Sakramen Bahasa: Soal Kebenaran dan Tindak-Wicara Publik

»Sanctifica eos in veritate – kuduskanlah mereka dalam kebenaran« (Yoh 17:17).
»Et veritas liberabit vos – dan kebenaran akan memerdekakan kamu« (Yoh 8:32).

Kuduskanlah (sanctifica) berasal dari kata ‘sacer’. Seturut etimologi ini, homo sacer dari Agamben bisa diterjemahkan sebagai manusia yang dikuduskan. Tindakan pengudusan ini bisa dalam bentuk pengorbanan, tetapi juga dalam bentuk pengkhususan diri terkait tugas tertentu.

Dalam jalur Agamben, berarti manusia yang dikuduskan bagi ‘polis.’ Tetapi Agamben membatasi penggunaan sacer hanya bagi para korban. Para korban adalah mereka yang hidupnya ditelanjangi sedemikian oleh kekuasaan, sehingga, bahkan martabat diri mereka sendiri bukanlah milik mereka.

Tapi kalau, kita memahami kata sacer dalam konteks doa terkutip di atas, maka setiap orang pada dasarnya dikuduskan bagi orang lain. Sanctifica dalam doa pendek di atas menandakan: membuat manusia, ciptaan fana dan yang berhingga ini, dapat masuk dalam relasi intim dengan Allah dalam kemuliaannya.

Secara horizontal tindakan pengudusan memampukan manusia saling memasuki satu sama lain. Inilah dimensi intersubjektivitas dari tindakan menguduskan. Dalam tradisi Yudeo-Kristen, menguduskan berarti seseorang ditempatkan dalam konteks pelayanan kebenaran. Kudus selalu bersifat relasional.

Dalam teks itu, kudus dihubungkan dengan kebenaran. Diri dikonstitusi dalam kebenaran. Kebenaran adalah pencuci yang memungkinkan seseorang memiliki harapan bahwa ia dapat berelasi dengan Yang-Ultimum.

Jika gagasan ini ditarik ke dalam konteks sosial-politik, maka setiap orang semestinya menjadi ‘sakramen politik’ (frase Eddy Kristiyanto), yang memungkinkan politik bergerak sesuai dengan tujuan akhirnya: bonum commune. Gagasan dibalik tindak keterlibatan ini adalah partisipasi politik dan bukan persaingan kepentingan. Persahabatan-warga dan bukan klasifikasi identitas.

Jika kebenaran mengkontitusi tindak bicara kita dalam politik: segala jenis kampanye dan debat publik, bahkan dalam berbagai sumpah jabatan, maka bahasa politik kita menjadi ‘sakramen bahasa’ (frase Agamben). Lycurgus dalam Against Leocrates menyatakan bahwa sumpah adalah kekuatan yang menguatkan dan menyatukan demokrasi kita.

Pada Lycurgus, sumpah atau sebut saja berbicara yang benar dalam konteks kita, tidak berhubungan dengan obsesi untuk menghadirkan sesuatu yang baru, tetapi untuk menjaga dan memelihara apa yang sudah ada. Tentu saja apa yang sudah ada itu mesti dibangun dengan kebenaran sebagai fundasi. Jika tidak, sumpah itu hanya menjadi sumpah palsu.

Sumpah menunjukkan fungsi bahasa sebagai sakramen. Ini dapat ditelusuri juga melalui jalur yuridis. Cicero dalam De officiis menulis bahwa

»dengan mengambil sumpah, kita menempatkan diri di bawah kewajiban untuk mengingat dengan sungguh-sungguh, bukan apa yang mungkin membuat kita takut yakni kekerasan, tetapi apa yang terdapat dalam hal yang berhubungan dengan kewajiban: sebuah sumpah adalah jaminan yang dilindungi melalui kekudusan agama; dan sebuah upacara memberi janji di hadapan Allah sebagai salah satu saksi, yang menjamin kekudusan sumpah tersebut.«

Kutipan dari Cicero memastikan bahwa dalam hal ini sumpah terikat dengan kewajiban mengerjakan keadilan dan kebaikan. Sumpah tidak sekadar menandakan suatu pengucapan linguistik tetapi tentang apa yang ditegaskan dan dijaminkan melalui penegasan tersebut.

