death: The Place of Negativity, (University of Minnesota Press, 1991).
  2. Giorgio Agamben, The Sacrament of Language: An Archaeology of the Oath, (Polity Press, 2011).

Filsafat dan Mistisisme: Tentang Pencarian Pribadi

Dari filsafat ke mistisisme, bagi saya adalah suatu proses trans-substansiasi diri ke dalam Yang-Ultimum. semacam suatu gerak metabasis eis allos genos. Sejak awal berkenalan dengan teks-teks Aquinas, saya sudah meyakini satu hal: bahwa sang sabda yang telah berinkarnasi dalam daging, menginkarnasi sekali lagi, secara intelektual dalam esse Aquinas. Teks-teksnya memastikan salah satu puncak pencapaian dalam mistisisme Kristen melalui jalur intelektual. Salah satu buktinya diketahui melalui kenyataan bahwa Aquinas berhenti menulis setelah mengalami visio beatifica. Hal tersebut memengaruhi pencarian saya.

Nah, rupanya kata-kata injil, ‘carilah maka kamu akan menemukan’ kena bagi saya. Setelah suatu pengalaman pribadi dalam satu ekaristi jumat pertama (dalam soal ini, anda tidak diminta untuk percaya), doktrin iluminasi dari St. Agustinus, yang disebut oleh Kardinal Nicholas Cusanus, sebagai »’praescisio veritatis’ yang memancar keluar ke dalam kegelapan kepasrahan ketidaktahuan«, saya lihat dalam arti yang sangat literal. Literal: iluminasi adalah sesuatu yang nyata, yang bisa dicapai setiap orang yang percaya, yang mencari. Iluminasi adalah pengalaman Tabor intelektual.

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa, apa yang dialami Aquinas, sama dengan apa yang dialami, dan yang diceritakan oleh St. Paulus kepada orang-orang Korintus. J.W. Bowker dalam artikelnya, ‘“Merkabah” Visions and the Visions of Paul,’ dalam Journal of Biblical Literature, 109, No. 2 (1990), menulis bahwa visi Paulus ada dalam jalur mistisisme Merkavah. Di dalam artikel tersebut, Bowker menyatakan bahwa Paulus dan Rabbi Jochanan b. Zakkai, pemimpin utama mistik Yahudi setelah penghancuran Yerusalem tahun 70, saling mengenal dengan baik, karena berasal dari sekolah mistik yang sama dan latar belakang Farisinya.

Saya kemudian menemukan suatu petunjuk lain, suatu petunjuk tak langsung, yang setidaknya bisa dipakai untuk mendukung pandangan tersebut: bahwa pencarian intelektual Aquinas adalah suatu “itinerarium mentis”. Salah satu tokoh utama mistik Yahudi yang sezaman dengan Aquinas adalah Rabbi Abraham Abulafia dan mistisisme Yahudi periode tersebut sampai abad ke-15, menurut Aryeh Kaplan, lebih diwarnai corak teoritis ketimbang praksis. Pengaruh mistisisme Yahudi pada teks-teks Aquinas, setidaknya diakui juga oleh John Milbank, dengan menyebut corpus Aquinas sebagai ‘Thomistic Kabbalah’: ‘the divine eternal literature’ yang menginkarnasi ke dalam sebuah buku manusia (Modern Theology, 27:1 [Jan. 2011]).

Nah, secara pribadi, saat membaca teks-teks Aquinas, terutama metafisikanya, saya selalu merasa berada dalam keadaan kenikmatan intelektual yang tak terkira. Teks-teksnya seolah ‘suaka pengasingan’ ketika ketidakpuasan intelektual mendera disaat membaca teks-teks filsafat kontemporer. Hegel dan Heidegger sering membantu, tapi tidak seintim Aquinas. Ini seperti anda, selalu kembali sewaktu-waktu ke rumah makan favorit anda, karena hanya di tempat itu, anda mengalami kenikmatan lidah yang tak terkatakan.

Esse dari Aquinas, seperti ditulis oleh Milbank, secara fundamental adalah “power to be” dan power ini tidak lain dan tidak bukan adalah amor (Milbank, ibid.). Aquinas sendiri sudah menulis dalam De Veritate, bahwa esse adalah citra otentik cinta Tuhan. Aquinas bersama guru sekaligus temannya, Albertus Magnus memainkan peran yang menentukan dalam apa yang disebut oleh Bernard McGinn sebagai “the harvest of mysticism” abad-abad sesudahnya.