Dengan mengucapkan sumpah, orang yang mengucapkannya menempatkan dirinya di bawah jaminan dan kutukan sumpah tersebut. Sumpah tidak berhubungan dengan pernyataan, tetapi jaminan operasional atau akibat dari sumpah tersebut.

Di sini, bisa dikatakan bahwa bersumpah berarti kita mengkonsekrasikan diri dalam kebenaran: antara kata-kata dengan tindakan. Ini tidak hanya terjadi pada level teologis, tetapi juga pada level antropologis, sejak kita menempatkan setiap kata-kata dalam paradigma bahasa ilahi.

Jika sumpah, dalam faktanya, merupakan bahasa yang selalu dinyatakan dalam kenyataan dan kenyataan tersebut adalah logos Allah, maka seperti ditulis oleh Philo bahwa

»Allah bersabda dan terjadilah demikian, dengan tanpa interval antara keduanya (ho theos legōn ama epoiei), sumpah manusia adalah usaha menyesuaikan bahasa manusia dengan model ilahi tersebut, membuatnya, sebanyak mungkin, pistos, dapat dipercaya.«

Manusia mengucapkan sumpah demi memenangkan kepercayaan. Maka, di sini kita akan bertanya, mengapa dalam masyarakat yang agamis, kebenaran sering tidak hadir dalam setiap bentuk tindakan bicara? Hoaks, sumpah palsu, seduksi dalam kampanye politik seolah menjadi hal yang dapat diterima sebagai kebenaran.

Agamben menjawab karena kehidupan kita sudah sepenuhnya tereduksi menjadi sepenuhnya soal biologis semata, telanjang sebagai binatang yang termekanisasi.

Abad gerhana bahasa sebagai sakramen adalah juga abad penghinaan terhadap Allah. Allah jadi semacam gagasan regulatif, sebentuk deisme kontemporer. Dengan kata lain, kita tidak ingin dan tidak mau mengkonstitusi diri dengan kebenaran.

Ketika menjauh dari kebenaran, kita tidak mampu menggapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebab, kemerdekaan tanpa kebenaran, hanya akan menjadi bentuk-bentuk tindak manipulasi-diri dan manipulasi orang lain. Sebaliknya, kebenaran tidak pernah tinggal sebagai slogan, melainkan mesti menyata sebagai tindakan. Menguduskan diri bagi kebenaran, mesti berbuah dalam tindakan masuk ke dalam dunia, mengerjakan kebenaran yang membebaskan.

Tanpa kebenaran, tidak ada kemerdekaan otentik. Dan tanpa kemerdekaan, »hubungan esensial antara kematian dan bahasa bersinar terang di depan kita, namun kita tidak mampu menyadarinya« (Heidegger – dengan sedikit perubahan). Tanpa kebenaran, setiap pembicaraan adalah suatu bentuk kematian terhadap kebenaran.

Dalam tradisi filsafat, manusia tampil dengan hakekat dirinya sebagai makhluk hidup dan berbicara. Ada kapasitas berbahasa (zoon logon echon) dan ‘kapasitas’ untuk mati. Ini secara esensial sejajar dengan gagasan Kristen: manusis, makhluk hidup ini »terus-menerus diserahkan pada maut karena Yesus« (aei gar emeis oi zontes eis thanaton paradidometha dia Iesoun – II Kor 4:11), yang berarti melalui sabda.

Namun hal tersebut sekaligus merujuk kepada kepercayaan yang menggerakkan orang yang percaya kepada bahasa: kami percaya, sebab itu kami berkata-kata (kai emeis Pisteuomen, dio kai laloumen – II Kor 4:13). Bila tindak bicara publik yang kita lakukan tanpa disertai hasrat mengabdi pada kebenaran, maka kita tidak mampu menggapai kemerdekaan.

Yang akan terjadi hanyalah ketiadaan atau kematian. Politik kita hanya akan menjadi ‘pusat ketiadaan’ menurut Heidegger. Politik hanyalah gelanggang negativitas, gelanggang penyangkalan, gelanggang pertarungan antar-gangster.

Sumber:

  1. Giorgio Agamben, Language and Death: The Place of Negativity, (University of Minnesota Press, 1991).
  2. Giorgio Agamben, The Sacrament of Language: An Archaeology of the Oath, (Polity Press, 2011).

Leave a comment