Hal lain lagi. Dari segi mistisisme, setelah pengalaman dalam ekaristi tersebut, PL dan PB yang semulanya kelihatan tak mudah disingkap, malah menyingkapkan dirinya pelan-pelan. Sejak ayat pertama Kejadian sampai kata terakhir di Wahyu Yohanes adalah teks mistik yang sangat kaya. Ketidaktahuan akan hal ini, mengakibatkan kita berasumsi bahwa tidak ada, misalnya teknik meditasi di dalamnya.

Tidur Samuel misalnya, sebenarnya merujuk kepada suatu teknik meditasi profetik, yang membutuhkan pembimbing yang berkompeten. Guru dibutuhkan agar bisa membimbing sang murid untuk membedakan antara pewahyuan Allah yang sejati dengan kekuatan-kekuatan koruptif lainnya. Mengapa guru penting, karena KS juga merekam dengan sangat gamblang bahwa ada begitu banyak nabi palsu, yang bisa menggunakan kekuatan yang sama untuk mendukung nubuat-nubuat palsu mereka. Inilah salah satu alasan mengapa KS tidak cukup gamblang menunjukkan hal tersebut: meditasi adalah sesuatu yang sulit dan membutuhkan ketekunan.

Aryeh Kaplan mencatat bahwa karena jalan mistik sangatlah sulit, sebaliknya seringkali orang menginginkan hasil yang cepat. Akibatnya orang mulai mereka mencari dan mengkombinasikannya dengan berbagai teknik tertentu. Inilah akar dari okultisme maupun idolatria. Elia misalnya harus bersaing dengan ratusan nabi palsu demi membawa umat Israel kembali kepada Yahweh.

Hal lain yang cukup menentukan adalah kenyataan bahwa membaca filsafat kontinental, mau tidak mau kita selalu ditarik untuk membaca teks-teks KS. Penundaan dalam dekonstruksi Derrida misalnya tidak akan cukup dimengerti kalau kita tidak memahami karakter penundaan dalam penyebutan nama Yahweh. Eksistensialisme Buber atau Marcel memiliki sumbernya dalam tradisi Yahudi-Kristen. Tema mengenai kekosongan (void) dan kesetiaan dari Badiou yang mengaku diri ateis, kuat menggemakan tradisi Kristen. Ini hanya menegaskan bahwa filsafat dari kodratnya religius.

Cawan Kenyataan

»Jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari padaKu« (Luk 22:42a)

Kata-kata yang diungkapkan oleh Yesus di Getsemani ini barangkali menjadi ringkasan padat dan simbolisasi paling mengena tentang kondisi masyarakat kita saat ini, suatu Era Ketakutan yang bangkit seiring kemajuan tanpa tanding. Hans Urs von Balthasar menulis dalam In the Fullness of Faith demikian:

»ketakutan tanpa ampun mencekik leher. Ketakutan ini membawa kita memenuhi ruang-ruang konsultasi para psikiatri, rumah-rumah sakit terkenal, meningkatnya jumlah bunuh diri, meledakkan diri dengan bom, terlibat dalam perang dingin maupun panas. Kita mencoba untuk mencabut ketakutan ini dari dalam jiwa seperti rumput kering, mencoba membius diri dengan optimisme, mencoba meyakinkan diri dengan kekuatan filsafat utopia; kita membuat semua kemungkinan perangsang dapat diakses, …. (pada akhirnya) kita mengundang orang lain untuk melibatkan diri dalam semua bentuk alienasi diri«.

Tapi kita bisa menambahkan hal lain: kita tidak menyukai cara Tuhan seperti ini yang memuliakan kekerasan (cf. Katolik menekankan kesetiaan dan ketabahan dibalik penderitaan, bukan kekerasan itu sendiri. Bahwa kekerasan itu sedemikian hebat, itu bukanlah titik perhatian, melainkan pada kekuatan, ketabahan menghadapinya), Tuhan dipakai untuk memelihara ketidaksetaraan gender, Tuhan dipakai untuk membenarkan patriarki, Tuhan dipakai untuk menutupi ketakutan sosial, agama dipakai sebagai dalih toleransi, melihat tubuh dan jiwa sebagai dua entitas yang berbeda, sehingga seseorang bisa berhak mengubah tubuhnya agar sesuai dengan yang diinginkannya.

Pada akhirnya, dalam bahasa eksistensialis, Tuhan ini harus ditolak. Sang Ada seperti ini harus ditolak karena tidak memerdekakan. Kesamaan dan analogi dengan Tuhan ditolak, sebaliknya Negasi diabsolutkan. Kita mencoba mencari suatu tuhan yang lain, yang kemudian tiba kepada kita lewat usaha intelektual melalui penyangkalan.

Misalnya, kita mulai merancang teori-teori yang sedapat mungkin sesuai dengan gambaran subjektif kita. Berharap dengan demikian semua hal yang tidak sesuai keinginan dapat berubah. Kita menginginkan suatu tuhan yang sesuai dengan keinginan kita. Orang Kristen misalnya, mulai dengan menolak kitab suci kanonik, dan mulai mencari tuhan melalui sumber lain. Ia melakukan heresi bukan karena kebodohannya, tetapi karena kelemahan intelektual dan kekerasan hatinya.

Secara filosofis, semua ini berakar dalam fakta bahwa »kita menjadi tak-berumah demi mendapatkan keilahian kita«. Dengan lain kata, karena kita menolak Allah sebagaimana seharusnya menurutNya, maka semua krisis yang terjadi bukan karena kita berhadapan dengan Allah yang tidak mengetahui kekosongan jiwa kita, tetapi dengan Ketiadaan sebagai kekosongan yang ditinggalkan oleh allah yang tak-ada dari Sartre, atau allah yang absen dari Heidegger.

Helmut Kuhn dalam bukunya Encounter with Nothingness secara tandas menyatakan bahwa karena kita melihat penderitaan sebagai sesuatu yang tidak spesifik, abstrak, dan umum, dan sebaliknya melihat harapan sebagai sesuatu yang spesifik, konkret, maka kita tidak dapat menemukan Tuhan, melainkan Ketiadaan.

Singkatnya, kita membuat atau melihat penderitaan sebagai universal, dan harapan sebagai yang privat. Maksudnya, harapan itu hanya milik segelintir orang yang punya akses ke semua hal karena punya uang dan kekuasaan, tetapi penderitaan adalah milik semua orang yang tidak punya akses.

Memakai kata-kata Helmut Kuhn berarti bahwa karena harapan dialami sebagai bersifat privat, maka orang yang kehilangan harapan itu seperti para »eksistensialis yang berarak-iring menuju Kalvari, tetapi yang mereka temukan di sana hanyalah kekosongan, kecuali dua penyamun yang masih bergantung pada salib masing-masing«.

Dalam cara seperti ini, kita tidak mampu untuk melihat bahwa Tuhan yang mati disalib itu sedang memberi kita contoh, agar dalam penderitaan kita masing-masing, kita belajar menghadapinya. Kita tidak mampu untuk melihat bahwa Tuhan sedang mengajar kita kalau setelah Jumat Sengsara selalu menyusul Minggu Paskah. Eksistensialisme Keluaran, Kierkegaard, atau Metafisika Eksodusnya menunjukkan bahwa setelah padang gurun penderitaan, kita akan tiba di negeri susu dan madu.

Eksistensialisme Sartre sebaliknya, mengikat kita di padang gurun, menyuruh kita berhenti berjalan dan kemudian menyatakan bahwa allah hanya bisa ditemukan melalui tindakan Negasi. Ketiadaan Sartrean adalah situasi hidup dalam bayang-bayang Allah yang ditolak.

Eksistensialisme Sartre atau genderisme para feminis tidak mampu menguatkan kita saat berhadapan dengan misteri, dengan pertanyaan-pertanyaan besar karena mereka memulai dengan penyangkalan terhadap kenyataan apa adanya. Mereka tidak mampu memampukan kita untuk menyatakan »tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendakMulah yang terjadi«.

MENERIMA JANJI – MENULIS KENANGAN: Untuk Pastor Martin van Ooij, SCJ

MENERIMA JANJI – MENULIS KENANGAN: Untuk Pastor Martin van Ooij, SCJ

Saya ingin menulis mengapa saya menulis tentang dirinya. Jadi, saya harus jujur sejak awal bahwa saya tidak memiliki banyak pengalaman duduk bersama Romo Martin untuk waktu yang lama sekedar berbagi cerita atau bersenda gurau.

Tetapi saya mengalami suatu kedekatan spiritual, yang pasti tidak diketahui oleh dirinya, sejak saya diminta oleh Mas Herdi (saya meminta maaf kepada Mas Herdi [Robertus Herdiyanto] karena telah menggunakan sebagian bahan itu sebagai tulisan, sebelum waktunya) untuk mengetik ulang bahan-bahan homili Romo Martin, yang ia bagikan kepada umat, selama tahun liturgi 2014 (saya dan kita tentu berharap suatu hari homili-homilinya menjadi suatu buku, di mana kita bisa tetap menatapnya dengan mata yang lain dan mendengarnya dengan telinga yang lain: mata dan telinga iman).

Maka memiliki seorang imam: mengambil bagian dalam ekaristi bersamanya. Mengikuti misanya dengan mata dan telinga, dengan seluruh keberadaanmu. Suatu hari mungkin ada rindu ingin melihat dia merayakan misa meski ia sudah tidak ada di sana dan mencoba untuk mengetahui, mendengar homilinya, atau membaca darinya ketika anda tahu bahwa anda tidak akan pernah melihat dia lagi … ah ini membuatmu menangis, dalam kenangan.

Memiliki seorang teman, berarti ingin melihat dia, melihat dia dengan matamu, memuji dia dalam persahabatan, dalam cinta dan memanggil dia dengan namanya. Dan untuk mengetahui lebih dalam, berarti siap terluka, dan terluka dan lebih dan lebih tak terlupakan, bahwa satu di antara kita tak ada lagi.

Tapi sebelum semua itu terjadi, kita tahu bahwa suatu hari salah satu di antara kita tidak akan mengetahui dirinya sedang diperhatikan oleh yang satunya lagi, dan akan menerima yang lain dalam dirinya untuk waktu yang lama, dengan mata iman yang mengikuti tanpa tatapan mata fisik. Itulah yang tersirat dalam homilinya, Minggu 6 April 2014. Romo Martin bilang:

‘Kita beruntung bahwa kita berpegang pada janji Yesus, bahwa hidup kita hanya berubah dan tidak berakhir, walau pun begitu hati kita amat tersiksa, bahkan berluka kalau orang tercinta kita meninggal dunia. Maka kita boleh menangis, dan jangan memakai kata-kata suci untuk menghibur, tapi untuk ikut menangis dengan mereka yang sedih. (…)Ayahku mengalami dua kali kehilangan. Yang pertama, pada tanggal 10 September 1944, ibu dan adik nomor 9 menjadi korban akibat perang dunia ke-2. Dan setelah dua tahun, ayah nikah lagi dengan adiknya ibu, dan diberi 3 anak lagi. Tapi betapa mendalam kesedihan sewaktu ibu mendapat serangan jantung dan meninggal dunia 4 Maret 1985. Dan bapak memberi kesaksian iman yang menyatukan ke-11 anaknya (kami masih hidup ber-10). Buat saya, mereka masih hidup dan keluarga besar yang ditinggalkan meneruskan kesatuan yang membahagiakan. Yesus menangis karena kehilangan teman. Kami banyak menangis ketika kehilangan dua ibu dan ayah. Tapi iman dan cinta tetap menguatkan kita.’

Antoniuus Martinus van Ooij, SCJ. Akrab dengan sebutan Romo Martin. Saya kira tidak ada testimoni lebih dalam tentang hidupnya, dari pada hidupnya sendiri. Jalan panggilan keimamatannya menjadi bukti bagi dirinya bahwa ia menghidupi spirit santu pelindungnya: Martin dari Tours, seorang prajurit yang berperang di jalan Allah.

Pada misa Novena Pentekosta di Pasar Minggu, pada Kamis, 5 Juni 2014, ia bilang begini:

‘Siapa dapat mimpi, bahwa saya bisa bertemu dengan umat dari Paroki Pasar Minggu. Kita belum saling kenal, maka izinkanlah saya (memerkenalkan diri): saya Pastor Martinus van Ooij, SCJ, asal Belanda. Sejak bulan Mei 1964 sampai Agustus 1994 berkarya di Lampung, di antara orang-orang transmigrant. Kemudian, sampai Februari 2011 di India, diutus oleh Kongregasi untuk mendirikan rumah SCJ di sana, dengan bekal Roh Kudus, dan setelah 1 tahun di Filipina, sejak Agustus 2012 berkarya sebagai pastor rekan di Paroki St. Stefanus – Cilandak.’

Tentang apa yang disebutnya sebagai ‘dengan bekal Roh Kudus’, begini Romo Martin bercerita dalam homilinya, Minggu 16 Maret 2014:

‘Izinkanlah saya mensharingkan sebuah pengalaman pribadi, tentang karya Roh Kudus. Sewaktu saya diminta oleh pimpinan generalat untuk pergi ke India dengan tujuan mendirikan rumah SCJ di sana. Hal tersebut membuat saya shock, tantangan tak terduga. Dan atas pertanyaanku, bagaimana caranya untuk menghadirkan kongregasi di sana. Pemimpin Umum menjawab: saya tidak tahu, tetapi Roh Kudus akan menyertai kamu di sana. Dan itulah bekal dan peganganku ke India. Dan ternyata terbukti menjadi pegangan untuk hidup saya sebagai misionaris di India. Tuhan setia dan Roh Kudus membantu menghadirkan kongregasi SCJ di India. Dalam kunjungan saya selama 30 hari, dengan menyaksikan tahbisan imam yang ke-34 dengan empat orang diakon, menjadi bukti bahwa Roh Kudus berkarya.’

Tentu keyakinan seperti ini hanya bisa dibangun di atas suatu dasar yang kokoh. Di situ keluarganya, sebagai gereja kecil menentukan dan membentuk dirinya.

‘Sewaktu SD, saya jadi putera altar dan setiap pagi jam 06.30 jalan kaki ke gereja. Pernah saya minta Tuhan memilih imam dari setiap kelas (ada 4 kelas), tapi kemudian berpikir bahwa mungkin terlalu banyak, maka berubah lalu bilang, terserahlah Tuhan, biar satu saja. Sewaktu saya sudah kelas 6, bilang sama ibu: saya mau ke seminari, dan ibu dorong agar bilang sama bapak. Tapi saya takut kalau bapak menolak. Setelah dua minggu waktu dapat giliran cuci piring bersama ibu, saya tanya sama ibu [lalu cerita peristiwa] (NB: sayangnya apa yang diceritakan tidak terinskripsi dalam bentuk tulisan). Inilah titik permulaan panggilan saya, di dalam keluarga, gereja kecil. Dan ternyata Tuhan memberkati hidup saya sebagai misionaris di Lampung (30 thn), di India (hampir 17 thn), di Filipina (1 thn), dan sekarang hampir 2 tahun di Stefanus. Yang dibutuhkan untuk menjadi misionaris/imam adalah keberanian dan kesetiaan’ (Homili Minggu Panggilan – Minggu Paska IV, 11 Mei 2014).

Persis di sini, sekurang-kurangnya anda dan saya yang mengenalnya akan mengakui bahwa Romo Martin telah menjalani kesetiaan itu seumur hidupnya sebagai imam. Dan karena imam selalu bertindak in persona Christi, maka kepada Romo Martin, layak kita lantunkan kekagumanan ini: “Engkau adalah imam untuk selama-lamanya, menurut peraturan Melkisedek” (Ibr 5:6).

Banyak dari antara kita, tanpa ragu, bahkan merupakan kepastian bagi saya, bahwa kesetiaan absolut, suatu persahabatannya dengan Kristus, di dalam Kristus melalui spiritualitas Kongregasinya, dan persahabatan yang dialami antara dirinya dan umat sekalian adalah suatu rahmat, suatu pemberian.

Dalam ungkapan St. Thomas Aquinas, berarti dalam kesetiaannya yang tanpa akhir sampai pada akhir, merupakan ungkapan kebaikan Tuhan (imago divinae bonitatis), yang dianugerahkan melalui gereja (Kongregasi SCJ). Ia sebagai seorang imam, sepanjang hidupnya telah menunjukkan bahwa hakekat sabda dari Sang Sabda terlihat dalam persahabatan dan kesetiaan.

Sampai di sini, saya tidak tahan untuk tidak mengutip ungkapan filosof terkenal Emmanuel Levinas. Jika adieu atau adios berarti selamat tinggal, maka harus dikatakan di sini, bahwa sebagai orang yang percaya akan Kristus, à-Dieu bukanlah tanda tentang akhir. Ini bukan tentang finalitas.

Maka kematian sebagai à-Dieu berarti suatu undangan dari Allah bagi kita untuk berjalan melampaui keberadaan duniawi kita, di dalam apa yang dimaknai sebagai kepercayaan iman – percaya akan kebangkitan badan, melalui kata ‘kemuliaan’: paska. Secara liturgis, Romo Martin meninggal pada minggu Palma. Ini seperti menegaskan kata-kata dari antiphon ke-2 Ibadat Sore I, Hari Minggu Palma: ‘Tuhan Allah penolongku, aku tidak dikecewakan.’

Dengan demikian, kematian bukan sebuah proses yang berakhir, melainkan suatu panggilan, panggilan untuk memiliki Allah di dalam Allah.

Romo Martin, kami sedih atas kepergianmu, tetapi seperti kata-katamu, ‘iman dan cinta tetap menguatkan kita.

Adieu Romo Martin

Komunitas dan “Otherness”

[Minggu Biasa XV: Kej 18:1-10; Kol 1:24-28; Luk 10:38-42]

Bila kita melihat pekan yang lewat dalam bingkai kebersamaan atau identitas, maka ada dua peristiwa penting dalam pekan ini, yang seharusnya meminta perhatian kita secara lebih serius. Pertama, peristiwa di Jogja, dan yang kedua di Nice – Perancis. Keduanya hampir identik, terkait dengan identitas politik dan religius. Di Jogja, dalam kemarahan yang buruk, orang-orang seenaknya mencaci sesamanya sebagai monyet. Di Nice, seorang dengan mobil yang dikendarainya menabrak dan menembak secara membabi buta dan menewaskan 88 orang dalam sekejap waktu.

Dari dua peristiwa tersebut terlihat bahwa salah satu masalah mendasarnya adalah ketidakmampuan untuk menerima orang lain apa adanya. Ketidakmampuan ini ketika dipolarisasi oleh ketakutan akan kehilangan identitas dan politik, maupun perpecahan menjadi sesuatu dorongan destruktif yang memanifestasi dalam upaya menegasi kehadiran orang lain. Fakta bahwa banyak orang berjuang menjadi dirinya sendiri, sering dilihat sebagai ancaman. Jadinya, ketika ketakutan terhadap ancaman itu dikombinasi dengan fanatisme politis maupun religius, selalu ada pembenaran-pembenaran untuk mengganyang, mencincang dan menggilas orang lain.

Di sini, saya menginterpretasi teks Kej dan Luk dalam bingkai komunitas dan keberlainan “aokbian.” Teks pertama, menunjukkan bahwa kapasitas untuk bangun keluar dari pintu kemah untuk menyambut orang asing adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Bila dibaca dalam konteks hermeneutika budaya, pohon dan kemah berhubungan erat dengan identitas etnik maupun identitas politis seseorang, sedangkan panas terik merujuk pada intensitas gesekan perbedaan yang cenderung destruktif. Maka, kesediaan untuk keluar dan menerima orang lain, sebagaimana dilakukan oleh Abraham dalam teks kejadian dan Maria bersama saudarinya Martha dalam teks Lukas memerlihatkan kemungkinan pertemuan dengan orang lain menjadi suatu berkat bagi dua pihak.

John Zizioulas, teolog Eastern Orthodox metropolitan of Pergamon menulis dalam bukunya Being as Communion bahwa tidak ada kehadiran otentik tanpa komunio. Komunio adalah kategori ontologis. Maka dalam artikelnya “Communion and Otherness,” ia menulis bahwa keberlainan/perbedaan dari orang lain, yang membuatnya berbeda bukanlah pertama-tama merupakan perbedaan moral atau psikologis tetapi ontologis. Tetapi karena perbedaan ontologis itu pula “identitas personal akan hilang secara total jika ia diisolasi dari kondisi ontologisnya, yakni hubungan dengan orang lain. Artinya, perbedaan itu tidak menutup jalan kepada pertemuan dengan orang lain.

Zizioulas menulis bahwa “kehidupan dan cinta teridentifikasi dalam diri setiap orang; seorang tidak akan mati hanya karena ia dicintai dan mencintai; di luar komunio cinta, seorang kehilangan keunikkan dirinya, dan menjadi sesuatu yang tidak berbeda dengan barang, sesuatu tanpa identitas, dan nama tanpa wajah.” Setiap orang, dalam rangkulan Trinitas, berbeda dan unik tidak melalui perbedaan kualitas tetapi melalui afirmasi atau pengakuan bahwa ia adalah dirinya apa adanya. Komunio tidak meniadakan keberlainan setiap orang melainkan menegaskannya, karena komunio tidak menyangkut proses generalisasi dan penyeragaman atau apa yang menjadi kata sakti di negeri ini: kesatuan.

Sampai di sini, dalam bingkai teologis, komunio dan keberlainan orang lain merupakan sebentuk undangan ke dalam kebertemuan dan solidaritas. Solidaritas ini memungkinkan kita bersedia menerima orang lain tanpa takut, dan bersedia mendengarkan setiap orang. Kesediaan ini sebagai suatu kapasitas atau kemampuan mengandaikan sikap kenosis, sikap mengosongkan diri, suatu sikap yang didasari kerendahan hati. Ketidakmampuan menerima orang lain sebenarnya menurut Erich Fromm merupakan tanda dari orang yang mencintai diri dengan cara yang buruk, lebih tepatnya, ia membenci dirinya sendiri.

Bila kita menelaahnya dari perspektif Fromm tersebut, kita boleh bertanya, bahwa jangan-jangan dengan kemajuan teknologi, yang membuat orang bisa melakukan apa saja, termasuk bisa berganti jenis kelamin atas nama hak asasinya adalah wajah nyata sikap mencintai diri dengan cara yang buruk atau mencintai diri terlalu sedikit. Jika, solidaritas selalu terkait dengan pemberian (the Gift), dan pemberian selalu mengandaikan sikap penerimaan, maka kebebasan yang menyangkal penerimaan terhadap diri sendiri adalah wajah nyata kebencian manusia terhadap diri sendiri. Kebencian terhadap diri sendiri pada akhirnya meluap lewat penolakan terhadap keberlainan orang lain. Dengan begitu, seorang yang dalam kemarahan mencaci orang lain sebagai monyet misalnya, adalah wajah nyata penerimaan yang buruk terhadap diri sendiri. Ini seperti Sara dalam teks yang sama, yang menertawai dirinya sendiri.

Pada akhirnya, kalau kita menerima orang lain, berarti menerima Allah sendiri, sebagaimana kisah Abraham dan kisah Maria bersama saudarinya Martha. Penerimaan ini memampukan kita menerima diri sendiri sebagai dasar terdalam relasi dengan orang lain. Sesungguhnya, ketika kita menerima orang lain, dan orang lain adalah wajah tak tampak Allah, maka Allah akan menjanjikan satu hal ini: “sesungguhnya Aku akan kembali [datang] lagi.” Artinya, damai tidak mungkin beranjak dari kita.

Sesama/Aokbian dan Mistik Perjumpaan

(Ul 30:10-14; Kol 1:15-20; Luk 10:25-37)

Menurut anda, siapakah yang menjadi penyamun di Papua? Negara lain atau Indonesia? Ketika bangkit gerakan-gerakan fundamentalisme, menjadi pertanyaan adalah siapa sesamamu? Ini pertanyaan pancingan.

“Dan siapakah sesamaku?” tanya ahli taurat itu. Sesamaku dalam teks Yunaninya, memakai kata “mou plesion,” sedangkan pada teks Vulgata diterjemahkan sebagai “meus proximus.” Dalam bahasa Yunani, kata plesion dipakai untuk menunjukkan sesama dari komunitas atau kelompok yang sama. Plesion sebagai sesama selalu berarti sesama satu komunitas atau satu agama yang ditandai oleh kesamaan kewajiban, memiliki dan tunduk di bawah hukum yang sama (lih. Roberto Esposito, 2009). Kalau diperluas berarti sesama satu suku yang punya tata adat yang khas dan terbedakan dari suku lain, sesama satu ideologi, sesama satu partai, sesama satu kepentingan. Singkatnya, sesama dalam pengertian ini tidak terkait dengan orang lain di luar partikularitas sosialnya.

Penggunaan kata ini dalam pertanyaan, jelas menunjukkan bahwa ini adalah pertanyaan jebakan pada Yesus. Teks menunjukkan bahwa pada ayat terdahulu, sang penanya sudah memberi jawaban atas pertanyaan Yesus berdasarkan rumusan shema mereka: “kasihilah Tuhan, Allahmu, …, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Dengan bertanya kepada Yesus seperti itu, terlihat bahwa sang penanya memahami sesamanya tidak lain adalah sesama orang Yahudi. Dibahasakan dalam konteks semasa ini, berarti sesamaku dalam pemahaman sang penanya tidak lain adalah orang-orang yang seagama dengan saya. Tetapi, mereka yang berada di luar partikularitas keagamaanku, mereka adalah yang lain, yang tidak boleh bersentuhan dengan kita, karena hanya akan mengakibatkan diri kita najis, mereka yang boleh kita beri stempel kafir, mereka adalah musuh.

Dalam jawaban Yesus atas pertanyaan tersebut, kita menemukan bahwa ia tidak memberikan jawaban mengenai sesama dengan berangkat dari partikularitas tertentu, melainkan mulai dari yang universal. Dengan memulai ceritanya memakai kata-kata: “anthropos tis katebainen apo Ierousalem eis Iereicho” – adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho, …,” Yesus sedang mendekonstruksi konsepsi mereka tentang siapa itu sesama. Sesama adalah setiap orang, tidak terbatas pada partikularitas keagamaan kita. Sesama versus penyamun. Artinya, mentalitas menyamun dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tidak tergantung dari keanggotaannya dalam suatu komunitas keagamaan tertentu. Jika direntang ke konteks bernegara berarti yang menjadi penyamun di Papua bukan dari negara lain, tetapi oleh Indonesia sendiri.

Dalam konteks semasa yang ditandai oleh kebangkitan fundamentalisme identitas keagamaan maupun identitas etnik, pertanyaan tentang siapa sesama kita menjadi pertanyaan penting yang perlu direfleksikan. Para penyamun dalam teks menunjukkan bahwa mereka tidak mewakili suatu partikularitas keagamaan maupun etnik tertentu. Identitas mereka dibentuk melalui intensi dan aksi mereka. Artinya penyamun menjadi antitesis terhadap sesama. Sesama dan penyamun sama-sama ditentukan oleh cara kita memandang seseorang. Jika seseorang berbuat baik, ia menjadi sesama kita.

Sampai di sini, dalam refleksi saya, konsepsi mengenai sesama dicirikan oleh perjumpaan dalam peristiwa konkret. Membincang siapa sesama berarti membincang moment dan respons atau tindakan: “pergilah, dan perbuatlah demikian!” Sesama adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15). Artinya, ketika kita melakukan kebaikan terhadap orang lain, di sana terjadi perjumpaan. Dan setiap perjumpaan, dalam titiknya yang paling otentik-dasariah, selalu merupakan mistik perjumpaan. Refleksi Buber dan Levinas telah menunjukkan bahwa engkau yang hadir di depan saya adalah wajah tampak dari dia yang tak tampak wajah. Dalam hal ini, berarti pemahaman kita terhadap siapa sesamaku ditandai oleh sikap hormat dan cinta kasih yang “harus diperluas untuk menampung mereka pula, yang dibidang sosial, politik, atau pun keagamaan berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita” (Gaudium et Spes, 28).

Jan Patocka menulis bahwa “yang lain adalah rumah asal-usul kita.” Dalam perspektif Patocka ini, menurut saya, sesama adalah rumah yang dibangun secara puitik-transenden oleh kemanusiaan yang sama. Orang Dawan memakai metafora tubuh untuk menyebut sesama yakni sebagai “aokbian.”